Selasa 09 Juli 2019, 13:27 WIB
Pemaafan Hakim untuk Baiq Nuril
Ditolaknya upaya hukum Peninjauan Kembali (PK) yang diajukan oleh Baiq Nuril ke Mahkamah Agung (MA) telah menyisakan perdebatan di kalangan masyarakat. Sebagai upaya hukum luar biasa, PK dianggap sebagai jalan "terakhir" bagi Baiq Nuril untuk memperoleh keadilan dan sekaligus menganulir putusan MA sebelumnya yang menghukum dirinya 6 bulan penjara dan denda Rp 500 juta subsider 3 bulan kurungan.
Sekadar menyegarkan ingatan kita, Baiq Nuril dinyatakan melanggar ketentuan Pasal 27 ayat 1 jo Pasal 45 UU ITE, yaitu dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan, dengan cara melakukan perekaman tanpa izin atas pembicaraan telepon dengan atasannya yang waktu itu berisi cerita tidak senonoh (vulgar) yang kemudian tersebar, setelah sebelumnya ia duduk di kursi pesakitan dan sempat divonis bebas (vrisjpraak) oleh PN Mataram.
Putusan PK dari MA di atas sekaligus mengamini pertimbangan hukum dalam putusan MA sebelumnya yang menyatakan bahwa penjatuhan pidana atas Baiq Nuril dapat menjadi pembelajaran bagi terdakwa dan khususnya kepada masyarakat pada umumnya agar dapat lebih berhati-hati dalam memanfaatkan dan menggunakan media elektronik yang menyangkut data pribadi seseorang ataupun pembicaraan antarpersonal yang penggunaannya harus dengan persetujuan orang yang bersangkutan.
Sesuai dengan adagium dalam hukum pidana yang menyatakan punier non necesse est, yang artinya "menghukum tidak selamanya perlu", timbul pertanyaan dari berbagai kalangan masyarakat, yaitu apakah putusan MA yang menghukum Baiq Nuril tersebut bermanfaat dan memenuhi rasa keadilan masyarakat?
Berlebihan
Catatan penegakan hukum (pidana) di Indonesia memberikan gambaran bahwa sebagai negara hukum yang menganut asas legalitas, aparat penegak hukum cenderung menjadikan hukum pidana sebagai primum remedium, sehingga hukum pidana berpotensi untuk diterapkan secara berlebihan (overspanning van het straftrecht). Padahal, hukum pidana adalah "obat terakhir" (ultimum remedium), sebagai sanksi paling akhir yang diterapkan manakala sanksi lainnya dianggap tidak signifikan.
Mungkin kita masih ingat kasus Fidelis Arie Sudewarto yang ditangkap oleh Badan Narkotika Nasional (BNN) karena menanam 39 batang pohon ganja (Cannabis sativa) untuk pengobatan kista sang istri, Yeni Riawati. Sang istri akhirnya meninggal dunia tepat 32 hari setelah Fidelis ditangkap BNN.
Dari kunjungan Andi Hamzah ke Belanda yang mewariskan KUHP ke Nusantara, ternyata 60% perkara yang ditangani jaksa di Belanda diselesaikan melalui penyelesaian perkara di luar pengadilan (afdoening buiten process). Sedangkan di Indonesia, dapat dikatakan 99 persen perkara yang ada di tahap pra penuntutan pada akhirnya dilimpahkan ke pengadilan.
Alhasil penegakan hukum kita sering diwarnai banyaknya kasus "orang kecil" yang ancaman pidananya di bawah 5 tahun --misalnya kasus nenek Minah yang mencuri 3 buah kakao, kasus pencurian sandal jepit oleh siswa di Palu, dan kasus cacing sonari yang menyebabkan Didin dibui-- sehingga dinilai terlalu legalistik formal dan cenderung menghukum pelaku.
Padahal terdapat suatu fakta umum yang sulit dibantah bahwa kondisi dari sebagian lapas di Indonesia sudah jauh dari semangat memasyarakatkan terpidana. Tidak mengherankan jika "penjara" (lapas) di Indonesia sesak (over capacity) dan berisiko bagi para napi, sehingga berpotensi menimbulkan praktik transaksional dan juga stigma buruk. Misalnya, "maling ayam" yang dihukum penjara dapat menjadi "maling ATM", sebagaimana ungkapan, "In jail, too short for rehabilitation too long for corruption."
Amnesti atau PK Kedua?
Upaya hukum Grasi yang berasal dari kata grace (anugerah) sudah pasti tidak dapat diajukan oleh Baiq Nuril, mengingat persyaratan formil permohonan grasi adalah untuk pidana penjara paling rendah 2 tahun (Pasal 2 UU Grasi).
Dorongan kepada Presiden Jokowi agar memberikan Amnesti kepada Baiq Nuril juga tidak dapat dilepaskan dari perdebatan Hukum Tata Negara, yaitu apakah Presiden dengan pertimbangan DPR dapat memberikan amnesti, yang menurut UU No 11 Tahun 1954 Tentang Amnesti dan Abolisi diberikan pada pelaku tindak pidana yang berkaitan dengan politik.
Sebaliknya, saya berharap agar Presiden Jokowi dapat meminimalisasi dikeluarkannya kebijakan yang inkonstitusional, sebagaimana sumpah jabatan presiden, yaitu untuk menjalankan segala undang-undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya (Pasal 9 UUD 1945).
Sebaliknya, saya berharap agar Presiden Jokowi dapat meminimalisasi dikeluarkannya kebijakan yang inkonstitusional, sebagaimana sumpah jabatan presiden, yaitu untuk menjalankan segala undang-undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya (Pasal 9 UUD 1945).
Dari diskusi informal saya dengan Prof Gayus Lumbuun selaku mantan Hakim Agung MA, dia berpendapat bahwa MA sebagai Judex Juris akan memutus perkara pidana sesuai KUHAP sebagai hukum formal (hukum acara pidana), kemudian baru menyesuaikannya dengan ketentuan materiil dengan tetap memperhatikan keadilan menurut undang-undang dan rasa keadilan di masyarakat. Sehingga menurut Gayus Lumbuun, apabila PK kedua diajukan oleh Baiq Nuril sebagaimana pernah terjadi dalam Putusan No 01 PK/Pid/2016, MA tetap dapat memilih perspektif legal justice secara utuh dengan menjatuhkan pidana percobaan terhadap Baiq Nuril.
Pemaafan Hakim
Meskipun tidak dapat dibandingkan secara apple to apple (dari segi budaya hukum dan jumlah penduduk), hasil yang dicapai oleh pemerintah Belanda dalam menutup 19 lembaga pemasyarakatan karena kekurangan pelaku kejahatan, patut untuk diadopsi oleh Indonesia. Misalnya dengan mengubah pola pemidanaan dari menghukum pengguna narkoba menjadi rehabilitasi, kerja sosial, denda, dan pemasangan gelang kaki bagi napi sehingga tetap dapat bergaul di masyarakat.
Hal ini dikarenakan Belanda menganut konsep "pemaafan oleh hakim" (judicial pardon/rechterlijke pardon) yang belum maksimal dilaksanakan di Indonesia yang menganut asas legalitas dan hanya memungkinkan untuk menjatuhkan pidana percobaan untuk hukuman penjara paling lama satu tahun yang tidak termasuk hukuman kurungan pengganti denda.
Sementara ini, konsep "pemaafan oleh hakim" baru dibahas dalam Pasal 60 ayat 2 RUU Hukum Pidana, yang pasal-pasal lainnya masih menuai pro dan kontra di kalangan masyarakat sebelum nantinya disahkan oleh DPR, yang menyatakan bahwa ringannya perbuatan, keadaan pribadi pembuat atau keadaan pada waktu dilakukannya tindak pidana dapat dijadikan dasar pertimbangan untuk tidak menjatuhkan pidana terhadap pelaku.
Terlepas dari pro dan kontra RUU Hukum Pidana, konsep "pemaafan oleh hakim" ini sangat penting untuk mencegah terjadinya penerapan hukum pidana yang berlebihan, sekaligus menjadi solusi untuk over kapasitas dari lapas, sehingga apabila RUU Hukum Pidana belum dapat disahkan, maka dapat dilakukan perubahan KUHP. Dan, apabila perlu Presiden dapat mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti UU (Perppu) sebagai noodverordening rechtuntuk memperbaiki kualitas penegakan hukum pidana di Indonesia.
Albert Aries ; Advokat dan dosen tidak tetap Fakultas Hukum Trisakti
Tidak ada komentar:
Posting Komentar