Selasa, 09 Juli 2019

Minimalisasi dalam Pendidikan

Minimalisasi dalam Pendidikan

Oleh : Fachrurrazi ; Kepala Sekolah SMA Sukma Bangsa Bireuen, Aceh
MEDIA INDONESIAPada: Senin, 08 Jul 2019, 03:40 WIB

SEMUA orang sangat menyenangi hal-hal yang maksimal dan agak sedikit murung ketika menghadapi kenyataan yang minimal. Namun, penting untuk diingat bahwa hakikat maksimal dan minimal itu netral, sama-sama baik dan sama-sama buruk. Tulisan ini akan sedikit mengupas hal yang terakhir, menimbang dan menggagas hal-hal yang minimal. 

Dalam kehidupan abad modern dewasa ini, hal menarik yang bisa diamati dan diperbincangkan ialah kehidupan digital. Ada dua sikap yang lazim dilakukan dalam menjalani kehidupan digital yaitu; pertama, mendominasikan dan memaksimalkan segala lini kehidupan dengan aneka aktivitas yang melibatkan gawai-gawai digital. Kedua, meminimalisasikan aktivitas dari keterlibatan perangkat digital dimaksud.
Sangat tidak tepat jika muncul anggapan bahwa cara hidup yang pertama lebih cocok dengan zaman sekarang dan bahwa orang yang menghindari pandangan hidup demikian ialah golongan kolot, ketinggalan zaman, atau bahkan dianggap manusia gua. Namun demikian, tidak cermat pula ketika mengklaim bahwa hakikat hidup yang sebenarnya tecermin dari gaya hidup tanpa gawai semata.
Ujaran nakal seperti smart phones for idiot people tidak perlu muncul untuk menguatkan pandangan ini. Dalam bukunya, Digital Minimalism (2019), Cal Newport menguraikan bahwa hendaknya orang-orang di zaman digital ini perlu mengorganisasi kembali pola hidupnya yang terlalu berlebihan bergantung pada benda-benda digital di sekitar mereka sehingga menghilangkan esensi kehidupan manusia sebagai makhluk sosial. Penggunaan alat-alat digital yang dominan terbukti berkontribusi negatif terhadap kehidupan sosial dan psikologis para pemakainya, utamanya pengguna gawai-gawai canggih yang dilengkapi berbagai aplikasi media sosial.
Sang profesor mendesak kampanye hidup minimalis digital penting untuk segera diterapkan karena melihat hasil studi terbaru yang menyatakan bahwa kalangan digital native sudah semakin kehilangan kontrol atas diri sendiri sehingga sebagian besar waktunya dihabiskan dengan aktivitas-aktivitas di depan layar smartphone. Akibatnya, Anda harus lebih sabar ketika berbicara dan berdiskusi dengan mereka karena mereka lebih senang mengecek notifikasi media sosial dan aplikasi smartphone daripada menanggapi Anda sebagai lawan bicara.
Mereka seperti lebih dekat dan perhatian dengan orang-orang jauh, tapi jauh dan menyia-nyiakan orang-orang terdekat. Bahkan, ketergantungan ini bahkan membuat pemakainya terjangkiti psychological disorder, yakni merasa tidak nyaman jika si gawai berada jauh dari mereka.
Kampanye minimalisasi digital yang paling keras ternyata justru digaungkan 'orang dalam' industri digital itu sendiri. Tristan Harris, seorang mantan direktur dan insinyur Google yang mulai khawatir dengan fenomena negatif perilaku pengguna media sosial dan aplikasi smartphone, keluar dari industri ini dan memilih hidupnya menjadi seorang whistleblower.
Dalam wawancaranya di HBO 2017 dan rekaman pidatonya di situs TED, ia memaparkan bahwa ada kesengajaan disertai usaha yang terstruktur, sistematis, dan masif dari para insinyur dan sarjana Silicon Valley untuk mengekang para pengguna aplikasi dan media sosial agar terus menghabiskan waktunya di depan layar. Tentunya tujuan dari usaha ini ialah membuat kurva pendapatan dari iklan dan penjualan dari bisnis utama perusahaan-perusahaan raksasa ini agar terus naik. Ia berujar, "Ketika Anda mulai mengakses smartphone Anda, ketika itu pula sejumlah sarjana dan insinyur di belakang layar akan bekerja maksimal agar Anda terus menatap layar Anda."
Selanjutnya, profesor Newport melaporkan bahwa dalam penelitiannya di 2017 yang diberi nama Digital Declutter, lebih dari 1.600 responden berpartisipasi dangan cara meninggalkan gawainya selama sebulan penuh, mengeksplor aktivitas dan kegiatan yang bermanfaat, serta mengorganisasi kembali perangkat teknologi yang akan digunakan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa mayoritas responden merasa bahagia di akhir bulan tersebut karena mereka terlepas dari kontrol gawainya dan memperoleh kembali waktu berharga yang selama ini terampas. Bahkan, mereka mengaku bisa menggunakan waktu yang selama ini hilang untuk melakukan aktivitas yang lebih bermakna, seperti berinteraksi dengan keluarga, tetangga, dan rekan kerja, serta membaca empat buku sebulan.
Minimalisasi instruksi dan tes
Dalam dunia pendidikan, konsep minimalis yang juga sangat popular ialah konsep less is more ala Finlandia. Dalam bukunya, Finnish Lessons (2011), Pasi Sahlberg memaparkan bahwa kecenderungan dunia pendidikan mainstream ialah merevisi kurikulum, menambah jumlah jam instruksi di kelas, dan menambah PR ketika para siswa gagal menunjukkan performa yang diharapkan dalam evaluasi pembelajaran. Dalam pemaparannya, Pasi secara lantang mengatakan bahwa sangat sedikit korelasi antara banyaknya jumlah instruksi di kelas dan hasil performa siswa, sebagaimana telah diuji PISA.
Negara-negara yang menerapkan sistem instruksi formal di kelas dengan jumlah yang tinggi (Italia, Portugal, dan Yunani), bahkan menunjukkan peringkat yang lebih rendah daripada negara-negara yang menerapkan sistem instruksi formal di kelas dengan jumlah jam minimal (Finlandia, Korea, dan Jepang). Jika perbedaan jumlah instruksi di kelas ini dijumlahkan, hasilnya ialah siswa-siswa di Italia bersekolah lebih lama 2 tahun dari teman-teman seusianya di Finlandia. Bahkan, ia juga menyebutkan bahwa anak-anak di Italia mulai sekolah di usia 5 tahun, sedangkan anak-anak Finlandia baru mulai sekolah ketika berumur 7 tahun. Perbedaan waktu belajar formal dari kedua bangsa ini semakin kentara. Kita juga semakin yakin bahwa banyaknya jumlah waktu belajar tidak serta-merta meningkatkan prestasi siswa.
Selanjutnya, Pasi juga memaparkan bahwa secara global ada asumsi dalam pendidikan yang menyatakan bahwa kompetisi dan tes yang diperbanyak ialah prasyarat untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Dengan menggunakan database tes PISA, ia memaparkan bahwa Amerika Serikat, Inggris, Selandia Baru, Jepang, Kanada, dan Australia bisa digunakan sebagai benchmark bagi penganut paham ini jika dibandingkan dengan Finlandia yang menganut paham test less learn more. Tren performa para siswa dari negara-negara kelompok pertama cenderung menurun dalam periode antara 2000-2006 jika dibandingkan dengan Finlandia. Tentu saja fakta ini tidak bisa digunakan untuk menuduh bahwa kondisi di negara kelompok pertama ialah bukti gagalnya sistem reformasi pendidikan ala tes-tes dan kompetisis-kompetisi. Setidaknya fakta ini cukup menggambarkan bahwa seringnya penggunakan tes bukanlah prasyarat untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Tes dan kompetisi tentunya harus kita pahamkan sebagai suatu hal yang netral. Namun, beberapa catatan seputar tes juga harus kita cermati dengan hati-hati, jangan sampai tes mengubah paradigma pendidikan para guru dan siswa yang harusnya teaching for understanding menjadi teaching for drilling, memorizing, and testing. Finlandia membuktikan bahwa masih ada alternatif cara yang terbukti dan teruji juga sangat efektif untuk mendongkrak kualitas pendidikan.
Air, api, dan garam yang banyak (baca: maksimal) hanya mengakibatkan malapetaka, nestapa, dan bencana. Sementara itu, air, api, dan garam yang sedikit (baca: minimal) akan membawa kemaslahatan dan keselamatan. Wallahualam. ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar