Merancang ”Bangunan” Pemilu Ideal…
Problem yang cukup mengemuka seusai penyelenggaraan Pemilu 2019 ialah banyaknya petugas teknis di lapangan yang meninggal setelah pemungutan dan penghitungan suara. Jumlahnya mencapai lebih dari 400 jiwa. Ada pihak yang menuding kematian anggota Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara itu dipicu racun saraf atau aktivitas tertentu yang direncanakan untuk menyabotase pemilu yang jujur dan adil.
Namun, penyebab kematian itu menjadi lebih terang setelah hasil kajian lintas disiplin dari Universitas Gadjah Mada menyebutkan, penyebab kematian KPPS tersebut karena penyakit kardiovaskular. Sebanyak 70 persen petugas KPPS meninggal karena sakit jantung dan sisanya karena stroke atau penyakit lain yang terkait kardiovaskular. Kajian tersebut juga menunjukkan adanya hubungan antara riwayat penyakit kardiovaskular itu dengan beban kerja berat yang dihadapi petugas teknis di lapangan dalam menyiapkan dan menyelenggarakan pemungutan dan penghitungan suara.
Tingginya beban kerja petugas karena harus mengadakan pemilu serentak antara pemilu legislatif dan pemilu presiden membuat mereka tidak jarang bekerja melewati batas normal.
Dengan model keserentakan pemilu antara pemilihan presiden dan pemilihan anggota legislatif sebagaimana diterapkan dalam Pemilu 2019, persiapan teknis pemilu juga jadi lebih rumit. Ini karena pengadaan dan pengiriman logistik dilakukan dalam waktu bersamaan. Hal itu berimplikasi terhadap keterlambatan pengiriman logistik ke sejumlah daerah di Tanah Air, terutama yang memiliki medan atau kondisi geografis yang sulit.
Berkaca dari hal itu, penyelenggaraan pemilu serentak menjadi salah satu hal yang perlu dievaluasi, utamanya menyangkut makna ”keserentakan” pemilu. KPU memandang perlu dilakukannya redesain pemilu serentak di Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. ”Jika kami diminta memberi masukan kepada pembuat kebijakan, tentu kami akan menyampaikan rekomendasi dan hasil evaluasi kami mengenai pemilu serentak ini,” kata Wahyu.
Sejumlah wacana di publik mengemuka tentang makna ”keserentakan” pemilu. Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), misalnya, mendorong keserentakan pemilu dilakukan dalam skala lokal dan nasional. Pemilu nasional meliputi pemilihan presiden, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Adapun pemilu lokal meliputi pemilihan kepala daerah (bupati, wali kota, dan gubernur), serta DPRD kota/kabupaten, dan DPRD provinsi.
Menurut Direktur Eksekutif Perludem Titi Anggraini, skema itu bisa jadi salah satu cara memperbaiki sistem pemerintahan presidensial di Indonesia. ”Tanpa harus mengamandemen konstitusi dan banyak undang-undang politik, pemilu serentak bisa menghasilkan partai politik atau koalisi mayoritas dan sistem kepartaian multipartai moderat, yakni kurang dari lima partai politik efektif di parlemen,” katanya.
Tafsir konstitusi
Hanya saja, pertanyaannya, apakah tafsir atas makna ”keserentakan” pemilu yang diadopsi di UU No 7/2017 tentang Pemilu ialah tafsir yang keliru?
Patut diungkap kembali, MK dalam Putusan Nomor 14/PUU-XI/2013 yang dimohonkan pakar komunikasi politik Effendi Gazali, dan kawan-kawan, 23 Januari 2014, membangun argumen tentang original intent (maksud asali) konstitusi, yakni Pasal 22E Ayat (2) UUD 1945.
Patut diungkap kembali, MK dalam Putusan Nomor 14/PUU-XI/2013 yang dimohonkan pakar komunikasi politik Effendi Gazali, dan kawan-kawan, 23 Januari 2014, membangun argumen tentang original intent (maksud asali) konstitusi, yakni Pasal 22E Ayat (2) UUD 1945.
Pasal itu berbunyi, ”Pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.”
Dalam putusannya, MK mengutip Slamet Effendy Yusuf, salah satu anggota Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR yang menyiapkan draf perubahan UUD 1945, tahun 2001. Slamet mengatakan, ”Diterangkan lebih lanjut secara teknis bahwa gambaran pelaksanaan pemilu nantinya akan terdapat 5 (lima) kotak, yaitu kotak 1 adalah kotak DPR, kotak 2 adalah kotak DPD, kotak 3 adalah presiden dan wakil presiden, kotak 4 adalah DPRD provinsi, dan kotak 5 adalah DPRD kabupaten/kota.”
Atas pendapat itu, MK lebih jauh mengelaborasi, ”Dengan demikian, dari sudut pandang original intent dari penyusun perubahan UUD 1945 telah terdapat gambaran visioner mengenai mekanisme penyelenggaraan pilpres, bahwa pilpres diselenggarakan secara bersamaan dengan pemilu anggota lembaga perwakilan.
Hal itu sejalan dengan Pasal 22E Ayat (2) UUD 1945 yang menentukan bahwa yang dimaksud dengan pemilihan umum berada dalam satu tarikan napas, yakni ”Pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah”.
Namun, apakah terbuka tafsir lain atas konstitusi, terutama bila melihat praktik pemilu serentak pileg dan pilpres yang membawa sejumlah implikasi serius? Pertanyaan itu bisa jadi muncul sebagai salah satu perdebatan politik hukum yang serius dalam revisi UU Pemilu selanjutnya.
Terkait evaluasi Pemilu 2019, anggota Komisi II DPR, Arif Wibowo, mengatakan, masukan dan evaluasi dari penyelenggara pemilu akan menjadi pertimbangan utama DPR 2019-2024 dalam merevisi UU Pemilu. Pembahasan UU Pemilu dinilai harus jadi prioritas DPR periode mendatang.
Pembahasan rancang bangun pemilu itu mendesak dilakukan karena tahun 2024 juga akan diselenggarakan pilkada serentak nasional. Kesulitan teknis penyelenggaraan diprediksi akan terjadi bila pilpres dan pileg diselenggarakan di tahun yang sama dengan pilkada serentak. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar