Senin, 01 Juli 2019


Diskursus Anak Perusahaan BUMN


oleh Dian Puji N Simatupang
Status hukum anak perusahaan BUMN menjadi mengemuka, ke­tika pemohon dalam sidang perkara perselisihan hasil pe­milihan presiden mendalilkan salah satu pasangan calon dianggap masih berstatus se­bagai karyawan atau pejabat pada anak perusahaan BUMN, meskipun Pasal 227 huruf p UU No. 27 Tahun 2017 mencan­tumkan larangan pada jabatan BUMN atau BUMD. Pemohon menyatakan anak perusahaan BUMN juga merupakan BUMN karena penyertaan modalnya berasal dari BUMN tersebut dan berujung pada penyertaan modal dari negara.
Adanya diskursus anak perusahaan BUMN terse­but membangunkan kembali perdebatan klasik mengenai ruang lingkup BUMN dan Keuangan Negara di Indonesia yang sudah sejak lama terjadi. Meskipun putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 48 dan 62 Tahun 2013 yang menyatakan perluasan keuangan negara te­tap konstitusional dan Putusan Mahkamah Agung Nomor 21 Tahun 2017 yang menyatakan anak perusahaan BUMN ada­lah perusahaan BUMN, na­mun dalam tataran teori hu­kum keuangan publik, BUMN dan anak perusahaan BUMN merupakan entitas hukum yang berbeda dan terpisah da­lam tata kelola, regulasi, dan risikonya.
BUMN sebagai badan hu­kum memperoleh penyertaan modal negara sebagai kekayaan negara yang dipisahkan, se­hingga secara hukum kekayaan dan keuangan tersebut menjadi kekayaan dan keuangan BUMN, sedangkan negara memperoleh saham sebagai gantinya. Demikian juga, anak perusahaan BUMN sebagai badan hukum mem­peroleh penyertaan modal dari BUMN induknya sebagai kekayaan BUMN yang dipisah­kan, sehingga secara hukum kekayaan dan keuangan anak perusahaan menjadi milik anak perusahaan BUMN terse­but, dan BUMN induknya menerima saham sebagai gantinya.
Adanya saham yang dimiliki negara pada BUMN dan saham yang dimiliki BUMN pada anak perusahaan bukan menun­jukkan bukti kepemilikan atas kekayaan dan keuangan yang telah disetorkan atau dipisahkan, melainkan seba­gai bukti pengendalian secara korporasi. Sehingga tata ke­lola perusahaan BUMN dan anak perusahaan BUMN akan merujuk pada seberapa besar saham yang dapat menjadi dasar pengenda­lian. Oleh karenanya, saham bukan menunjukkan tidak berubahnya status keuan­gan atau kekayaan itu te­tap menjadi milik negara atau milik BUMN, tetapi menunjukkan bukti pe­ngendalian guna men­ciptakan tata kelola pe­rusahaan yang baik dan m e n g a n d u n g kepastian hukum.
D a l i l yang me­n y a t a k a n anak perusahaan BUMN termasuk BUMN merupakan akibat dari pola pikir Pem­bentuk Undang-Undang, Aparatur Penegak Hukum (APH), dan Auditor Negara (BPK) yang menyatakan keuangan negara meluas jauh kemana pun mengalir. Paham perluasan keuangan negara ini dianut oleh sebagian be­sar pakar, sehingga seakan-akan menjadi pola padanan kebenaran. Padahal, keuangan negara harus memenuhi kepas­tian hukum (rechtszerkeid), sehingga dalam kenyataan hu­kum (rechtswerkelijkheid) dan peraturan perundang-undangan (positief rescht) memiliki padanan yang sama.
Kerumitan Hukum
Perdebatan klasik mengenai keuangan negara-BUMN-anak perusahaan BUMN ini mem­bawa dampak buruk pada tata kelola perusahaan yang baik di Indonesia. BUMN dan anak perusahaan BUMN menjadi rentan terhadap ketidakpas­tian hukum (legal uncertainty) dalam pengurusan dan penge­lolaannya, meskipun telah di­laksanakan dengan itikad baik, profesional dan penuh kehati-hatian.
Selain itu, perdebatan demikian mengesampingkan tata kelola (rechtregiem) setiap sek­tor keuangan, yang akhirnya justru membawa kesulitan sendiri bagi para pihak, termasuk Pemerintah dan DPR, serta Auditor BPK dan APH. Misalnya, dalam dalil anak perusahaan yang diang­gap BUMN ini tidak akan ter­jadi jika semua pihak mema­hami dan memastikan semua sektor keuangan mempunyai tata kelola, regulasi, dan risik­onya masing-masing yang ter­pisah sebagai sebuah entitas hukum tersendiri.
Menurut teori pemisahan tanggung jawab dan pem­batasan risiko (separation of re­sponsiblities and limitations of risk), anak perusahaan BUMN bukanlah BUMN, demikian juga BUMN bukanlah Negara, sehingga semuanya tidak da­pat disatukan dengan alasan adanya aliran penyertaan mo­dal sebagai bukti kepemilikan yang bersifat menyatu. Pe­nyertaan modal adalah bukti pengendalian menurut tata cara perusahaan, sehingga menyatakan BUMN dan anak perusa­haan BUMN sama dengan negara, ber­arti mempertahankan kerumitan tersebut di masa depan dan menciptakan keti­dakpastian hukum dalam tata kelola, regulasi, dan pengelolaan risikonya.
Kerumitan hu­kum yang paling aktual terkait anak perusa­haan adalah dalam ka­sus investasi yang dilaku­kan oleh anak peru­sahaan Pertamina, yaitu PT Pertamina Hulu Energi (PHE). Dalam sebuah aksi korporasinya PHE telah berinvesati di Blok Migas Basker Manta Gummy (BMG) Australia pada 2009, yang kemudian menjadi kasus pidana. Karena adanya ketidakpastian hukum dalam tata kelola, regulasi, dan pengelolaan risikonya tersebut di atas, kini Mantan Direktur Utama, Karen Agustiawan, te­lah divonis PN Tipikor Jakarta 8 tahun penjara dan Denda 1 miliar rupiah.
Persoalan ini menjadi unik karena status hukum anak pe­rusahaan Pertamina dengan segala kegiatan investasi dan korporasinya, merupakan per­soalan Perdata dan berada da­lam ranah hukum Perdata. PHE tidak mempunyai saham atas unjuk Negara Republik Indone­sia, sehingga seluruh tindakan korporasi dan investasinya ti­dak mungkin akan menimbul­kan kerugian negara. Hal ini disebabkan karena PHE adalah sebuah Entitas Hukum Perdata yang terpisah secara tegas de­ngan Keuangan dan Kekayaan BUMN induknya (Pertamina), terlebih dengan Keuangan dan Kekayaan Negara.
Kerumitan tersebut menim­bulkan paradoksal yang luar biasa pada penegakan hukum dan tata kelola di BUMN dan anak perusahaannya. Akibat­nya, ketidakpastian hukum terjadi, pengurus dan pejabat BUMN yang beritikad baik terjebak ke dalam tuduhan melakukan Tipikor dan dihu­kum berdasarkan persepsi, bu­kan karena norma hukum yang jelas dan pasti!
Konsep Akhir
Dalil yang menyatakan anak perusahaan BUMN adalah BUMN secara hukum harus dihapus karena muncul dari persepsi hukum yang keliru, Norma Perundang-Undangan yang tidak pasti, dan Praktik Putusan Pengadilan, APH, dan Auditor BPK yang tidak dida­sari pemahaman falsafah hu­kum yang memadai.
Negara melalui alat negara, politik hukumnya, dan seluruh aparaturnya harus konsisten mengembalikan marwah kor­porasi negara sebagai korpora­si yang membawa keuntungan negara melalui cara korporasi dengan pengendalian nega­ra. Saatnya kini Kementerian Keuangan dan Kementerian BUMN bersama-sama menye­lesaikan mana yang disebut Keuangan Negara dan mana yang disebut Perbendaharaan Negara. Jangan campur-aduk­kan penyertaan modal sebagai kepemilikan, karena itu hanya merupakan cara pengendalian semata.
Sikap hukum yang tegas dan pasti diperlukan agar Keuangan Negara dapat mewujudkan tu­juan kita bernegara. BUMN dan anak perusahaan BUMN harus dapat dikelola dengan baik dan kompetitif melalui mekanisme pengelolaan yang umum ter­jadi di sebuah korporasi. 
Penulis, Kabidstu HAN/ Dosen Hukum Keuangan FHUI

Tidak ada komentar:

Posting Komentar