Jumat, 05 Juli 2019

Kebebasan dan Ancaman Otoritarianisme

Penulis: Luthfi Assyaukanie Peneliti Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC), Jakarta
MEDIA INDONESIAPada: Kamis, 04 Jul 2019, 04:10 WIB


DEMOKRASI bukan hanya soal pemilu dan pergantian kepemimpinan secara berkala. Pada tahap prosedural ini, demokrasi kita sudah beres dan mendapat banyak pujian. Yang menjadi masalah ialah aspek-aspek substansial yang terkait dengan perilaku politik masyarakat, juga kebijakan atau aturan yang dibuat negara. 

Kasus-kasus kekerasan dan intoleransi terhadap kelompok minoritas (atau kelompok berbeda) ialah salah satu isu besar yang menjadi kendala serius konsolidasi demokrasi kita. Sebagian perilaku intoleransi masyarakat dipicu oleh solidaritas yang mengatasnamakan identitas, khususnya agama dan budaya. Sebagian lainnya merupakan implikasi dari lanskap legal politik Indonesia.
Berbagai perilaku intoleransi seperti pelarangan pendirian rumah ibadah (gereja) atau tindak kekerasan seperti penyerangan terhadap pengikut Ahmadiyah dan Syiah dipicu oleh pemahaman sebagian masyarakat tentang doktrin agama. Sebagian lainnya didorong oleh aturan-aturan diskriminatif yang diterbitkan pemerintah.
Kebebasan berkumpul
Salah satu temuan survei SMRC terakhir menemukan peningkatan proporsi orang yang takut berorganisasi. Pada 2009 hingga 2014, hanya 10% warga yang merasa takut berorganisasi. Namun, pada 2019 proporsinya meningkat menjadi 21%. Ini salah satu isu yang menjadi tantangan demokrasi di Indonesia. Penyebabnya ialah adanya aturan-aturan yang membatasi ruang gerak warga untuk berkumpul dan menyatakan pendapat.
Pada Juli 2013, DPR mengesahkan UU Organisasi Massa (Ormas) yang intinya memberikan wewenang kepada negara untuk membatasi dan mengawasi organisasi nonpemerintah (NGO). Salah satu alasan yang melatari lahirnya UU ini ialah maraknya gerakan anti-Pancasila atau organisasi yang dinilai kurang nasionalis. Lewat UU ini, pemerintah bisa membubarkan organisasi atau lembaga yang dinilai bertentangan dengan Pancasila.
Implikasi UU ini sangat besar bagi NGO-NGO di Indonesia. Banyak kegiatan mereka yang tak bisa dilaksanakan karena tidak mendapatkan izin pemerintah, di antaranya akibat bekerja sama dengan funding asing (seperti The Asia Foundation dan Friedrich Naumann Stiftung) yang dinilai kurang/tidak nasionalis.
UU ini juga bisa dijadikan senjata untuk melawan siapa saja yang dianggap bertentangan dengan ideologi negara. Kegiatan-kegiatan yang dianggap subversif seperti pengibaran bendera Papua, diskusi dengan tema-tema sensitif seperti Marxisme, atau menjual buku-buku berbau komunisme, akan dilarang.
Sejak UU itu dikeluarkan, belasan kegiatan dan diskusi yang dianggap bertentangan dengan ideologi Pancasila dibubarkan atau dilarang. Toko-toko buku takut memajang buku-buku bertema Marxisme dan komunisme, meskipun itu buku-buku akademis. Isu PKI kembali diembuskan dan menebar kekhawatiran di sebagian warga.
UU ITE dan sensor media
Pemilu 2019 melahirkan banyak korban akibat menyatakan ekspresi politik di media sosial. Puncak dari unjuk ekspresi dalam merespons Pilpres 2019 ialah demonstrasi massa memprotes Bawaslu pada 21-22 Mei lalu. Unjuk rasa ini tidak hanya berujung pada penangkapan lebih dari 400 orang yang terlibat dalam kerusuhan itu, tapi juga semakin membuat orang takut berbicara politik.
Survey SMRC (Juni 2019) menunjukkan adanya peningkatan itu. Sejak 2009, hanya sekitar 17% orang yang mengaku takut berbicara politik. Namun, sejak peristiwa Mei, jumlahnya meningkat dua setengah kali lipat menjadi 43%. Yang paling mengkhawatirkan dan paling besar memiliki dampak bagi kebebasan berekspresi warga ialah hadirnya UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). UU ini disahkan pada 2008, tapi mulai menuai banyak korban sejak pemerintahan Jokowi.
Sebetulnya, UU ITE dimaksudkan untuk mengatur informasi dan transaksi daring, yang terkait dengan kecurangan, pemalsuan, dan peretasan. Namun, dalam perjalanannya, UU ini dipakai untuk mengkriminalisasi dan menangkapi warga yang dianggap menyuarakan sikap kritis, keyakinan berbeda, dan pandangan yang dianggap bertentangan dengan norma dan moral Indonesia.
Pada Maret 2015, hakim menjatuhkan hukuman 5 bulan penjara dan denda Rp100 juta kepada seorang ibu muda karena perbuatannya menulis status di Facebook yang dianggap menyinggung seseorang. Pada bulan yang sama, seorang mahasiswa dinyatakan bersalah dan dihukum dua bulan penjara karena komentarnya yang dianggap menghina Provinsi Yogyakarta.
Sejak disahkan, UU ITE sudah memakan ratusan korban, dari orang biasa hingga aktivis dan selebritas. Kasus terbaru yang paling besar menyita perhatian publik ialah kasus yang menimpa Ahmad Dhani, yang dituduh melakukan penghinaan dan pencemaran nama baik. Ia dijatuhi hukuman satu tahun penjara.
Kasus-kasus penangkapan terhadap orang yang dianggap menyebar hoaks dan berita palsu menjelang Pemilu 2019 lalu mengalami peningkatan. Sebagian mereka ialah pendukung salah satu kandidat politik, sebagian lainnya warga biasa yang terseret ke dalam pusaran informasi palsu dan fitnah di media sosial. UU Ormas, UU ITE, dan penangkapan-penangkapan terhadap orang yang dianggap lawan politik menjadi ancaman serius bagi demokrasi di Indonesia. Ketakutan orang berbicara politik ialah awal dari otoritarianisme. ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar