Rabu 10 Juli 2019, 12:40 WIB
Gugatan atas Udara Tercemar dan Kewajiban Pemerintah DKI
Jakarta pada beberapa minggu ini menjadi pemimpin kota dengan polusi tertinggi di dunia. Berdasarkan data AirVisual dari 19 hingga 27 Juni 2019 Jakarta beberapa kali menempati kota dengan kualitas udara terburuk di dunia dengan AQI (indeks kualitas udara) kategori "tidak sehat" dan sudah melebihi baku mutu udara ambien harian (konsentrasi PM 2,5 melebihi 65ug/m3). Babak baru dari kejadian ini, masyarakat melakukan gugatan kepada unsur pemerintahan dengan tujuh tergugat.
Para tergugat adalah Presiden RI, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), Menteri Kesehatan, Menteri Dalam Negeri, Gubernur DKI Jakarta, serta turut tergugat Gubernur Jawa Barat dan Gubernur Banten. Gugatan ini dapat diartikan bahwa masyarakat menggunakan haknya untuk menggugat karena hak mereka mendapatkan udara yang bersih tidak dapat dipenuhi oleh negara. Pada tahap ini negara dianggap gagal untuk menghadirkan sebuah ekosistem lingkungan hidup yang sehat di Jakarta.
Adanya kualitas udara yang buruk ini maka sangat penting melihat peran dari pemerintah melihat pencemaran yang sedang terjadi. Pada Peraturan Pemerintah No 41 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara (PP 41/1999) disebutkan bahwa udara bebas yang kita hirup adalah udara ambien, yang mana baku mutu udara ambien (BMUA) secara sederhana dapat diartikan sebagai batas maksimum bahan pencemar (zat, senyawa) yang berada di udara.
Pada kondisi mutu udara ambien pada status udara yang cemar, maka berdasarkan PP ini Gubernur (dalam kasus ini DKI) wajib melakukan penanggulangan dan pemulihan mutu udara ambien. PP ini secara prinsip melihat kegiatan pengendalian pencemaran udara yang dilakukan harus tepat sasaran, sehingga dalam penanggulangan dan pemulihan mutu udara ambien yang cemar perlu ditentukan strategi dan rencana aksi. Rencana aksi tersebut meliputi adanya target penurunan beban pencemaran untuk tiap jenis pencemar yang melampaui BMUA daerah ataupun jika pada wilayah nasional, dan dapat ditinjau ulang setiap 5 (lima) tahun.
Tahapan kedua, adanya pemenuhan BMUA jangka waktu maksimal 5 (lima) tahun. Tahapan ketiga, perlu upaya kordinasi dan harmonisasi kegiatan ini antarinstansi terkait sesuai dengan tugas dan fungsinya masing-masing agar mencapai target yang telah ditetapkan. Setelah itu, perlu adanya rencana pemantauan kemajuan kegiatan. Para saat kondisi status mutu udara ambien menunjukkan kondisi baik (tidak cemar), tidak menjadikan tugas Gubernur terkait dengan mutu udara ambien selesai, melainkan tugas Gubernur harus mempertahankan dan meningkatkan kualitas udara ambien di wilayahnya.
PP ini membagi sumber pencemaran yaitu sumber pencemaran dari sumber yang bergerak dan sumber pencemaran yang tidak bergerak. Kita ambil contoh kegiatan industri dan kegiatan pembangkit listrik adalah sumber tidak bergerak (STB), sedangkan sumber bergerak (SB) adalah mobil dan alat transportasi lainnya yang menggunakan bahan bakar minyak.
Pada Pasal 9 ayat (2) PP 41/1999 menyatakan1 bahwa Kepala Instansi yang bertanggung jawab di bidang pengendalian dampak lingkungan, yakni Menteri LHK, untuk menetapkan pedoman teknis pengendalian pencemaran udara STB. Hingga saat ini pedoman teknis pengendalian pencemaran udara STB yang sudah ada adalah Keputusan Kepala Bapedal No. 205 Tahun 1996 tentang Pedoman Teknis Pengendalian Pencemaran Udara Sumber Tidak Bergerak (Kepka Bapedal 205/1996). Pedoman teknis tersebut mengatur kegiatan pelaksanaan pemantauan kualitas udara, pengambilan contoh uji dan analisis, persyaratan cerobong, dan unit pengendalian pencemaran udara.
Sedangkan pada sisi lain terkait pedoman teknis pengendalian yang lebih rinci yang disyaratkan PP 41/1999 tertuang juga dalam PermenLH No 12 Tahun 2010 yang memuat Norma, Standard, Prosedur dan Kriteria (NSPK) Pengendalian Pencemaran Udara di Daerah. Adanya PermenLH 12/2010 ini tidak mencabut dan bertentangan Kepka Bapedal 205/1996.
Kegiatan di atas agar terlaksana sesuai dengan rencana aksi yang tepat sasaran, maka perlu dilakukan mekanisme pengawasan oleh pemerintah. Pengawasan terkait pengendalian pencemaran udara dari STB diatur dalam Pasal 12, 13, dan 14 PermenLH 12/2010, yang mana Gubernur melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap Bupati/Walikota dalam pelaksanaan pengendalian pencemaran udara dari STB. Gubernur dapat pula melakukan pengawasan penaatan STB yang lokasi dan/atau dampaknya lintas kabupaten/kota terhadap peraturan di bidang pengendalian pencemaran udara, kegiatan pengawasan tersebut dilakukan berdasarkan pedoman teknis pengawasan pengendalian pencemaran udara STB yang termuat dalam Lampiran VIII PermenLH 12/2010.
Selain Gubernur, Bupati/Walikota juga melakukan pengawasan penaatan STB. Walaupun kegiatannya berbeda dengan Gubernur, dikarenakan Bupati/Walikota melakukan pengawasan penaatan STB yang lokasi dan/atau dampaknya skala kabupaten/kota terhadap peraturan di bidang pengendalian pencemaran udara.
Berdasarkan uraian di atas adalah implementasi dari asas tanggung jawab negara yang diatur pada Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Pasal 2 tentang Asas, Tujuan, dan Ruang Lingkup. Negara harus hadir dan menjamin hak warga negara atas lingkungan hidup yang baik dan sehat serta negara berkewajiban mencegah dilakukannya kegiatan pemanfaatan sumberdaya alam yang menimbulkan pencemaran atau kerusakan lingkungan hidup.
Pada konteks ini dapat diartikan bahwa negara memiliki tanggung jawab yang hakikatnya harus dijalankan tanpa harus mencari kesalahan yang dilakukan masyarakat apalagi mengkambinghitamkan masyarakat sebagai salah satu unsur pencemar, karena mekanisme dari tanggung jawab negara adalah negara wajib menghadirkan lingkungan hidup yang sehat dengan segala instrumen kekuasaannya. Gugatan masyarakat atas udara yang cemar di DKI adalah upaya hukum yang sah sebagai bentuk kegiatan mencari keadilan lingkungan atas perbuatan pemerintah yang dianggap gagal.
Punta Yoga Astoni ; Lulusan Magister Hukum Universitas Indonesia
Para tergugat adalah Presiden RI, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), Menteri Kesehatan, Menteri Dalam Negeri, Gubernur DKI Jakarta, serta turut tergugat Gubernur Jawa Barat dan Gubernur Banten. Gugatan ini dapat diartikan bahwa masyarakat menggunakan haknya untuk menggugat karena hak mereka mendapatkan udara yang bersih tidak dapat dipenuhi oleh negara. Pada tahap ini negara dianggap gagal untuk menghadirkan sebuah ekosistem lingkungan hidup yang sehat di Jakarta.
Adanya kualitas udara yang buruk ini maka sangat penting melihat peran dari pemerintah melihat pencemaran yang sedang terjadi. Pada Peraturan Pemerintah No 41 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara (PP 41/1999) disebutkan bahwa udara bebas yang kita hirup adalah udara ambien, yang mana baku mutu udara ambien (BMUA) secara sederhana dapat diartikan sebagai batas maksimum bahan pencemar (zat, senyawa) yang berada di udara.
Tahapan kedua, adanya pemenuhan BMUA jangka waktu maksimal 5 (lima) tahun. Tahapan ketiga, perlu upaya kordinasi dan harmonisasi kegiatan ini antarinstansi terkait sesuai dengan tugas dan fungsinya masing-masing agar mencapai target yang telah ditetapkan. Setelah itu, perlu adanya rencana pemantauan kemajuan kegiatan. Para saat kondisi status mutu udara ambien menunjukkan kondisi baik (tidak cemar), tidak menjadikan tugas Gubernur terkait dengan mutu udara ambien selesai, melainkan tugas Gubernur harus mempertahankan dan meningkatkan kualitas udara ambien di wilayahnya.
PP ini membagi sumber pencemaran yaitu sumber pencemaran dari sumber yang bergerak dan sumber pencemaran yang tidak bergerak. Kita ambil contoh kegiatan industri dan kegiatan pembangkit listrik adalah sumber tidak bergerak (STB), sedangkan sumber bergerak (SB) adalah mobil dan alat transportasi lainnya yang menggunakan bahan bakar minyak.
Pada Pasal 9 ayat (2) PP 41/1999 menyatakan1 bahwa Kepala Instansi yang bertanggung jawab di bidang pengendalian dampak lingkungan, yakni Menteri LHK, untuk menetapkan pedoman teknis pengendalian pencemaran udara STB. Hingga saat ini pedoman teknis pengendalian pencemaran udara STB yang sudah ada adalah Keputusan Kepala Bapedal No. 205 Tahun 1996 tentang Pedoman Teknis Pengendalian Pencemaran Udara Sumber Tidak Bergerak (Kepka Bapedal 205/1996). Pedoman teknis tersebut mengatur kegiatan pelaksanaan pemantauan kualitas udara, pengambilan contoh uji dan analisis, persyaratan cerobong, dan unit pengendalian pencemaran udara.
Sedangkan pada sisi lain terkait pedoman teknis pengendalian yang lebih rinci yang disyaratkan PP 41/1999 tertuang juga dalam PermenLH No 12 Tahun 2010 yang memuat Norma, Standard, Prosedur dan Kriteria (NSPK) Pengendalian Pencemaran Udara di Daerah. Adanya PermenLH 12/2010 ini tidak mencabut dan bertentangan Kepka Bapedal 205/1996.
Kegiatan di atas agar terlaksana sesuai dengan rencana aksi yang tepat sasaran, maka perlu dilakukan mekanisme pengawasan oleh pemerintah. Pengawasan terkait pengendalian pencemaran udara dari STB diatur dalam Pasal 12, 13, dan 14 PermenLH 12/2010, yang mana Gubernur melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap Bupati/Walikota dalam pelaksanaan pengendalian pencemaran udara dari STB. Gubernur dapat pula melakukan pengawasan penaatan STB yang lokasi dan/atau dampaknya lintas kabupaten/kota terhadap peraturan di bidang pengendalian pencemaran udara, kegiatan pengawasan tersebut dilakukan berdasarkan pedoman teknis pengawasan pengendalian pencemaran udara STB yang termuat dalam Lampiran VIII PermenLH 12/2010.
Selain Gubernur, Bupati/Walikota juga melakukan pengawasan penaatan STB. Walaupun kegiatannya berbeda dengan Gubernur, dikarenakan Bupati/Walikota melakukan pengawasan penaatan STB yang lokasi dan/atau dampaknya skala kabupaten/kota terhadap peraturan di bidang pengendalian pencemaran udara.
Berdasarkan uraian di atas adalah implementasi dari asas tanggung jawab negara yang diatur pada Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Pasal 2 tentang Asas, Tujuan, dan Ruang Lingkup. Negara harus hadir dan menjamin hak warga negara atas lingkungan hidup yang baik dan sehat serta negara berkewajiban mencegah dilakukannya kegiatan pemanfaatan sumberdaya alam yang menimbulkan pencemaran atau kerusakan lingkungan hidup.
Pada konteks ini dapat diartikan bahwa negara memiliki tanggung jawab yang hakikatnya harus dijalankan tanpa harus mencari kesalahan yang dilakukan masyarakat apalagi mengkambinghitamkan masyarakat sebagai salah satu unsur pencemar, karena mekanisme dari tanggung jawab negara adalah negara wajib menghadirkan lingkungan hidup yang sehat dengan segala instrumen kekuasaannya. Gugatan masyarakat atas udara yang cemar di DKI adalah upaya hukum yang sah sebagai bentuk kegiatan mencari keadilan lingkungan atas perbuatan pemerintah yang dianggap gagal.
Punta Yoga Astoni ; Lulusan Magister Hukum Universitas Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar