Proyek khilafah Al Baghdadi telah bubar. Namun, ratusan Warga Negara Indonesia (WNI), terutama para wanita dan anak-anak, masih berada di kamp pengungsian. Layakkah mereka dapat kesempatan kedua kembali ke pangkuan NKRI? Atau kita berdoa agar mereka mati di sana? Bukankah kematian di bawah naungan khilafah itu cita-cita mereka?

Permasalahan ‘alumni’ Negara Islam Irak dan Suriah (NIIS) ini ibarat pedang bermata dua. Pada sisi pertama, mereka ini ibarat bom waktu atau sel tidur teroris. Cara pandang ini banyak diamini masyarakat Indonesia, di mana bagi mereka hidup ini sudah susah, kenapa kita harus menambah masalah?
Tak adakah kerjaan negara yang lebih penting dari pada mengurus para pengkhianat NKRI ini? Ada rasa takut merayap di hati mereka. Hal ini cocok dengan manajemen ketakutan yang sering dipilih negara untuk mengambil sebuah kebijakan publik dalam isu terorisme.
Rekam jejak alumni
Argumentasi ‘ketakutan’ ini tertolong dengan fakta bahwa sebagian alumni konflik ini memang mempunyai rekam jejak mengerikan. Misalnya, serangan Bom Bali 2002 adalah direncanakan dan dilaksanakan oleh jaringan internasional alumni Afghanistan itu. Para alumni Afghanistan ini kemudian menularkan ilmu kemiliteran mereka kepada rekrutan baru di Indonesia dan juga di Filipina Selatan.
Hingga hari ini, peran para alumni konflik internasional ini masih ada. Tertangkapnya Para Wijayanto, salah satu alumni kursus pendek pelatihan militer di Kamp Hudaibiyah milik Front Pembebasan Islam Moro (Moro Islamic Liberation Front/MILF) tahun 2000-an pada 29 Juni 2019, membenarkan tesis ini.  Menurut aparat, lelaki kelahiran Kalijati, Subang, Jawa Barat ini diduga pimpinan Jamaah Islamiyah (JI) hari ini. Sebagai pimpinan JI, aparat menuding, Para Wijayato diduga kuat terlibat pengiriman anggota JI ke Suriah untuk misi “kemanusiaan” dengan menggunakan visa umroh atau wisata.
Kenapa peran para alumni konflik ini sangatlah unik di dalam kelompok mereka ini?  Menurut hemat penulis, selain dianggap mereka telah lunas melaksanakan syariat  jihad membela umat Islam yang tertindas di luar negeri, mereka juga dipandang jago berjejaring hingga tingkat global dan berpengetahuan agama yang dalam.
Tingginya status sosial mereka itu tentu tidak terbaca oleh masyarakat umum, termasuk para aparat. Meminjam istilah penulis kiri Antonio Gramsci, para alumni ini dapat disebut  sebagai“organic intellectual” atau orang-orang terdidik yang lahir dari kalangan mereka sendiri yang kemudian mereka mampu melakukan “counter hegemony” terhadap sistem politik NKRI.
Mereka hidup dalam sebuah negara bayangan karena belum ada penguasaan teritori. Oleh karena itu, meskipun mereka terlahir sebagai orang Indonesia, namun imajinasi politik mereka melampaui negara bangsa. Dalam bahasa lain, mereka merasa menjadi bagian dari sebuah pranata politik ‘global ummah’ yang terikat dalam solidaritas keislaman mondial. Salah satu dampak dari cara pandang ini adalah, keyakinan bahwa “derita umat Islam di manapun mereka berada adalah derita mereka”.
Bagi mereka, tidak ada jarak geografis antara tangis para bayi dan perempuan Muslim di Afghanistan, Irak, Suriah, Palestina, dan Rohingya dengan diri mereka yang berada di Indonesia dalam kondisi relatif aman dan tenang ini. Mereka menangis dengan syahdu sambil mengumandangkan qunut nazilah (doa khusus meminta pertolongan) membayangkan derita umat Islam di mana.
Namun, manajemen ketakutan itu hanya efektif dalam jangka pendek karena faktanya banyak dari alumni konflik ini kemudian berhasil berintegrasi di masyarakat dengan menjadi ayah dan suami yang baik, ustadz dihormati jemaahnya, pedagang sukses di pasar, aktivis sosial yang menyelesaikan isu-isu sosial kemasyarakatan dan ada juga yang jadi akademisi yang berhasil menyelesaikan program doktoral.
Bahkan, ada juga yang di antara mereka itu menjadi konsultan bagi aparat keamanan seperti Ali Imron dan Nasir Abas untuk memahami dinamika para alumni konflik yang masih aktif bergerak melakukan “counter hegemony” terhadap NKRI.
Mengelola alumni untuk “virus kebaikan”
Dari paparan di atas dapat disimpulkan sementara bahwa karier para alumni konflik internasional ini tidak melulu menjadi teroris. Jalan hidup mereka berbeda-beda, tergantung di lingkungan sosial mana mereka hidup (field of experience) dan bacaan apa yang mereka konsumsi (field of refferance) setelah kembali ke Indonesia.
Artinya, penting untuk memahami proses dan hubungan sosial para pelaku ini.  Mereka yang gagal melakukan negosiasi identitas diri antara sebagai jundullah (tentara Alloh) yang melakukan jihad di dar al harb (wilayah perang) dan hidup di Indonesia sebagai dar ahdi wal amni (negara kesepatakan dan aman) lah yang kemudian menjadi teroris.
Namun, bagi yang berhasil melakukan muhasabah (menakar ulang pemahaman dan cara hidup lama mereka) seperti Ali Fauzi, adik tiri dari Mukhlas dan Amrozi, mereka bisa juga menjadi “virus yang baik”. Melalui Yayasan Lingkaran Perdamaian (YLP), Ali Fauzi sangat aktif melakukan advokasi dan pendampingan kepada para mantan narapidana terorisme di hampir seluruh penjara di Indonesia.
Hari ini, Ali Fauzi menyelesaikan program doktoral di sebuah universitas ternama di Jawa Timur.  Di Medan, ada alumni Afghanistan, Khairul Ghazali yang mengelola sebuah pesantren “deradikalisasi” untuk anak-anak mantan narapidana terorisme.
Melihat perkembangan seperti inilah, barangkali Pemerintah Indonesia percaya diri menangani alumni NIIS ini. Sebelum disyahkannya UU Terorisme yang baru, Pemerintah Indonesia melalui Direktorat Perlindungan Warga Negara Indonesia (PWNI), Kementerian Luar Negeri, telah membantu proses pemulangan 18 WNI — rata-rata perempuan dan anak-anak — yang pernah bergabung dengan NIIS.
Dua lelaki dewasa dari mereka menjalani hukuman penjara.
Setelah melalui proses deradikalisasi Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), 16 dari mereka berhasil memulai hidup baru. Tanpa paksaan, di antara mereka ini, seperti kakak beradik Naila dan Dhania serta Febri, telah berani muncul di publik dan memaparkan kebohongan NIIS. Salah satu dari rombongan ini kemudian berhasil menyelesaikan SMA-nya dan sekarang sedang kuliah di universitas ternama di Bandung.
Upaya integrasi sosial
Ini menunjukkan bahwa jika dikelola dengan baik, para alumni NIIS ini justru berpotensi menjadi “virus kebaikan”. Terutama dalam upaya pencegahan maraknya penolakan terhadap corak kebinekaan yang saat ini kian menguat. Imajinasi khilafah ini sangatlah cair.
Jika NIIS gagal di Suriah, hari ini imajinasi itu bergeser ke wilayah NIIS seperti di Marawi, Boko Haram atau bahkan Afghanistan. Sehingga, tidak mengherankan jika akhir-akhir ini ada lima orang WNI tertangkap di Afghanistan karena mereka tersihir mantra khilafah yang konon akan muncul di negeri Khurasan.
Menjadikan alumni NIIS “virus kebaikan” ini tentu bukan upaya yang mudah karena ada masalah stigma dari masyarakat dan tidak ada jaminan bahwa mereka bisa jadi akan kembali ke pemikiran ekstrem lama mereka.  Sebagai sebuah upaya intervensi sosial, pola ini bukanlah hal baru. Dunia kesehatan masyarakat telah terlebih dahulu mempraktikkannya.
Misalnya dalam kampanye anti rokok, mereka yang pernah kecanduan dan kemudian mampu berhenti merokok dijadikan “virus baik” karena suara mereka akan lebih didengar suaranya oleh para remaja yang sedang coba-coba merokok dari pada seorang dokter cantik ahli penyakit dalam tapi tidak pernah merokok sama sekali”.
Oleh karena itu, menurut hemat penulis, di tengah gelombang penolakan masyarakat terhadap alumni NIIS ini, negara harus hadir dengan mendata siapa mereka, bagaimana proses mereka bergabung NIIS, apa yang mereka lakukan di sana dan apa rencana mereka jika mendapatkan kesempatan kedua kembali ke pangkuan NKRI. Jika hal ini tidak dilakukan, para alumni NIIS ini bisa pulang sendiri tanpa terdeteksi keberadaan mereka ketika kembali ke Indonesia.
Setelah rontoknya NIIS di Raqqa ini, ada sembilan WNI yang berhasil pulang sendiri. Beruntung aparat berhasil menangkap mereka di bandara. Berdasarkan hasil interogasi, dua di antara mereka terdeteksi telah terlibat dalam pelatihan militer  bersama NIIS dan ingin memberikan pelatihan militer pendukung NIIS di Jawa Tengah.
Belum ada data pasti, berapa jumlah WNI sekarang di kamp Suriah itu. Presiden AS Donald Trump telah mengeluarkan ultimatum melalui Twitter-nya untuk melepaskan semua tahanan NIIS ini jika tidak diurus oleh negara mereka masing-masing. Australia telah mengambil beberapa anak-anak dari alumni NIIS ini di Suriah, demikian juga Amerika dan beberapa negara Eropa.
Tak ada pilihan bagi negara selain menciptakan “community-based integration program” dengan menyiapkan prosedur hukum yang kuat, mekanisme integrasi sosial yang sistematis dan terstruktur dan tak kalah penting adalah melibatkan secara aktif Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, keluarga dan masyarakat untuk tak melakukan stigmatisasi dan membantu mereka menjadi bagian dari anggota masyarakat yang produktif.
Bagi alumni NIIS sendiri, mereka juga harus membuka diri untuk berubah dan kemudian siap menjadi bagian dari “virus baik” melawan narasi-narasi intoleran yang diembuskan para pendukung NIIS yang sampai hari ini masih aktif, terutama di ranah online seperti Facebook, Twitter, Instagram, Telegram, WhatsApp dan aplikasi lain. ***