Baiq Nuril, Wajah Patriarki Penegakan Hukum
Oleh : Novita Anggraeni *)
KASUS Baiq Nuril bukanlah perkara hukum berat seperti pembunuhan atau tragedi besar lain. Tapi, kasus itu menjadi sangat kontroversial karena menjadi preseden buruk bagi korban pelecehan seksual. Dalam kasus tersebut, victim blaming atau menyalahkan korban tidak hanya terjadi pada level masyarakat dan tidak berhenti pada pengucilan korban. Tapi juga berujung vonis bersalah untuk korban dengan aduan pencemaran nama baik kepada tersangka pelecehan.
Upaya kasasi yang ditolak Mahkamah Agung (MA) kembali mengingatkan bagaimana hukum dan aparat melihat kasus pelecehan seksual kepada perempuan. Perkembangan terakhir, bahkan Baiq Nuril harus meminta tolong presiden untuk upaya pembebasan dirinya.
Kasus tersebut bermula saat seorang guru honorer yang bernama Baiq Nuril merasa tidak nyaman karena sering mendapat pelecehan seksual secara verbal dari kepala sekolah tempat dia bekerja. Karena posisinya lemah, dia tidak berani secara frontal menolak atau menghentikan pelecehan itu. Kemudian, dia menemukan cara untuk membuat kepala sekolah berhenti. Yaitu, merekam pembicaraan tak pantas yang dilakukan pelaku via telepon. Langkah itu Nuril lakukan sebagai upaya pertahanan diri agar pelecehan tersebut tidak terus berlangsung. Malangnya, rekaman itu malah bocor karena ada rekan yang menyebarkan tanpa izinnya.
Ketika kasus itu mencuat, tidak ada yang menduga bahwa dalam prosesnya pelaku berhasil membalikkan keadaan dengan menjadikan korban sebagai tersangka.
Pelecehan seksual sepatutnya bukan aib korban, melainkan aib pelaku. Namun, sering kali saat kasus seperti itu terekspos, serangan balik kepada korban menjadi lebih besar. Baik dari pelaku, keluarga pelaku, keluarga korban, bahkan lingkungan sekitarnya. Akibatnya, korban mengalami tekanan, menjadi korban untuk kali kedua.
Kultur patriarki dianggap sebagai salah satu akar dari pemakluman kepada pelaku pelecehan terhadap perempuan. Menganggap kehormatan laki-laki yang menjadi pelaku lebih utama harus dilindungi daripada korban perempuan yang kehormatannya justru dilecehkan. Predator seksual dengan sukacita melakukan kegemarannya karena tahu masyarakat yang patriarkis dan aparat yang abai justru memberikan perlindungan pada perbuatannya dalam bentuk pemakluman dan pembiaran.
Kasus penolakan kasasi Baiq Nuril seolah menjadi statement bagi semua korban pelecehan untuk menutup mulut dan tidak melapor atau akan dikenai pasal pencemaran nama baik. Apalagi jika pelaku adalah orang yang memiliki power. Pengabaian fakta tentang tujuan perekaman pelecehan sebagai strategi pembelaan diri dan penyebaran isi yang tidak dilakukan oleh korban menunjukkan perspektif aparat penegak hukum kita terhadap pelecehan seksual. Pernyataan jaksa agung bahwa Baiq Nuril bukan korban pelecehan dan putusan itu sudah sesuai dengan ketentuan UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) adalah cerminan dari bias gender yang melatarbelakangi putusan penolakan tersebut. Buruknya pemahaman penegak hukum tentang korban dan pengabaian itu membuahkan putusan yang jauh dari rasa keadilan.
Sikap Masyarakat dan Negara
Kasus pelecehan seksual dan victim blaming kepada Baiq Nuril menjadi rentetan kelam buruknya penanganan perkara pelecehan, baik di depan hukum, institusi pemerintahan, bahkan institusi pendidikan seperti kampus atau sekolah.
Sering kali korban yang berupaya mencari keadilan mendapat perlakuan brutal dari lingkungan dan keluarga. Misalnya kasus Agni di kampus Universitas Gadjah Mada (UGM), kasus pelecehan oleh salah satu petinggi BPJS, kasus pelecehan beberapa mahasiswi oleh dosen di UIN Bandung, dan banyak perkara lain yang penyelesaiannya sering kali tidak berpihak kepada kepentingan korban.
Bahkan, pada kasus-kasus yang terekspos dan mendapat pengawalan publik seperti perkara-perkara tersebut, tetap saja keadilan yang diharapkan belum didapatkan oleh para korban. Sebab, sering kali mayoritas pihak yang berwenang menegakkan keadilan masih memiliki perspektif bias gender sehingga memengaruhi pencarian keadilan. Jika ditelisik lebih jauh, banyak kasus serupa yang hanya diselidiki dengan setengah hati, mengabaikan hak-hak dan perspektif korban dengan selalu menawarkan penyelesaian secara ”kekeluargaan” tanpa mendengar keinginan korban.
Kasus pelecehan dan kekerasan seksual yang tercatat di Komnas Perempuan menunjukkan tren kenaikan yang signifikan. Pada 2014, tercatat 4.475 kasus kekerasan. Jumlah itu meningkat menjadi 6.499 kasus pada 2015. Lalu, pada 2016, terjadi 5.785 kasus. Perspektif yang berbeda harus digunakan dalam melihat kasus kekerasan dan pelecehan seksual terhadap perempuan dibanding kasus kriminal lain.
Semakin banyak angka kasus menunjukkan sisi positif, berarti semakin banyak korban yang berani melapor. Seperti diketahui, kekerasan dan pelecehan adalah fenomena gunung es. Sebagian besar korban enggan melapor atau mencari keadilan karena menganggap itu aib. Dilatarbelakangi kondisi psikologis korban dan kultur patriarki yang masih kuat, korban akan lebih rentan jika kasusnya terekspos.
Penegak hukum yang masih bias gender dan mekanisme penanganan kasus pun sering kali semakin menambah trauma korban atau menjadikan korban rentan diskriminasi dan stigma negatif.
Terkait dengan situasi itu, diperlukan gebrakan serius untuk mengakhiri teror kepada korban pelecehan dan kekerasan seksual yang berupaya mencari keadilan. Sinergi antarlembaga negara seperti Kejagung, Komnas Perempuan, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, serta kepolisian mutlak harus dilakukan. Membangun perspektif penegakan keadilan yang responsif gender dengan melakukan gender mainstreaming dalam penegakan hukum, khususnya untuk kasus pelecehan dan kekerasan seksual, urgen untuk segera dilakukan.
Membangun mekanisme penanganan kekerasan dan pelecehan seksual yang berperspektif gender untuk menjadi bagian dari standar operasional institusi-institusi publik serta memberikan edukasi kepada semua pihak, termasuk aparat penegak hukum dan masyarakat secara umum.
Mungkin semua langkah dan upaya itu tidak akan langsung menghilangkan masalah yang ada. Namun, minimal negara merespons dan memfasilitasi perlindungan kepada salah satu kelompok paling rentan dalam kasus-kasus yang mencederai rasa keadilan sebuah bangsa. (*)
*) Konsultan gender independen, gender specialist di PATTIRO, serta sedang menempuh studi master kebijakan publik di School of Government and Public Policy
Tidak ada komentar:
Posting Komentar