Puasa
Menghadapi Viral Politik Kebencian
Gantyo Koespradono ; Dosen Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Jakarta
|
MEDIA
INDONESIA, 30 Mei 2018
APAKAH situasi politik
kekinian di Indonesia mencekam dan mengkhawatirkan? Apakah suasana keamanan
dan kenyamanan kita terganggu karena memang ada yang mengganggu?
Apakah persaudaraan kita
sebagai sesama anak bangsa ikut-ikutan terganggu karena begitu mudahnya kita
tersulut dan terprovokasi, sehingga kita bersosok sebagai makhluk pemarah
daripada peramah?
Jika Anda membenarkan atas
pertanyaan-pertanyaan di atas, sepertinya Anda tidak keliru. Anda tidak
sendirian. Sosiolog Imam Prasodjo di Detikdotcom melalui opininya pernah
mengungkapkan keprihatinannya atas situasi sosial dan politik di negeri ini.
Melihat kondisi
akhir-akhir ini yang semakin mengkhawatirkan, tulis Imam Prasodjo, kini
mungkin saat yang tepat, kita harus bicara bersama-sama, mencegah potensi
konflik horisontal yang kelihatannya dapat setiap saat terjadi.
"Sungguh pertikaian
terbuka yang sarat dengan sentimen kesukuan, ras dan agama telah
memorak-porandakan kedamaian kehidupan kita," tulis Prasodjo.
Amarah dan dendam, masih
menurut sosiolog itu, terasa begitu bergemuruh membakar nafsu untuk saling
melukai dan bahkan saling membunuh karena harga diri kita sebagai manusia
merasa disinggung dan direndahkan.
Suara keras, lantang,
saling melecehkan dan merendahkan yang kita saling lontarkan, tanpa terasa
telah menusuk hati kita masing masing. Kita pun lupa, kita sesama saudara
warga bangsa yang pasti akan terus hidup berdampingan.
Situasi kekinian yang
diungkapkan Prasodjo, terutama tercermin dan memberikan noda hitam ikatan
persaudaraan bangsa ini, manakala kita menyimak beragam informasi yang begitu
bias di media sosial. Tak cuma bias, informasi di medsos, termasuk yang
mampir di grup-grup What's App bahkan sangat liar.
Saat ini, suara-suara
keras saling melukai, terus terdengar, bahkan terasa berulang-ulang
diviralkan dengan bantuan teknologi komunikasi dan begitu mudanya mampir ke
gadget kita.
Lantas apa yang harus kita
lakukan? Imam Prasodjo bertanya dan dijawab: "Setidaknya untuk
sementara, saat ini perlu kita tunda mencari siapa yang memulai kekalutan ini
dan siapa yang bersalah. Bila ini dilakukan juga, pasti perdebatan
berkepanjangan akan terjadi, masing-masing pihak mencari berbagai alasan
untuk membela diri, tak mau disalahkan, dan mau menang sendiri."
Kita tidak bisa menutup
mata bahwa pasca pilkada di DKI Jakarta yang disusul dengan rencana Pemilu
Serentak 2019 -- di dalamnya ada pilpres -- masyarakat kita terbelah dalam
dua kubu. Persisnya kedua kubu itu adalah barisan pendukung kesinambungan
pembangunan yang direpresentasikan sebagai pro-Jokowi, dan barisan ganti presiden.
Kedua kubu ini tentu
merasa benar sesuai dengan argumentasinya masing-masing. Demi keyakinannya,
bahkan ada sementara kelompok dalam kubu itu yang terang-terangan merasa
telah berada di jalan yang benar dan ingin menggantikan ideologi Pancasila dengan
ideologi lain.
Celakanya, kelompok
anti-Pancasila -- rasanya lebih afdol disebut pemberontak -- dimanfaatkan
oleh mereka yang bernafsu ingin berkuasa dan segera mengganti presiden yang
jika memungkinkan tanpa menunggu agenda konstitusi (pemilu).
Kubu ini (semoga saya
salah) seolah tak pernah prihatin bahwa ada dua remaja putri -- mereka
ditangkap di Mako Brimob saat akan menyerang polisi -- yang saat diwawancarai
Majalah Tempo terang-terangan menyatakan bangga jika ISIS berada di Indonesia
untuk menegakkan ideologi mereka. Kedua perempuan itu setuju membunuh untuk
memuluskan perjuangan mereka.
Tapi, baiklah, guna
memenuhi anjuran Imam Prasodjo, saya tidak akan membesar-besarkan soal itu.
Yang penting dilakukan saat ini, masing-masing kita harus berusaha keras
instrospeksi dan menahan diri untuk tidak menambah situasi menjadi lebih
runyam.
Fakta memperlihatkan bahwa
di sekitar kita masih banyak berseliweran peristiwa dan pernyataan ngawur
yang sengaja dilontarkan oleh "tokoh" tertentu untuk memancing
kebencian.
Kedua belah pihak,
khususnya yang paling waras sebaiknya menahan diri, jangan sampai terbawa
emosi.
Sudahlah, tak usahlah kita
mengkritisi, apalagi menghina keputusan atau kebijakan Pemprov DKI Jakarta
yang akan mengolah/menyaring limbah tinja menjadi air bersih yang layak
minum. Stop! Hentikan kritik itu!
Lagi pula mengapa kita
mesti sewot? Jika memang 58% warga DKI Jakarta yang tempo hari memilih Anies
Baswedan dan Sandiaga Uno berkenan menikmati air bersih limbah tinja, apa
dasar kita untuk melarang? Jika kita sok melarang, bukankah malah kita bisa
dikelompokkan sebagai manusia pelanggar HAM?
Sebaiknya kita berpikir
positif saja seperti teman saya yang menulis status di akun Facebook-nya
bahwa 12 tahun lagi di pulau Jawa akan terjadi krisis air bersih. Kita patut
mengapresiasi segala upaya untuk penyediaan air bersih, termasuk mengolah
tinja menjadi air bersih.
Jijik? Iya. "Tapi
kalau kita tidak menguasai teknologinya mulai sekarang, maka saat terlambat
kita akan menyesal. Saat nanti, sumber air bersih makin langka, maka pada
akhhirnya kita harus belajar untuk menghilangkan rasa jijik itu. Jangan
sampai kebencian pada gubernur sekarang menutupi akal sehatmu,"
tulisnya.
Kubu pendukung
kesinambungan pembangunan mungkin saja menjadi "panas hati" tatkala
mendengar Wakil Gubernur DKI Jakarta Sandiaga menyamakan pemerintahan
sekarang sama dengan pemerintahan Malaysia saat rezim Najib Razak yang super
korup berkuasa.
Sudahlah yang merasa waras
tidak usah ikut-ikutan tidak waras dengan memberikan komentar tidak-tidak
atas pernyataan Uno. Akal sehat kita jangan sampai tertutup kabut tebal hanya
lantaran Uno membuat pernyataan seperti itu.
Dalam soal ini, rasanya
suara kita sudah cukup diwakili Media Indonesia yang dalam editorialnya hari
ini (Rabu 30 Mei 2018) menulis seperti ini: "Apa yang dilontarkan Sandi
bukan lagi kritisisme, melainkan sinisme."
Koran ini menyarankan
Sandiaga agar berkaca pada pejabat pemerintah daerah lainnya, yang meski
berasal dari partai oposisi, tetap bersikap bijak dan proporsional kepada
pemerintah. Sandi mesti mencontoh Gubernur Sumatra Barat Irwan Prayitno dan
Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan.
Kita juga tidak perlu
berpanas hati saat menyaksikan kebencian Amien Rais yang begitu
memuncak-muncak kepada Presiden Jokowi dengan menyebut pada saatnya
"Jokowi akan dilengserkan Allah".
Amien Rais kasar dan tidak
etis? Jawabnya tidak jika kita mau berpikir positif dan memertahankan
kewarasan kita. Ada baiknya kita belajar berpuasa untuk tidak
sebentar-sebentar marah saat kebencian politik diviralkan.
Jika kita mau berpikir
positif, apa yang dilontarkan Amien Rais tak akan membawa dampak apa-apa
kalau kita masih mampu berpikir waras dan akhirnya memaklumi gejolak batin
Amien karena ia sudah tua dan pikun, serta mengalami trauma akut lantaran
gagal menjadi presiden.
Sekali lagi, mari kita
puasa saat kebencian politik begitu viral di sekitar kita. Tak usahlah kita
marah-marah karena Amien membawa-bawa Allah.
Pikiran positif kita harus
mampu membawa kita ke arah permakluman bahwa Amien menyebut Allah karena dia
masih beragama. Sudah itu saja. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar