Tantangan
PPID Perguruan Tinggi pada Era Data
Uruqul Nadhif Dzakiy ; Anggota Staf PPID ITB
|
KOMPAS,
09 April
2018
Lahirnya Undang-Undang Nomor 14
Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik mendorong badan-badan publik,
seperti halnya lembaga pemerintah dan perguruan tinggi negeri, untuk menunjuk
Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi.
Dalam Peraturan Menteri Riset,
Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Nomor 75 Tahun 2016 disebutkan bahwa Pejabat
Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID) bertanggung jawab di bidang
penyimpanan, pendokumentasian, penyediaan, dan/atau pelayanan informasi di
lingkungan PPID. Intinya, kehadiran pejabat ini dimaksudkan untuk mendorong
badan publik seperti perguruan tinggi negeri (PTN) lebih terbuka/transparan.
Dalam upaya menggairahkan
transparansi PTN melalui PPID, diselenggarakan pemeringkatan setiap tahun
oleh Komisi Informasi, lembaga mandiri yang berfungsi menjalankan UU
Keterbukaan Informasi Publik. Adapun indikator penilaiannya diberikan secara
detail oleh Komisi Informasi beberapa bulan sebelumnya untuk dilengkapi oleh
PTN tersebut.
Lembaga yang dapat memenuhi semua
indikator dalam self assessment questions (SAQ) berpotensi menjadi pemenang
dalam pemeringkatan yang diadakan oleh KI. Tahun lalu penganugerahan pemenang
disampaikan di Istana Wakil Presiden dan langsung diserahkan oleh Wakil
Presiden Jusuf Kalla. Langkah ini merupakan simbol bahwa pemerintah serius
untuk mewujudkan badan publik seperti PTN yang bersih dari praktik
penyalahgunaan wewenang melalui keterbukaan informasi.
Era
data
Informasi publik yang menjadi
indikator versi Komisi Informasi telah dikluster ke dalam tiga kategori
(informasi berkala, serta-merta, dan tersedia setiap saat), bersumber dari
data mentah yang tersebar di berbagai unit dalam suatu organisasi seperti
PTN. Data mentah ini jika diolah akan menjadi informasi yang terdiri atas
informasi yang terbuka untuk publik (tiga kategori tersebut) atau informasi
yang dikecualikan sebagai rahasia organisasi.
Sebagai badan publik yang sangat
dinamis dengan interaksi orang, barang, komunikasi, dan sebagainya, PTN
tentunya memiliki data mentah yang sangat besar. Istilah data yang sangat
besar ini disebut big data.
Pada era informasi saat ini,
istilah tersebut sangat familier dibahas di mana-mana. Bahkan, telah menjadi
kepedulian berbagai perusahaan digital Indonesia, seperti yang bergerak di
bidang e-dagang, tekfin, travel, dan perbankan. Di perusahaan-perusahaan
semacam itu bahkan disediakan tempat dan ruang khusus untuk mereka yang
bekerja di bidang data, atau bahkan lebih spesifik lagi seperti data
scientist, data engineer, dan data analysist.
Data yang sangat besar ini dalam
perusahaan digital komersial menjadi aset perusahaan. Seperti halnya Gojek
yang kini memiliki valuasi sebesar 4 miliar dollar AS atau setara Rp 53,3
triliun (Kompas.com, 18/1/2018). Apa yang menjadi sebab valuasi Gojek
bernilai sebesar itu? Jawabannya: data!
Dalam sebuah artikel daring di The
Economist (6/5/2017) dijelaskan, sumber daya yang amat bernilai pada era
digital saat ini bukan lagi minyak melainkan data. Betapa data ini
dimonetisasi banyak perusahaan rintisan (startup) untuk mendapatkan
pundi-pundi keuntungan yang berlipat. Caranya seperti dengan micro targeting
untuk mendapatkan penghasilan dari iklan atau menciptakan peluang bisnis
baru.
Selain untuk profit, ternyata data
dapat dimanfaatkan untuk kepentingan pragmatis seperti politik. Baru-baru ini
kita dihebohkan oleh pemanenan data secara ilegal dari Facebook oleh
konsultan politik ternama, Cambridge Analytica. Konon data ini dimanfaatkan
untuk kepentingan pemenangan Donald Trump pada Pemilu Amerika Serikat 2016.
Terlepas kasus ini masih didalami
oleh otoritas setempat, fakta menarik dari kejadian ini adalah bagaimana data
perilaku 50 juta pengguna Facebook ini dianalisis sedemikian rupa melalui
pendekatan psychographic. Pendekatan psikologis pada user Facebook ini
dipandang sebagai kunci sukses tim kampanye Donald Trump untuk memuluskan
Trump menuju Gedung Putih.
Manajemen
data
Dari nilai valuasi data yang besar
dan juga potensi data untuk dimanfaatkan ke hal pragmatis, langkah pengamanan
data wajib dilakukan. Dalam konteks PTN, meskipun secara bisnis PTN bersifat
nonprofit, tidak membuat pengelolaan data menjadi diabaikan begitu saja.
Kehadiran UU Keterbukaan Informasi Publik tidak sekadar diartikan untuk
pelayanan publik semata, tetapi dapat juga dipakai untuk membuat PTN menjadi
lebih berkembang, utamanya terkait kualitas.
Sebagai contoh, data akademik,
baik hasil penelitian, hibah/grant, prestasi, maupun kehadiran
mahasiswa/dosen, dapat dianalisis untuk kepentingan perguruan tinggi.
Pimpinan universitas dapat menentukan kebijakan yang pas melalui analisis big
data kampus untuk pengembangan institusi lebih lanjut, seperti halnya
pembukaan program studi baru atau peluang bekerja sama dengan pihak ketiga.
Untuk melakukan peranan tersebut
memang tidak sesuai dengan tugas dan fungsi (tupoksi) PPID saat ini yang
sekadar terbatas pada informasi publik. Namun, PPID bisa menjadi pintu masuk
untuk pengelolaan data yang lebih komprehensif.
Secara konsep, pengelolaan data
ini familier di jurusan sistem dan teknologi informasi disebut manajemen data
yang memuat berbagai bagian penting, seperti keamanan data, kualitas data,
serta pemodelan dan desain data. Meskipun di badan-badan publik di Indonesia,
seperti halnya PTN, belum ada yang fokus menangani persoalan data ini, tetapi
upaya ke sana harus disegerakan dan optimasi peran PPID bisa menjadi langkah
awal. Jika PTN memiliki perhatian lebih pada data, tak hanya transparansi
yang didapat melainkan juga quality control bagi PTN untuk lebih baik lagi
pada masa depan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar