Prabowo,
Politik, dan Kebohongan Impunitas
Max Regus ; Doktor Lulusan Graduate School of Humanities
University of Tilburg, Belanda
|
MEDIA
INDONESIA, 04 April 2018
PRABOWO Subianto
(Prabowo), mantan calon presiden periode 2014-2019, kembali ’mendidihkan’
suhu politik nasional dalam hitungan sebulan terakhir ini. Sebagai simbol
kekuatan oposisi, pidato dan serangan politik Prabowo, ditambah dukungan kaum
loyalisnya, serentak memantik kontroversi. ’Ramalan’ politik tentang
kemungkinan bubarnya Indonesia di 2030 dan penyebutan ’elite goblok’ adalah
dua contoh luapan sikap dan penampilan politik Prabowo.
Harian umum Media
Indonesia, untuk soal ini, dengan berani dan langsung pada sasaran,
menyodorkan ulasan dengan judul ’Prabowo Tiru Donald Trump’ (Media Indonesia,
3 April 2018). Secara ringkas, dengan ’menyamakan’ strategi politik keduanya
(Prabowo dan Trump), dalam konteks pemilihan presiden, USA-2016 dan
Indonesia-2019, kita bisa menyebutkan bagaimana eksploitasi pesimisme dan
ketakutan sosial (politik) dijadikan muatan utama substansi kampanye politik.
Banyak analis politik
menempatkan gerakan politik Trump pada apa yang dikenal dengan sebutan
’landkap politik pascakebenaran’ (the post-truth political landscape). Pada
penampang dan suasana seperti ini, politik dibahasakan secara brutal sebagai
sumber energi serangan tidak terhormat terhadap kebenaran. Eksploitasi masif
terhadap dua hal--’ketakutan-ketakutan massal’ di satu pihak--dan
’prasangka-prasangka sosial’ di pihak lain, menggelembungkan kompetisi
kekuasaan sebagai ajang pembantaian nilai-nilai kebenaran dan kebajikan dalam
politik.
Tubuh
politik
Kita berhadapan dengan
pertanyaan tentang bagaimana model persaingan perebutan kekuasaan seperti ini
bisa bekerja dalam politik? Jawaban untuk pertanyaan ini niscaya dikembalikan
lagi pada kerangka pemahaman atas tubuh politik. Fondasi pengertian
memengaruhi cara berada kekuasaan seseorang (elite) atau paling tidak
mengendalikan arah pengelolaan kompetisi kekuasaan.
Jacques Ranciere (2001),
filsuf politik dari Prancis, ketika mengajukan 10 tesis politik, pada tesis
pertama (1) mendefinisikan dan mengunggulkan politik sebagai sebuah
(rangkaian) ’tindakan rasional’. Di sini, rasionalitas serentak juga
mengandaikan kukuhnya benteng ’moral-etik’ pada setiap jengkal perebutan
kekuasaan. Tidak boleh ada pengingkaran terhadap aspek ’kepatutan’ pada
setiap ucapan dan tindakan, pidato dan kampanye politik.
Ranciere, di garis
pandangan ini, berusaha menempatkan politik pada titik pemahaman berbeda dari
kekuasaan. Politik tidak sekadar ’medium’ merengkuh kedudukan dan jabatan
publik. Politik adalah sebuah proses penalaran yang berusaha mencocokkan apa
yang ada pada kenyataan dan bangunan pengetahuan kekuasaan.
Tubuh politik akan
’remuk’ketika hasutan dan khayalan dalam konteks geliat politik Prabowo
dikemukakan’ secara membabi buta sebagai alat penekan kebebasan politik. Di
titik ini, pratana-pranata demokrasi dijauhkan dari politik.
Kebohongan
yang dipersenjatai
Di tarik ke masa kini,
kita dapat membaca bagaimana sekujur tubuh politik, pada banyak level dan
cakupan, sedang tersekap dalam kerangkeng reproduksi kebohongan. Bahkan,
kecenderungan ini sudah melampaui jangkauan teoretis politik ’era
pascakebenaran’. Salah satu sebab utama dari suasana ini barangkali senada
pada apa yang disebut Daniel J Levitin (2016) untuk judul bukunya
kebohongan-kebohongan yang dipesenjatai’ (Weaponized Lies).
Kebohongan dipersenjatai
dengan intimidasi, mengaduk-aduk konservatisme religius, dan menggandakan
ketidakpatuhan sosial pada semua tingkatan hubungan sosial dan politik.
Kebiasaan seperti ini yang menyebabkan kejujuran (thruthfulness), sebagaimana
sinyalemen klasik Arendt (1972), sudah sejak lama tidak lagi berada di antara
daftar utama sekian banyak nilai dan kebaikan politik. Sementara itu,
kebohongan sudah begitu lama menggerogoti segenap transaksi-transaksi
politik.
Refleksi Arendt ini dimuat
dengan topik lying in politics dalam buku Crises of the Republic. Arendt
mengungkapkan isu ini ketika menulis tinjauan kritis untuk apa yang disebut
dengan the Pentagon Paper. Yang merekam keterlibatan politik dan militer AS
di Vietnam sepanjang 1945 hingga 1967. Kisah tentang dokumen ini tidak begitu
penting. Yang utama di sini bagaimana Arendt mengingatkan kita tentang
kebohongan yang cenderung dijadikan justifikasi dari banyak kerja politik dan
kekuasaan.
Kebohongan
impunitas
Keyes (2004) mengemukakan
munculnya sebuah era ketika politik dan kekuasaan bergerak dengan penyebaran
(pemaksaan) ’metode’ penerimaan fakta bahwa kebohongan-kebohongan dapat
(boleh) diceritakan dengan ’impunitas’. Dalam perspektif sosiologi politik,
mereka yang suka bekerja di dan (atau) untuk ’metode’ semacam ini tidak akan
mendapatkan sanksi (hukum), baik karena privilese politik maupun jaringan
kekuasaan (power) yang dimiliki.
Bagi para penyebar
kebohongan, tidak ada hukuman, kecuali reaksi publik. Bahkan, pada atmosfer
sosial-kultural tertentu, mereka mendapatkan ’kemenangan’ politik akibat
dukungan tanpa syarat dari pendukung mereka. Ini terjadi sama seperti
munculnya dukungan ’tutup mata’ kaum Kristen evangelis konservatif terhadap
Donald Trump pada Pilpres 2016.
Di sini, dalam apa yang
sedang menguat pada penampilan politik Prabowo, politik yang cenderung
beralaskan ’kebohongan impunitas’ dapat menjadi pola utama persaingan
perebutan kekuasaan pada pilpres mendatang. Kita tahu, harganya amat mahal
bagi masa depan keindonesiaan kita. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar