Permainan
Sinyal Ekonomi
Ari Kuncoro ; Dekan dan Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Universitas Indonesia
|
KOMPAS,
05 April
2018
Sebelum tahun 1972,
kebijakan publik dirancang dengan asumsi tersembunyi bahwa segalanya akan
berjalan lancar sesuai dengan rencana.
Pada tahun 1972, Robert
Lucas mengusulkan konsep ekspektasi rasional yang pada intinya adalah
kebijakan publik tidak dapat berjalan satu arah saja (model naif) karena ada
pelaku-pelaku lain bereaksi terhadap kebijakan. Pemanfaatan konsep teori
permainan (game theory) memungkinkan setiap pihak, untuk mengoptimalkan
tujuannya sendiri-sendiri dengan memperhatikan kendalanya masing-masing
sehingga menghasilkan fungsi reaksi yang dapat dinterpretasikan sebagai
sinyal.
Titik temu dari
sinyal-sinyal tersebut merupakan keseimbangan atau solusi dari model.
Pertemuan dari sinyal-sinyal reaksi tersebut akan menghasilkan solusi
nonkoperatif, di mana setiap pihak mengoptimalkan masalahnya sendiri-sendiri
dengan menganggap pihak lain sebagai given. Secara umum solusi tersebut akan
selalu sub-optimal dibandingkan kalau pelaku-pelaku tersebut bekerja sama
(cooperative equilibrium). Dengan demikian inti dari ekspektasi rasional adalah
interaksi dari berbagai pihak yang memberikan sinyal.
Perang
dagang
Beberapa minggu yang lalu,
dunia dikejutkan oleh pernyataan dari Presiden Amerika serikat (AS) Donald
Trump yang akan mengenakan tarif 10 persen untuk impor baja dan 25 persen untuk
impor aluminium. Pernyataan ini mengundang reaksi dari negara-megara mitra
dagang AS yang mayoritas adalah negara-negara sekutu atau sahabat AS.
Ancaman akan melakukan
pembalasan segera muncul dari sejumlah negara. Yang menarik adalah mereka
ternyata telah mempersiapkan diri dengan menganalisis perekonomian
negara-negara mitra dagang (suatu contoh bagus bagi perwakilan RI di luar
negeri). Uni Eropa (UE), misalnya, secara spesifik mengumumkan pengenaan
tarif pada beberapa produk tertentu, seperti bourbon, Levis dan Harley
Davidson.
Yang paling membahayakan
dalam perang dagang adalah eskalasi yang tidak hanya berupa pengenaan tarif
yang lebih tinggi, tetapi juga perluasan produk-produk lain yang semula tidak
terkena tarif. Apalagi ketika Presiden Trump memperlebar front pada saat ia
menginstruksikan perwakilan dagang AS untuk mengenakan tarif pada
barang-barang impor China senilai 50 miliar dollar AS di antara produk
kedirgantaraan, teknologi informasi dan komunikasi dan mesin.
Seperti yang sudah diduga,
beberapa pengamat ekonomi segera memperingatkan akan adanya prospek
pelambatan pertumbuhan ekonomi dunia karena konsumen di sejumlah negara akan
menghadapi kenaikan harga produk-produk tertentu. Sementara sektor produksi
akan mengadopsi tingkah laku wait and see. Hal ini mengingatkan kita kembali
ke tahun 1920-an di mana perang dagang global memperlambat pertumbuhan
ekonomi dunia yang pada gilirannya mempunyai andil dalam memperdalam depresi
besar tahun 1930-an.
Kembali ke masa kini, yang
terjadi setelah pernyataan AS tersebut adalah adanya peningkatan
ketidakpastian yang membuat para manajer portofolio internasional melakukan
aksi penyeimbangan alokasi investasi portofolio dengan menarik sebagian
dananya dari negara-negara yang pasarnya tengah bertumbuh (emerging market)
untuk ditanamkan ke bentuk investasi yang lebih aman. Arus ini sebelumnya
sudah mulai terjadi ketika pimpinan Bank Sentral AS (The Fed) yang baru,
Jerome Powell, mengumumkan peta jalan dari prospek kenaikan tingkat bunga di
AS pada masa yang akan datang.
Yang mencengangkan adalah
bagaimana perang dagang ini tak serta-merta terjadi setelah pernyataan
pengenaan tarif. Salah satu faktor penting adalah sinyal pembalasan
(retaliation) dari negara-negara yang berpotensi terkena tarif AS yang merupakan
faktor pencegah (detterent). Dalam skenario pembalasannya, UE telah
mempelajari perekonomian AS dalam hal ini lokasi industri. Ketiga merek
produk AS tadi ternyata diproduksi di negara-negara bagian yang mayoritasnya
memilih Trump dalam pemilu dua tahun lalu.
Mengikuti langkah-langkah
tersebut, sebagai balasan China membidik produk-produk pertanian AS, seperti
cakar ayam (chicken feet) dan sorgum yang produsen mayoritasnya adalah di
negara-negara bagian pemilih Trump. Pemilihan produk-produk tertentu dinilai
lebih efektif dibandingkan dengan perang dagang total. Perkembangan
selanjutnya adalah AS mengumumkan ”pengecualian” untuk Kanada misalnya dan
negara-negara lain juga dapat mengajukan pengecualian.
Dalam konteks signaling,
penundaan ini menimbulkan pertanyaan apakah tujuan sebenarnya dari deklarasi
(baca gertakan) perang dagang tersebut. Salah satu jawabannya adalah AS
mungkin meminta konsesi perdagangan dari mitra dagangnya untuk memperbaiki
neraca perdagangannya. Kemungkinan lain, ini adalah bagian dari usaha
memperbaiki popularitas Presiden Trump. Dalam kasus China, Pemerintah AS
telah meminta China untuk mengimpor lebih banyak semikonduktor dari AS,
selain itu juga memberikan perusahaan AS akses yang lebih besar pada sektor
keuangan China.
Adanya subgame potensi
konflik di Semenanjung Korea menguntungkan posisi tawar China karena secara
historis China merupakan sekutu Korea Utara karena pernah bertempur di pihak
Korea Utara dalam perang Korea 1950-1953. Rencana pertemuan historis yang
belum pernah terjadi sebelumnya pada presiden-presiden AS dan
pemimpin-pemimpin Korea Utara, antara Presiden AS Donald Trump dan Pemimpin
Korea Utara merupakan pertaruhan bagi Trump yang sangat butuh headline untuk
mendongkrak reputasi dan kredibilitasnya.
Hasil sampingannya adalah
meningkatnya peluang untuk bernegosiasi cukup tinggi karena melalui signaling
potensi perang dagang tereduksi menjadi ”beberapa” produk dan tuntutan.
Pemusatan masalah ini juga mengubah sifat keseimbangannya menjadi perang
dagang parsial (separating equilibrium) dan bukan perang dagang total
(pooling equilibrium) yang memudahkan negosiasi dan seandainya terjadi perang
dagang pun cakupannya akan terlokalisasi dengan kata lain perang dagang total
dapat menjadi perang dagang parsial. Dalam istilah kemiliteran, strategi
carpet bombing atau bumi hangus berubah menjadi surgical strike atau
tebang/potong pilih.
Bagi para analisis yang
menggunakan Teori Permainan untuk menganalisis interaksi antarpara pelaku ini
adanya signaling ini membuat suatu permainan (game) menjadi lebih kompleks.
Setiap usaha untuk menarik kesimpulan dengan cara menghubungkan titik-titik
kejadian (connecting the dots) harus dilakukan secara hati-hati karena sering
kali sinyal tersebut terkontaminasi oleh white noise (suara statis yang
keluar dari pesawat TV yang belum diprogram/set up).
Risiko lain adalah
terjadinya trembling hand perfect equilibrium di mana ada kemungkinan seorang
pemain karena sesuatu hal memilih strategi yang sebenarnya tidak
dikehendakinya (misalnya keseleo lidah dalam seminar, rapat tingkat tinggi
atau dalam konferensi pers). Situasi yang terjadi sekarang ini tidak dapat
begitu saja dinyatakan sebagai perang dagang yang akan berdampak pada resesi
dunia sebagai bagian dari siklus bisnis jangka panjang. Terdapat kemungkinan
yang sekarang terjadi adalah perang ”gertakan” untuk memperoleh konsesi. Kita
hanya dapat berdoa semoga para pelaku tetap dapat menggunakan nalar yang utuh
dan tidak ada lagi keseleo ucap atau kejutan-kejutan lain dari Presiden Trump.
Utang
pemerintah
Beralih ke topik
berikutnya, perdebatan tentang utang pemerintah dalam beberapa minggu ini di
media sosial dapat juga ditinjau dari kacamata signaling game. Secara konsep
alat analisis utang pemerintah sendiri sudah sangat berkembang mulai dari
yang sederhana (rudimentary) seperti jumlah nominal, pertumbuhan jumlah
nominal, batas rasio defisit anggaran terhadap produk domestik bruto (PDB),
batas rasio utang terhadap variabel lain, misalnya PDB sampai pada alat yang
memasukkan kemampuan membayar utang, seperti defisit primer yang merupakan
selisih antara pengeluaran pemerintah di luar pembayaran bunga utang dengan
penerimaan pemerintah di luar utang baru dan pembayaran cicilan.
Perdebatan ini dimulai
dari sinyalemen berbagai pihak bahwa jalur pertumbuhan (growth path)
Indonesia dibiayai oleh utang dan pada saat ini baik ditinjau dari segi
pertambahan atau nilai nominal sudah mencapai titik yang mengkhawatirkan.
Yang menarik dari argumen ini adalah tak seperti dalam gim perang dagang
antara AS dan mitra-mitra dagangnya, signaling di sini dilakukan hanya dengan
melihat jumlah nominal atau pertambahan/pertumbuhan jumlah utang dan rasio
tanpa menggunakan variabel makro lain sebagai patokan (benchmarking) ataupun
sebagai counter-factual, dengan maksud mengubah ekspektasi masyarakat
(realignment of expectation) menuju suatu pooling equilibrium di mana
perbedaan antara berprestasi dan tidak berprestasi tidak jelas.
Sulit membayangkan
skenario ini akan menuju ke jalur pertumbuhan (growth path) seperti apa pada
masa depan karena variabel (pertumbuhan) utang nominal ini tidak bersifat
dapat menjelaskan dirinya sendiri (self-explanatory). Walaupun demikian tidak
adil juga menganggap sinyal ini hanya sebagai white noise murni, dari segi
positifnya, sinyal ini dapat digunakan untuk memberikan peringatan perlunya
pengelolaan uang secara berhati-hati.
Pemerintah dalam hal ini
memberikan respons bahwa Indonesia membutuhkan suatu jalur pertumbuhan dengan
daya saing untuk mengimbangi negara-negara lain di dunia yang juga bergerak
dengan cepat. Utang pemerintah dalam hal ini adalah suatu instrumen untuk
meningkatkan kapasitas produksi untuk membuat perekonomian bergerak
mendahului kurva normal. Beberapa variabel-variabel lain digunakan untuk
menunjukkan dampak atau paling tidak progres dalam mencapai tujuan di atas,
termasuk di antaranya Indeks Daya Saing, Indeks Kemudahan Bisnis.
Usaha tersebut di atas
dilakukan untuk menunjukkan “I have a plan” yang sangat penting untuk
menunjukkan kredibilitas atau dengan kata lain suatu separating equilibrium
dari alternatif melakukan pekerjaan seperti biasanya (business as usual). Apakah ini sudah cukup untuk membuat jalur
pertumbuhan yang kredibel? Jawabannya mungkin belum, tetapi janganlah melihat
ke belakang, teruslah melihat ke depan melakukan perbaikan terus-menerus (continous improvement).
Perumpamaannya dapat
digambarkan dengan persamaan matematika dinamis dalam buku Political Economics Explaining Economic
Policy, tahun 2000, karya T Persson dan G Tabellini yang saya
ilustrasikan secara bebas sebagai berikut. Perekonomian itu seperti suatu
pesawat yang harus berjalan kencang supaya sayap-sayapnya mendapat gaya
angkat untuk dapat terbang. Pada saat tinggal landas akan tercapai kecepatan
kritis V-1 atau velocity one di mana bagi pilot sudah terlambat untuk
membatalkan tinggal landas (aborting take-off). Satu-satunya pilihan adalah
melanjutkan tinggal landas, terbang menuju tujuan.
Siklus
bisnis
Konsep anggaran dinamis
(intertemporal budgeting) yang menekankan pada reputasi dan kredibilitas
pemerintah mungkin dapat membantu. Dengan konsep ini pemerintah dimungkinkan
untuk melakukan kebijakan kontrasiklikal (counter-cyclical) dalam waktu yang
agak panjang untuk meniti siklus bisnis atau konjungtur dengan mulus. Defisit
primer secara akumulatif ditargetkan netral atau tidak material selama jangka
waktu tertentu, misalnya sepuluh tahun.
Pada tahun-tahun tertentu,
sesuai kebutuhan dapat saja terjadi defisit primer untuk menstimulasi
perekonomian yang akan dikompensasi dengan surplus pada tahun-tahun
mendatang. Implikasinya adalah keperluan untuk penganggaran multitahun yang
dapat mengakomodasi siklus proyek yang lebih dari satu tahun (penelitian
dasar yang dapat membuat terobosan biasanya membutuhkan waktu lebih dari satu
tahun) atau bahkan lebih dari satu masa administrasi pemerintahan (lima
tahun). ●
|
Apakah kamu sudah tau prediksi togel mbah jambrong yang jitu? bila belum baca Prediksi jitu mbah jambrong Hk
BalasHapus