Menyoal
Penguasaan Pulau oleh WNA
Rio Christiawan ; Dosen Hukum Bisnis Universitas Prasetiya Mulya
|
KOMPAS,
17 April
2018
Beberapa hari yang lalu
beredar secara viral beberapa wisatawan Indonesia dilarang masuk ke sebuah
pulau yang secara administratif masuk dalam Provinsi Kalimantan Timur, yang
kini dikuasai WNA asal Jerman.
Fenomena ini seakan
meneguhkan dominasi asing dalam penguasaan pulau-pulau kecil di Indonesia.
Sebelumnya, seorang WNA dari Italia juga berani melarang rombongan DPRD
Sumatera Barat ketika rombongan anggota Dewan tersebut akan melakukan
kunjungan ke sebuah pulau yang secara administratif masuk dalam Provinsi
Sumatera Barat.
Dua contoh tersebut
terekspos oleh publik setelah rekaman penolakan untuk memasuki pulau tersebut
beredar secara viral dan disiarkan oleh beberapa televisi nasional. Setelah
itu publik baru benar-benar menyadari realitas penguasaan pulau oleh warga
negara asing (WNA) meskipun sesungguhnya fenomena penguasaan pulau oleh orang
asing di negeri ini sudah terdengar sejak beberapa tahun lalu.
Fenomena di atas seakan
melukai harga diri bangsa Indonesia. Bukankah secara konstitusional
pemanfaatan bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai
oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat
sebagaimana dijamin Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945?
Dalam perspektif
kedaulatan negara, Pasal 33 Ayat (3)
UUD 1945 tersebut harus dipahami bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh negara sebagai
organisasi kekuasaan seluruh rakyat. Negara memiliki kedaulatan atas seluruh
bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, dalam hal ini
termasuk penguasaan pulau-pulau kecil. Frasa ”dikuasai oleh negara” artinya
negara sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat bertindak selaku penguasa.
Negara bukan berarti
memiliki, melainkan negara diberi wewenang sebagai organisasi kekuasaan dari
bangsa Indonesia untuk mengatur dan menyelenggarakan penggunaannya, termasuk
mengatur hak-hak yang dapat dimiliki atas pulau-pulau kecil tersebut. Dalam
konteks ini termasuk di dalamnya menentukan hubungan hukum dari pihak-pihak
yang terkait.
Regulasi
pemanfaatan pulau kecil
Pemerintah Indonesia pada
awalnya telah memiliki UU Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah
Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. Keterlibatan pihak asing mulai diintrodusir
ketika UU No 27/2007 ini diubah dengan UU Nomor 1 Tahun 2014 tentang
Perubahan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007. Pasal 26 A Ayat (1) dalam UU
hasil revisi ini mengizinkan asing untuk dapat menguasai pulau di Indonesia
dengan mendapat perizinan dari menteri.
Saat ini UU No 1/2014
tersebut, terutama melalui Pasal 26 A Ayat (1), telah menjadi payung hukum
bagi penguasaan asing atas kepemilikan pulau di Indonesia. Selanjutnya, UU No
1/2014 secara teknis ditindaklanjuti dalam Peraturan Menteri Agraria Nomor 17
Tahun 2016 tentang Penataan Pertanahan di Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil.
Peraturan Menteri Agraria No 17/ 2016 inilah yang menjadi dasar hukum
pemberian hak bagi WNA dalam hal penguasaan pulau-pulau di Indonesia,
khususnya aturan yang tercantum pada Pasal 10.
Peristiwa pelarangan warga
negara Indonesia (WNI) memasuki pulau yang dikelola dan dikuasai oleh WNA
sebenarnya bukan salah WNA sebagai investor yang menguasai pulau-pulau di
Indonesia. Akar persoalan sesungguhnya adalah karena dalam Pasal 10 Peraturan
Menteri Agraria No 17/2016 terdapat pengaturan yang sifatnya kontradiktif
antara Pasal 10 Ayat (1) dan Ayat (2). Pasal 10 Ayat (1) mengatur bahwa
penguasaan dan pemilikan tanah di pulau kecil tidak boleh menutup akses
publik yang selanjutnya seolah dibatalkan melalui Pasal 10 Ayat (2) yang
memberikan limitasi pada ayat (1).
WNA pengelola pulau
tersebut secara yuridis tidak dapat disalahkan atas insiden pelarangan
tersebut karena Pasal 10 Ayat (2) Peraturan Menteri Agraria No 17/2016
menyebutkan secara limitatif bahwa yang dimaksud sebagai akses publik dalam
huruf (a) adalah akses perorangan atau kelompok orang untuk berlindung,
berteduh, menyelamatkan diri serta mencari pertolongan dalam pelayaran ;
huruf (b) akses perorangan atau kelompok orang dengan izin resmi untuk
melakukan kegiatan terkait pendidikan, penelitian, konservasi, dan
preservasi. Pasal 10 Ayat (2) inilah yang bertentangan dengan Pasal 33 UUD
1945 sehingga mendesak perlu dilakukan deregulasi kebijakan hukum demi
menegakkan kedaulatan negara.
Investasi
asing dan kedaulatan bangsa
Pulau-pulau kecil yang
dapat dikelola dan dikuasai orang asing melalui hak yang diberikan Peraturan
Menteri Agraria No 17/2016 adalah pulau dengan luas atau lebih kecil dari
2.000 kilometer persegi beserta kesatuan ekosistemnya.
Sejarah diundangkannya UU
No 1/2014 adalah Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 3/PUU-VIII/2010 yang
menyatakan beberapa pasal krusial UU No 27/2007 bertentangan dengan Pasal 33
Ayat (3) dan Ayat (4) UUD 1945 sehingga harus dilakukan perubahan. Namun,
perubahan yang dilakukan melalui UU No 1/2014
tetap tidak sesuai dengan Pasal 33 Ayat (3) dan Ayat (4) UUD 1945.
Dapat dipahami semangat
pemberian hak untuk menguasai pulau kecil pada WNA melalui jalan investasi
memang dapat dipandang sebagai upaya pemerataan ekonomi dengan mengurangi
beban keuangan pemerintah dalam pengelolaan pulau-pulau tersebut.
Mengacu pada Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJM) 2015-2019, pemerintah memang
menawarkan pulau-pulau yang potensial kepada investor termasuk investor
asing. Keberadaan RPJMN tersebut dapat dipahami mengingat biaya pemeliharaan
pulau tersebut terus meningkat dari tahun ke tahun. Dengan jalan investasi,
selain pemerintah dapat memangkas anggaran pemeliharaan, para investor yang
masuk diharapkan dapat mengembangkan perekonomian dengan tujuan akhir berupa
pemerataan ekonomi masyarakat lokal.
Sebenarnya pemerintah
menyadari perlunya deregulasi pengaturan pulau-pulau untuk menyeimbangkan
kepentingan investasi asing dan perlindungan terhadap kepentingan WNI
sebagaimana termaktub dalam Pasal 33 Ayat (3) dan Ayat (4) UUD 1945.
Pemerintah telah mengajukan upaya revisi terhadap UU No 1/2014 sebagai payung dari Peraturan Menteri
Agraria No 17/2016 dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) pada tahun
2016. Namun, hingga kini upaya revisi tersebut belum dibahas oleh DPR
sehingga momentum kejadian pelarangan rombongan DPRD Sumatera Barat oleh WNA
(Italia) tersebut seharusnya menjadi momentum reflektif legislasi.
Deregulasi untuk
menyeimbangkan kepentingan investasi dan aspek kedaulatan suatu negara
mendesak untuk dilakukan. Mengacu pada Konvensi Montevideo 1933, kedaulatan
akan wilayah adalah salah satu parameter sebuah negara merdeka. Dalam
konvensi tersebut disebutkan bahwa wilayah yang berdaulat adalah jalan untuk
menyejahterakan rakyat. Hal ini sejalan dengan Pasal 33 Ayat (3) dan Ayat (4)
UUD 1945 dan Putusan MK Nomor 3 /PUU-VIII/2010.
Di lain pihak, jika
terdapat regulasi yang memadai, juga memberi kenyamanan bagi investor asing
sesuai semangat dibukanya peluang investasi pengelolaan pulau-pulau kecil.
Sebaliknya, jika investor selalu dibenturkan dengan kepentingan rakyat,
rencana mendatangkan investor untuk pengembangan perekonomian dan pemerataan
ekonomi masyarakat lokal akan tidak tercapai. ●
|
Apakah kamu sudah tau prediksi togel mbah jambrong yang jitu? bila belum baca Prediksi togel Sgp mbah jambrong
BalasHapus