Mencari
Model Pertumbuhan Baru
Carunia Mulya Firdausy ; Profesor Riset LIPI;
Guru Besar Universitas Tarumanagara
|
KOMPAS,
31 Maret
2018
Direktur Pelaksana Dana
Moneter Internasional (IMF) Christine Lagarde dalam seminar bertajuk High
Level Conference Annual Meeting 2018: New Growth Models in a Changing Global
Landscape di Jakarta, Selasa (27/2), menyatakan bahwa Indonesia dan
negara-negara berkembang lain di ASEAN membutuhkan model pertumbuhan ekonomi
baru (Kompas, 28/2).
Pernyataan Lagarde
tersebut tentu menarik bukan hanya untuk didiskusikan, tetapi untuk dicarikan
jawaban terkait model pertumbuhan baru yang kita perlukan. Pentingnya model
pertumbuhan baru tersebut paling tidak didasarkan tiga alasan.
Pertama, adanya tantangan
lanskap perekonomian global yang sedang bergeser dan berubah, revolusi
industri keempat yang berkembang pesat, volatilitas pasar keuangan yang
semakin meningkat, dan adanya pengetatan
perdagangan.
Kedua, pertumbuhan ekonomi
Indonesia sejak 2013 tidak pernah mencapai angka yang ditargetkan 6-7 persen
per tahun. Angka pertumbuhan ekonomi yang mampu dicapai sejak 2013 hanya
berada di kisaran 5.0 persen saja. Bahkan pada 2015, pertumbuhan ekonomi hanya
mampu mencapai angka 4.9 persen.
Ketiga, Indonesia memiliki
rencana menjadi salah satu dari 10 ekonomi terbesar di dunia pada 2030.
Lantas, bagaimana model pertumbuhan baru yang semestinya dipilih dan
diimplementasikan?
Pertumbuhan
inklusif
Model pertumbuhan baru
yang harus dipilih dan diimplementasikan tentu tidak mudah. Bank Pembangunan
Asia (2007) dan Bank Dunia (2008), misalnya,
pernah mengusulkan model pertumbuhan inklusif sebagai model
pertumbuhan yang harus diterapkan bagi negara-negara anggotanya, termasuk
Indonesia. Pasalnya, model ini diyakini mampu memperluas basis pembangunan
ekonomi yang lebih merata.
Dengan model ini tidak
saja dihasilkan pertumbuhan ekonomi yang berkualitas, tetapi juga pertumbuhan
ekonomi yang mampu mengurangi ketimpangan pendapatan antar rumah tangga,
ketimpangan antar wilayah dan efektif untuk mempercepat penanggulangan
kemiskinan dan pengangguran.
Dalam perjalanannya, model pertumbuhan inklusif memiliki
berbagai risiko dan masalah. Adam (2017), misalnya, mencatat bahwa model
pertumbuhan inklusif ternyata kurang efektif dalam alokasi sumber daya.
Pasalnya, penerapan model ini ditemukan kental dengan intervensi sosial
politik yang mengalahkan pertimbangan-
pertimbangan ekonomi. Akibatnya,
pertumbuhan ekonomi yang dicapai menjadi rendah.
Oleh karena itu, sebagai
substitusi model pertumbuhan inklusif disarankan model pertumbuhan berdaya
saing. Dengan model ini, pertumbuhan ekonomi diyakini dapat lebih tinggi
sebagai akibat alokasi sumber daya
pada sektor-sektor yang memiliki daya saing dengan produktivitas tinggi.
Dengan capaian pertumbuhan
tinggi tersebut, melalui proses yang efeknya “menetes ke bawah” akan
berdampak secara positif terhadap pengurangan kemiskinan, pengangguran dan
problem sosial lainnya.
Lagi-lagi, dalam
perjalanannya, model pertumbuhan berdaya saing juga ditinggalkan. Hal ini
karena proses ‘efek yang menetes ke bawah’ dari model pertumbuhan berdaya
saing tak pernah mampu mengatasi secara langsung tiga masalah pembangunan
nasional, yakni kemiskinan, ketimpangan pendapatan dan pengangguran. Lantas,
model pertumbuhan baru yang bagaimana harus diterapkan di sini?
Adopsi
teknologi
Prasetyantoko dalam analisisnya (Kompas, 6 Maret 2018)
menyarankan model pertumbuhan baru harus melakukan adopsi teknologi. Pikiran
Prasetyantoko tersebut diilhami oleh pikiran Schempeter yang kemudian
dikembangkan oleh Lucas. Menurutnya, model pertumbuhan baru harus mengadopsi
teknologi, khususnya di sisi moneter, reformasi perpajakan dan transformasi
struktural yang diarahkan untuk memacu perkembangan industri berbasis
teknologi (digital).
Pikiran Prasetyantoko
tersebut tentu sah-sah saja. Namun, persoalannya, apakah benar dengan adopsi
teknologi yang inklusif di tiga sektor
tersebut pertumbuhan yang dicapai nantinya sungguh dapat dinikmati oleh semua
orang?
Nyatanya Rhee (2012)
menemukan bahwa adopsi teknologi, globalisasi dan reformasi pasar benar di
satu sisi menghasilkan pertumbuhan ekonomi tinggi, tetapi di sisi lain
menghasilkan ketimpangan dan pengangguran tinggi di 11 negara di Asia,
termasuk Indonesia. Hal ini terjadi karena adopsi teknologi, globalisasi, dan
reformasi pasar telah mengakibatkan
mesin dan tenaga terampil jadi motor produksi di negara-negara Asia.
Oleh karena itu, model
pertumbuhan ekonomi baru yang harus diterapkan seyogyanya tidak boleh sebatas
pertumbuhan inklusif, berdaya saing dan—apalagi—menekankan pada adopsi
teknologi semata. Model pertumbuhan ekonomi baru selayaknya harus menekankan
pertumbuhan berorientasi reformasi sumber daya manusia yang mampu
mengonpensasi total factor productivity (TFP).
Model pertumbuhan seperti
ini dipastikan tidak akan menimbulkan creative destruction terhadap struktur
ekonomi kita yang masih bersifat dualistik.
Bahkan model ini dapat membentengi dan mampu mengakomodasi
perkembangan dari era ekonomi digital.
Berbagai kebijakan fiskal
yang efisien untuk mengurangi ketimpangan sumber daya manusia (SDM),
intervensi untuk mengurangi ketimpangan daerah, maupun kebijakan yang lebih
berorientasi pada penciptaan lapangan kerja merupakan kebijakan yang tidak
boleh luput untuk diterapkan dalam model ini.
Singkatnya, model
pertumbuhan ekonomi baru yang diterapkan tidak harus diserahkan sepenuhnya
pada dinamika perkembangan teknologi, tetapi harus disesuaikan dengan struktur
dan kompleksitas ekonomi Indonesia yang masih memiliki kualitas SDM rendah:
mental revolution is necessary, but not sufficient for Indonesia. Semoga! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar