Memutus
Laku Kekerasan di Dunia Pendidikan
Anggi Afriansyah ; Peneliti Sosiologi Pendidikan di Puslit Kependudukan LIPI
|
MEDIA
INDONESIA, 25 April 2018
VIRALNYA video pemukulan yang
dilakukan seorang guru kepada siswanya di salah satu SMK di Purwokerto,
Jateng, kembali memperlihatkan betapa pendidikan kita belum steril dari
tindakan kekerasan (Media Indonesia, 23/4). Peristiwa itu jelas bukan yang
pertama. Dalam beberapa tahun terakhir kasus kekerasan di dunia pendidikan
semakin banyak terungkap. Pada 2016, seorang guru SMKN 2 Makassar dipukul
salah satu orangtua siswa karena tak terima perlakuan sang guru terhadap
anaknya. Pemukulan itu menyebabkan orangtua siswa bersama putranya itu mesti
melalui proses hukum.
Ada juga kasus seorang guru di
Sidoarjo yang harus melalui proses hukum karena mencubit seorang siswa.
Kekerasan yang menimpa Ahmad Budi Cahyono, 26, guru seni rupa di Sampang
Madura, masih segar dalam ingatan. Tentu kita sangat menyesalkan perbuatan
siswa itu. Tindakan bodoh yang berakibat hilangnya nyawa seorang guru.
Kasus-kasus itu menjelaskan kepada
kita bahwa potensi tindakan kekerasan dapat dilakukan guru, siswa, bahkan
orangtua. Siapa pun bisa menjadi pelaku ataupun korban kekerasan. Padahal,
sudah terang benderang, baik guru maupun siswa haram melakukan tindakan
kekerasan sebab lembaga pendidikan ialah arena tempat kekerasan harus
dipinggirkan jauh-jauh.
Menciptakan lembaga pendidikan
steril dari tindakan kekerasan baik fisik maupun psikis merupakan hal yang
sangat krusial, karena proses pendidikan merupakan salah satu lokus penting
bagi proses pengembangan intelektual maupun psikologis anak-anak didik.
Salah satu tujuan pendidikan ialah
memanusiakan manusia, menjadikan peserta didik sebagai individu yang memiliki
kehalusan budi serta kebaikan hati. Maka, harus ada kesadaran diri bahwa
penggunaan kekerasan bukanlah mekanisme efektif mencapai tujuan. Penggunaan
kekerasan justru kontraproduktif karena jelas menihilkan tujuan mulia
pendidikan. Oleh karena itu, ketika ada tindakan kekerasan di dunia
pendidikan itu menjadi goresan luka amat mendalam.
Pendisiplinan dengan menebar rasa
takut tak tepat lagi diterapkan bagi generasi kiwari. Apa pun alasanya
tindakan pendisiplinan seharusnya menggunakan cara-cara yang tak merendahkan
derajat kemanusiaan seseorang. Sekolah harus seksama memperhatikan
kecenderungan perilaku atau sikap baik guru maupun siswanya.
Guru-guru yang terdeteksi
menggunakan cara kekerasan dalam mendidik mesti diberi peringatan tegas.
Demikian juga dengan siswa yang memiliki kecenderungan berlaku kasar baik
terhadap sesama siswa maupun guru di sekolah. Setiap ada potensi kekerasan
baik itu verbal maupun fisik harus dilaporkan ke pihak sekolah.
Guru kelas misalnya, wajib
memiliki rekam jejak anak satu per satu. Rekam jejak siswa selama proses
pendidikan, termasuk saat di sekolah sebelumnya perlu diketahui. Relasi guru
bidang studi, wali kelas, guru bimbingan konseling, dan orangtua mesti
terjalin dengan baik.
Kesungguhan untuk melakukan hal
sederhana ini akan meminimalkan kondisi-kondisi yang tidak diinginkan. Hal
itu merupakan upaya preventif yang dapat dilakukan agar sekolah tak
kecolongan. Lebih baik melakukan segala upaya dengan optimal di awal. Jangan
sampai tindakan baru dilakukan ketika sudah jatuh korban akibat tindak
kekerasan.
Bukan
dengan kekerasan
Tak zaman lagi mendidik dengan
pemaksaan apalagi penggunaan kekerasan. Aturan harus dilaksanakan dengan
penuh kesadaran, bukan karena keterpaksaan atau rasa takut. Pola pendidikan
menghukum dan mengancam hanya mewariskan gen kekerasan. Laku momong, among, ngemong
seperti yang disebut Ki Hadjar Dewantara ialah panduan penting yang mesti
diejawantahkan di dalam dunia pendidikan.
Penggunaan kekerasan dalam proses
pendidikan hanya akan berdampak pada mentalitas siswa di masa depan. Mereka
akan menjadi individu yang senang memaksakan kehendak dan menganggap
penggunakan kekerasan untuk mencapai tujuan tertentu sebagai sesuatu yang
wajar.
Proses pendidikan berkontribusi
besar terhadap konstruksi mental anak-anak bangsa. Ketika masuk ke sekolah,
individu tidak hanya diasah nalarnya, tetapi juga dididik mentalnya. Ruang
pendidikan menjadi arena stategis untuk internalisasi nilai-nilai kehidupan.
Haryatmoko (2005) menjelaskan,
idealnya ada empat tujuan pendidikan, yaitu penguatan kompetensi, orientasi
humanistik, menjawab tantangan sosial-ekonomi dan keadilan, serta kemajuan
ilmu pengetahuan.
Sayangnya, sering kali pendidikan
di sekolah hanya terfokus penguatan kompetensi menegasikan orientasi
humanistik, gagal menjawab tantangan sosial ekonomi dan keadilan, serta jauh
dari kemajuan ilmu pengetahuan. Maraknya varian penggunaan kekerasan di
sekolah menjadi salah satu indikator, bahwa orientasi humanistik pendidikan
belum dijalankan optimal.
Proses pendidikan sering kali
melupakan hal yang sangat mendasar, internalisasi nilai-nilai kehidupan
kepada siswa. Pendidikan karakter justru terjebak pada slogan dan jargon
sehingga sulit diimplementasikan di kehidupan keseharian. Membesarkan anak
dengan menggunakan pola-pola kekerasan harus dihilangkan. Anak yang dibesarkan
dengan amarah akan hidup dengan kebencian. Mereka akan terbiasa menyelesaikan
masalah dengan kekerasan.
Akhirnya, melakukan tindakan
kekerasan sampai hilangnya nyawa manusia seolah menjadi biasa saja. Banyak
kasus juga yang menunjukkan bahwa atas agama, etnisitas, maupun perbedaan
pandangan tindakan kekerasan dilegalkan. Nyawa menjadi murah tak berarti.
Tidak ada tindakan kekerasan yang
bisa ditoleransi. Semua tindakan itu melampaui batas kemanusiaan. Tindakan
kekerasan bahkan sampai pembunuhan tentu menistakan kemanusiaan. Semua jenis
kekerasan itu mengusik rasa kemanusiaan kita. Duka mendalam pasti dirasakan
setiap orang, tak hanya pihak keluarga yang menjadi korban. Laku kekerasan
sudah sepatutnya diputus mulai dari dunia pendidikan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar