Langkah
Maju Jokowi
Gutomo Bayu Aji ; Peneliti Pusat Penelitian
Kependudukan, LIPI
|
KOMPAS,
18 April
2018
Ketimpangan penguasaan tanah jadi
sorotan publik lagi setelah Amien Rais menyindir program sertifikasi tanah
sekarang sebagai reforma agraria “ngibul”. Walau sindiran itu memicu polemik,
tetapi kurang memperlihatkan kontribusi diskursif terhadap pemikiran serta
kebijakan reforma agraria.
Baik kritik maupun penjelasan di
polemik itu kurang menyentuh substansi diferensiasi agraria yang menciptakan
jurang ketimpangan. Selain itu, polemik juga tidak menyentuh strategi
politik reformasi agraria sebagai suatu “gebrakan cepat”.
Jika kita menengok sejarah
kebijakan reforma agraria sejak 1960 dan rekam jejak pemerintahan sejak era
Orde Baru, maka sebenarnya tidak akan mudah untuk melontarkan apresiasi
miring terhadap kebijakan reforma agraria sekarang.
Dalam rentang 50 tahun terakhir,
Jokowi merupakan presiden paling berani dalam membuat kebijakan reforma
agraria. Bukan hanya menetapkan jumlah objek reforma agraria paling luas,
yaitu 21,7 juta hektar, melalui skema redistribusi aset dan akses, juga
paling berani merombak dua kementerian, yaitu Kementerian Agraria dan Tata
Ruang/Badan Pertanahan Nasional serta Kementerian Lingkungan Hidup dan
Kehutanan, yang selama 50 tahun itu berkembang menjadi imperium tanah dan
hutan di Indonesia.
Tindakan kecil ini tidak bisa
dianggap remeh karena di dua kementerian itu pokok persoalan diferensiasi agraria
di Indonesia bermula, yang kemudian jadi warisan masalah ketimpangan
penguasaan tanah hingga mencapai gini rasio 0,68 sekarang ini.
Dalam sejarah kebijakan agraria,
tindakan kecil itu setidaknya berdampak nyata pada dua hal berikut. Pertama,
laju diferensiasi agraria secara nasional dapat diredam melalui sejumlah
kebijakan, antara lain pembatasan pemberian konsesi kepada swasta, pencabutan
izin usaha yang melanggar serta pembatasan pelepasan kawasan hutan yang
kurang produktif.
Pada masa pemerintahan Soeharto,
konsesi kepada swasta di dalam kawasan hutan mencapai lebih 500 unit dengan
penguasaan kawasan hutan lebih dari 60 juta hektar atau hampir separuh dari
total luas kawasan hutan di Indonesia. Sementara penguasaan rumah tangga
petani di dalam kawasan hutan hampir nol persen. Sekarang, konsesi swasta
diperketat hingga jumlah unitnya kurang dari separuhnya dengan penguasaan
kawasan hanya sepertiga dari total luas kawasan hutan di Indonesia. Sementara
penguasaan rumah tangga petani di kawasan hutan ditingkatkan hingga mendekati
10 persen.
Kedua, meningkatnya penguasaan
tanah pada rumah tangga petani miskin melalui redistribusi aset dan akses
seluas 21,7 juta hektar itu akan berdampak nyata terhadap masalah ketimpangan
penguasaan tanah, kesejahteraan petani, serta konflik agraria di dalam
kawasan hutan.
Langkah besar
Langkah besar untuk merombak
struktur agraria nasional tentu sangat diharapkan pasca-2019. Langkah ini tak
bisa disandarkan pada sosok pemimpin kurang memiliki visi agraria, apalagi
terikat kepentingan bisnis pribadi/ kelompok yang turut menimpangkan
penguasaan tanah di masa lalu hingga kini.
Langkah ini butuh sosok pemimpin
yang berani, setidaknya untuk melakukan perombakan cepat dalam beberapa hal
penting berikut ini.
Pertama, merestrukturisasi bisnis di sektor kehutanan dari sekadar ekstraksi sumber daya hutan menjadi sektor manufaktur yang menyerap banyak tenaga kerja dan meningkatkan ekspor barang olahan.
Kedua, menggeser perimbangan
penguasaan kawasan hutan melalui peningkatan akses rumah tangga petani miskin
secara berkelompok dari sekitar 10 persen hingga mencapai 30 persen atau
lebih. Hal ini berarti sepertiga atau lebih kawasan hutan itu akan dikelola
oleh kelompok petani melalui perhutanan sosial, termasuk hutan adat yang
telah terbukti lestari.
Ketiga, menata ulang penguasaan
tanah di sektor pertanian yang selama ini diabaikan tetapi memiliki
kontribusi besar terhadap perekonomian dan menyerap tenaga kerja paling besar
di pedesaan.
Keempat, merevisi peraturan
perundangan di sektor pertanian yang tak punya semangat kedaulatan pangan,
antara lain UU No 12/1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman yang selama ini
justru melegalisasi penciptaan ketergantungan petani pada pemerintah dan
swasta.
Kelima, pengendalian bank tanah,
termasuk yang dikuasai oleh oligarki bisnis selama hampir 30 tahun
terakhir, untuk memajukan perekonomian rakyat kecil.
Beberapa perombakan mestinya sudah
bisa dicicil, apalagi dengan adanya sinergi pembangunan desa dan pengembangan
kawasan industri. Sementara langkah besar atau bahkan “gebrakan cepat”
pasca-2019, bisa dirancang untuk melanjutkan langkah maju Jokowi sekarang. ●
|
sekarang kalian bisa memainkan permainan seru
BalasHapusMainkan Poker Online di agens128
dengan minimal deposit hanya 10rb untuk Poker Online
dengan pelayanan cepat dan ramah dari cs kami :)
tunggu apa lagi segera bergabung bersama kami sekarang !!
Contact Kami :
BBM : D8B84EE1 / AGENS128
Line id : agens1288
WhatsApp : 085222555128