Kualitas
Kampanye Pilkada
Asrinaldi A ; Dosen Ilmu Politik Universitas Andalas
|
KOMPAS,
11 April
2018
Belum ada yang berubah dari
pelaksanaan kampanye pemilihan kepala daerah gelombang ketiga saat ini.
Kampanye terkesan biasabiasa saja dan tidak ada sesuatu yang membuat publik
ingin terlibat.
Begitu juga dengan gagasan dan ide
yang ditawarkan juga tidak ada yang istimewa. Malah pasangan calon lebih
banyak memilih kampanye tanpa dialog dan diskusi dengan masyarakat sebagai
pemilih. Belum lagi masalah debat calon kepala daerah yang diselenggarakan
dan disiarkan di berbagai media massa terkesan formal dan basa-basi.
Dapat dikatakan kampanye pilkada
belum dimanfaatkan dengan maksimal oleh setiap pasangan calon untuk menyerap
aspirasi masyarakat, khususnya masyarakat kelas bawah. Malah yang terjadi dalam banyak kesempatan,
tim pemenangan calon kepala daerah malah mengumpulkan masyarakat hanya untuk
mendengar ceramah dari calon kepala daerah.
Tidak adanya perubahan metode dan
substansi kampanye pilkada dari waktu ke waktu menimbulkan pertanyaan: apakah
kampanye dalam pilkada ini masih relevan dilaksanakan?
Tujuan
kampanye
Dalam realitanya kampanye dalam
sebuah pemilihan memiliki tujuan yang sangat ideal, yaitu mendekatkan
hubungan antara calon kepala daerah dan pemilihnya melalui pertukaran
informasi dan pengetahuan sesuai posisi masing-masing. Dalam kampanye, publik
akan tahu bagaimana sosok calon kepala daerah yang akan mereka pilih.
Pengetahuan itu tidak hanya menyangkut bagaimana pemikiran calon kepala
daerah terkait dengan program dan kegiatan pemerintahan yang akan
dilaksanakan, tetapi juga bagaimana kemampuan calon meyakinkan pemilih.
Kampanye juga bertujuan membangun
komitmen bersama antara calon dan masyarakat untuk melaksanakan kesepakatan
yang telah dibuat. Karena itu, dalam kampanye ada komitmen-komitmen yang
terbangun sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Kampanye tidak hanya
membutuhkan kandidat yang punya gagasan cerdas terhadap persoalan di daerah,
tetapi juga masyarakat akan memahami fungsi kepala daerah dalam kehidupan
mereka.
Sayangnya kampanye hari ini tidak
lebih sebagai pelengkap tahapan pelaksanaan pilkada. Banyak calon kepala
daerah justru mengabaikan aspek ini sehingga pilihan kampanye yang dilakukan
justru meninggalkan suasana dialogis dan bagaimana membangun ikatan
psikologis dengan pemilihnya. Justru yang banyak terlihat adalah tim
pemenangan yang sibuk memasang baliho dan spanduk di pemukiman penduduk. Tidak
ada pesan politik khusus yang disampaikan untuk masyarakat kecuali hanya
gambar pasangan calon yang sedang tersenyum dan berharap mendapatkan simpati
masyarakat.
Oleh karena itu, bisa dikatakan
tidak banyak pembelajaran yang dapat diambil dari proses kampanye yang
dilakukan oleh kandidat kepala daerah saat ini. Apalagi pilkada di daerah
kabupaten yang terbatas akses informasi terkait aktivitas politik dan
pemerintahan. Di sini justru yang terlihat adalah pelaksanaan kampanye yang
jauh dari kualitas sebuah proses demokrasi yang diharapkan bisa mencerdaskan
masyarakat. Kampanye politik di daerah
cenderung bersifat mobilisasi, sementara substansi materinya tidak lebih
adalah doktrin kepada masyarakat untuk memilih pasangan calon tertentu.
Keadaan ini diperburuk oleh
kemampuan calon kepala daerah dalam meyakinkan masyarakat kelas bawah. Begitu juga dengan tim kampanye pasangan
calon yang terjebak praktik kampanye hitam dengan menyerang kandidat lain
dengan informasi palsu dan kabar bohong untuk mengendalikan persepsi
pemilih. Tujuannya agar persepsi yang
diterima masyarakat yang akan memilih calon tertentu berubah jadi kebencian
dan sikap bermusuhan.
Pembelajaran
politik
Itulah sebabnya mengapa pilkada
yang dilaksanakan dari waktu ke waktu tidak mengalami perubahan yang berarti
bagi perbaikan kualitas demokrasi di daerah.
Dari sisi kampanye politik yang dilaksanakan saja sudah dapat
diketahui ada persoalan yang mendasar dengan pendidikan politik di negeri
ini. Jelas hal ini tidak hanya masalah
pendidikan politik publik, tetapi juga masalah pendidikan politik elite yang
ternyata juga belum siap menjadi pemimpin publik.
Memang banyak cara dalam melakukan
kampanye tersebut, termasuk memanfaatkan teknologi komunikasi dan
informasi. Bahkan, kecenderungan sekarang
kampanye dengan menggunakan media sosial menjadi pilihan semua calon. Dalam kampanye pilkada yang menggunakan
teknologi komunikasi dan informasi akan sulit diketahui kejujuran dan
ketulusan terkait apa yang disampaikan calon kepala daerah.
Kampanye
dialogis
Kampanye dengan cara konvensional
tidak akan hilang begitu saja. Dialog
yang dilakukan antara calon kepala daerah dengan calon pemilih tetap penting
dalam demokrasi langsung yang dilaksanakan.
Justru dengan dialog ini akan diketahui aspek kejujuran dan ketulusan
calon kepala daerah ketika memimpin nantinya.
Di sinilah aspek pembelajaran
politik dalam kampanye tersebut berlangsung.
Apakah calon kepala daerah yang mendatangi mereka berkata jujur dan
berbuat tulus kepada masyarakat ataukah sekadar basa-basi politik saja untuk
mendapatkan dukungan mereka?
Melihat kecenderungan ini tentu
harus ada upaya perbaikan dalam tahapan kampanye politik yang dilakukan para
calon kepala daerah. Para pemangku
kepentingan seperti partai politik, KPU dan Bawaslu sebagai penyelenggara
perlu memberi perhatian pada tahapan kampanye ini agar tak sekadar jadi
ritual pilkada saja.
Paling tidak ada kita berharap
melalui kampanye yang berkualitas akan ada perubahan sikap politik masyarakat
ke arah yang lebih baik setelah mengikuti kampanye tersebut. Dengan begitu, motivasi masyarakat sebagai
aktor akan semakin meningkat mengikuti aktivitas politik, dan tentunya
menjadi pemilih yang cerdas dalam menerima setiap informasi yang datang
kepadanya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar