Keluarga
Ramah Gawai
Dian Marta Wijayanti ; Guru SDN Sampangan 01 Kota Semarang
|
MEDIA
INDONESIA, 09 April 2018
DI
era milenial ini hampir semua anak, remaja, pelajar usia SD/MI, sampai
SMA/SMK/MA terbiasa dengan penggunaan gadget (gawai) seperti ponsel pintar
dan tablet. Benda ajaib ini memungkinkan mereka untuk mengakses berbagai
informasi, permainan, atau berbagai aplikasi yang bisa mendidik atau
membodohkan. Pemakaian gawai akan bermanfaat jika tepat dan benar, begitu
juga sebaliknya. Pemakaian gawai berlebihan akan berbahaya jika tidak dikawal
serius. Tidak semua keluarga bisa mengelola anak untuk memanfaatkan gawai
dengan tepat dan benar. Orangtua kebanyakan cenderung memanjakan anak-anak
dengan mengizinkan mereka menghabiskan waktu dengan gawai asalkan mereka diam
dan tidak menyulitkan saat berada di rumah.
Tak
dapat dimungkiri, keluarga berperan penting menjadi 'rumah belajar' yang
tidak sekadar mengajarkan pengetahuan kognitif, tetapi juga afektif dan
psikomotorik. Pada titik ini anggota keluarga terutama bapak dan ibu harus
bisa menjadikan keluarga ramah gawai. Sudah terlalu banyak korban penggunaan
gawai tanpa pengelolaan dan bimbingan yang memadai, hanya mengonsumsi berita
hoaks (bohong), palsu, ujaran kebencian, pornografi anak, bahkan perundungan
siber. Maka dari itu, sebagai lingkungan pertama untuk mencerdaskan bangsa,
keluarga harus ramah gawai dan orangtua harus paham posisi mereka. Dengan
kata lain, keluarga tidak sekadar menjadi 'madrasah pertama', tapi juga harus
menjadi 'madrasah utama' bagi anak-anak.
Dalam bayangan gawai
Berdasarkan
statistik pengguna internet Indonesia, Asosiasi Penyelenggara Internet
Indonesia (APJII) mengklasifikasikan sembilan kategori usia dari anak-anak
hingga orangtua. Hasilnya, generasi produktif umur 25-29 tahun teratas dengan
jumlah 24 juta. Angka 24 juta tersebut disaingi pengguna internet di kisaran
usia 35-39 tahun.
Kemudian
disusul 30-34 tahun mencapai 23,3 juta. Di bawahnya usia 20-24 tahun (22,3
juta), 40-44 tahun (16,9 juta), 15-19 tahun (12,5 juta), 45-49 tahun (7,2
juta), 50 tahun ke atas (1,5 juta), dan 10-14 tahun dengan 768 ribu. Dari
data tersebut tampak anak-anak usia 10-15 tahun telah menjadi bagian dunia
gawai dan internet. Bisa dipastikan, masa depan mereka dalam bahaya jika
waktu mereka habis digunakan untuk berselancar di dunia maya tanpa pengawalan
yang baik.
Sementara
itu, riset Kementerian Komunikasi dan Informatika serta Unicef mengenai
perilaku anak dan remaja dalam menggunakan internet juga harus diperhatikan.
Berdasarkan survei terhadap 2.500 orangtua di Singapura, Thailand, Indonesia,
Malaysia, dan Filipina, beberapa temuan yang menarik ialah 98% responden
memperbolehkan anak menggunakan ponsel pintar/tablet (Kominfo.go.id,
18/2/2014). Data itu menunjukkan, kebanyakan orangtua masih belum memahami
betapa gawai bisa merugikan anak jika tidak dikelola.
Pengelolaan
penggunaan gawai tidak berarti keluarga harus antigawai, tapi penggunaan
gawai harus dibatasi, dikawal serius dalam rangka menyelamatkan anak-anak
dari konten negatif di internet. Penggunaan gawai pada anak-anak,
pelajar/mahasiswa harus dikelola dengan baik, apalagi anak-anak di bawah umur
seharusnya menghabiskan waktu mereka untuk belajar, membaca buku, atau
bermain layaknya anak-anak. Dalam praktiknya, saat berada di rumah, sering
kali kita menemukan anak-anak yang menghabiskan waktu dengan bermain gawai
tanpa ada kontrol dan batas tertentu sehingga mereka menjadi generasi yang
sangat bergantung atau bahkan menunjukkan gejala kecanduan gawai. Dalam
situasi semacam ini, keluarga seharusnya menjadi pemutus mata rantai pertama
terhadap penggunaan gawai berlebihan.
Ramah gawai
Di
era Revolusi Industri 4.0 ini, masyarakat tidak didorong memahami literasi lama
yang menekankan keterampilan membaca, menulis, dan matematika, tetapi harus
memahami 'literasi baru' yang menekankan aspek literasi data, teknologi, dan
literasi sumber daya manusia (SDM). Artinya, pembatasan gawai pada anak
sangat mendukung agenda pemerintah yang mendorong penguatan literasi.
Selama
ini kita masih menerapkan literasi lama yang sekadar membaca, menulis, dan
berhitung. Akan tetapi, literasi baru menjadi gagasan bernas yang harus
diimplementasikan dalam keluarga. Sebabnya, keluarga yang peduli terhadap
pemakaian gawai ialah mereka yang peduli terhadap masa depan anak. Artinya,
perhatian pada masalah gawai tidak hanya urusan konten negatif, tetapi juga
pada berbagai dampak lainnya seperti kecanduan gawai, pengaruh radiasi gawai,
efek pada mata, dan kesehatan anak pada umumnya.
Oleh
karena itu, keberhasilan pendidikan dalam keluarga sangat ditentukan seberapa
lama anak-anak membaca buku, diskusi, berinteraksi dan berdialog dengan
keluarga jika dibandingkan dengan bermain gawai. Anak-anak sekarang mulai
tercerabut dari permainan tradisional, awam dengan dongeng-dongeng
tradisional, serta kisah nabi-nabi dan wali karena mereka 'terasing' dari
khazanah budaya tersebut.
Pemerintah,
melalui Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 30 Tahun 2017
tentang Pelibatan Keluarga dalam Penyelenggaraan Pendidikan, sesungguhnya
telah berusaha memberikan perhatian serius untuk mewujudkan iklim keluarga
ramah gawai bagi anak-anak. Oleh karena itu, ada beberapa pokok pekerjaan
berat yang harus dilakukan.
Pertama,
keluarga harus memahami peran, fungsi, dan tugas sebagai 'sekolah pertama'
dan 'utama' bagi anak-anak. Namanya sekolah tidak harus berseragam, tapi di
rumah, anak-anak harus menemukan surganya. Mereka bisa bebas bermain,
belajar, guyonan, dan juga menghabiskan waktu untuk mediasi, curhat, dan
bermesraan dengan orangtua tanpa harus menggunakan gawai.
Kedua,
harus ada sinergi antara keluarga, sekolah, guru, dan tetangga untuk
mendukung anak-anak harus dikawal dalam penggunaan gawai. Ketiga, perlu
adanya pemahaman untuk mendesain 'gawai edukasi' yang berorientasi pada sisi
positif dalam konsumsi gawai pada anak-anak. Keempat, wacana pemerintah yang
akan membatasi penggunaan gawai pada anak untuk mengurangi risiko anak
terjerumus hal-hal negatif dan kecanduan gawai harus didukung. Apalagi,
wacana pembatasan tersebut akan segera dibuat peraturannya dalam surat
keputusan bersama menteri, yaitu Menteri Komunikasi dan Informatika, Menteri
PPPA, serta Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Media Indonesia, 3/3/2018).
Pada
intinya, iklim ramah gawai dimulai dari keluarga. Sebab, jika anak-anak
terlalu dimanjakan untuk menghabiskan seluruh waktunya dengan bermain gawai,
cenderung akan menjadi generasi yang bergantung dan kecanduan gawai. Artinya,
sudah saatnya keluarga memahami hal itu untuk mendukung kesuksesan anak-anak
dalam belajar. Sebabnya, tanpa ada bimbingan dan pengawalan, sangat ironis
jika masa depan mereka direnggut dan dihancurkan gawai yang semestinya juga
bisa membawa mereka meraih masa depan.
Keluarga
ramah gawai memang bukan satu-satunya solusi bagi segala masalah belajar
anak, melainkan kesuksesan anak bisa berawal dari sana. Semua orangtua yang
mendukung masa depan anak pasti menjauhkan mereka dari penggunaan gawai yang
berlebihan atau mengelola dan membimbing penggunaannya. Bukankah hakikat
gawai pintar seharusnya 'mencerdaskan' dan bukan merusak? Jika membiarkan
anak dengan gawai tanpa pengelolaan, kontrol, dan bimbingan, apakah itu bukti
peduli terhadap anak? ●
|
Apakah kamu sudah tau prediksi togel mbah jambrong yang jitu? bila belum baca Prediksi jitu mbah jambrong Sgp
BalasHapus