Kamu
M Subhan SD ; Wartawan Senior Kompas
|
KOMPAS,
31 Maret
2018
Hari
kemudian dari Tanah Air kita terletak pada hari sekarang, hari sekarang itu
adalah kamu. (Tjipto
Mangoenkoesoemo, 1927)
Jangan ragu dengan masa depan
Indonesia. Ia takkan bubar. Indonesia adalah mega- entitas yang hidup.
Indonesia adalah ibu yang menghidupi putra-putrinya. Bung Karno kerap
melukiskan begini: ”Ibumu Indonesia teramat cantik. Cantik langit dan
buminya, cantik gunung dan rimbanya, cantik laut dan sungainya, cantik sawah
dan ladangnya, cantik gurun dan padangnya. Ibumu Indonesia teramat baik,
airnya yang kamu minum, nasinya yang kamu makan. Ibumu Indonesia teramat
kaya. Ibumu Indonesia teramat kuat dan sentosa, dari dulu melahirkan
pujangga, pahlawan, dan pendekar”.
Lukisan itu terjadi pada masa
pencerahan akal budi pada awal abad ke-20 ketika mimpi-mimpi indah membangun
sebuah bangsa. Tekad, komitmen, konsensus akhirnya mampu membidani sebuah
bangsa besar yang secara geopolitik mengeratkan dua benua: Asia dan
Australia, juga menyambungkan dua samudra: Pasifik dan Hindia (Indonesia).
Para putra bangsa berjuang tanpa pamrih, tentu tanpa memikirkan kursi
kekuasaan. Mereka lebih memikirkan hal yang lebih besar dan lebih mulia:
bangsa yang merdeka. Mereka adalah generasi terbaik negeri ini yang
membangkitkan jiwa bangsa dan mewarisi negara-bangsa (nation state).
Seabad kemudian mimpi-mimpi indah
itu mungkin terkubur di dalam timbunan sejarah. Seakan-akan ditelan bumi, tak
berbekas lagi. Hampir tiada lagi menemukan warisannya dalam pikiran
putra-putra bangsa sekarang. Karena, mimpi-mimpi generasi sekarang tidak lagi
indah. Hari-hari ini bukan lagi mimpi tentang bunga-bunga bermekaran,
melainkan mimpi-mimpi tentang bunga-bunga layu dan berguguran. Inilah mimpi
buruk pada awal abad ke-21 tatkala generasi yang memimpin negeri ini lebih
memperlihatkan jiwa-jiwa kerdil.
Apa yang paling mencolok pada
zaman sekarang? Syahwat kuasa sulit dikendalikan. Partai politik terus
bermunculan karena demokratisasi (terutama di daerah-daerah pascaotonomi
daerah) menyediakan banyak kursi kekuasaan. Tahun 2018 ini ada 151 pesta
pilkada serentak. Kursi-kursi wali kota, bupati, atau gubernur diperebutkan
begitu keras. Bagaimanapun caranya, semua calon ingin merebut kursi-kursi
tersebut. Dalam sistem demokrasi, cara-cara demokratis, terhormat, persaingan
sehat, sportif, adu program, justru tak dipercaya.
Hari ini mereka lebih percaya pada
kekuatan uang. Mulai dari mencari kendaraan partai politik, menghimpun tim
sukses, membangun pencitraan, hingga membeli suara rakyat. Tak heran, korupsi
di kekuasaan seperti lingkaran setan. Sepanjang 2004-2017 ada 313 kepala
daerah yang terseret kasus korupsi. Kalau banyak pemimpin korupsi, itu
artinya negeri ini sedang menukik ke tubir jurang. Namun, kita tak boleh
menyerah. Memberantas korupsi adalah agenda utama reformasi 1998. ”You can
run, but you can’t hide,” kata jaksa KPK, Irene Putrie, saat membaca tuntutan
terdakwa Setya Novanto dalam perkara korupsi proyek KTP elektronik di
Pengadilan Tipikor, Jakarta, Kamis (29/3).
Tabiat lain yang hari ini marak
adalah perilaku cakar-cakaran. Padahal, kerap digambarkan bangsa ini ramah,
toleran, tepa selira. Jangan-jangan itu cuma ada di text-book saja. Kosakata
yang terserap di pikiran saat ini didominasi diksi ”korupsi, politik uang,
kebencian, pengaduan ke polisi, juga pengibulan, atau bangsat, dan
sejenisnya”. Kosakata yang hanya memancing kegaduhan dan sangat tidak
produktif. Di bawah rezim media sosial, watak-watak seperti itu makin kalap.
Sungguh hanya membawa pesimisme dan dampak negatif. Beda sekali dengan
generasi seabad silam yang dipenuhi dengan pemujaan terhadap ”bangsa, jiwa,
kemerdekaan, pembebasan, persatuan, ibu pertiwi, cinta tanah air”. Itulah
yang menyuburkan tanah, bibit-bibit unggul, jiwa-jiwa bergelora, optimisme,
dan harapan yang melampaui zamannya.
YB Mangunwijaya (1997)
menggambarkan, ”Indonesia ini memang negeri yang unik, penuh dengan hal-hal
yang seram serius, tetapi penuh dagelan dan badutan juga. Mengerikan tapi
lucu, dilarang justru dicari dan amat laku, dianjurkan, disuruh tetapi malah
diboikot, kalah tetapi justru menjadi amat populer dan menjadi pahlawan
khalayak ramai, berjaya tetapi keok celaka,.. aman tertib tetapi kacau-balau,
ngawur tetapi justru disenangi, sungguh misterius tetapi gamblang bagi semua
orang.” Begitulah gambaran absurd saat ini.
Dan, Indonesia itu bukan cuma
pilkada atau pilpres. Indonesia itu adalah mimpi negeri makmur gemah ripah
loh jinawi. Indonesia bukan cu- ma di panggung nasional di Jakarta, yang
selalu berisik dengan mimpi-mimpi tak indah lagi. Indonesia adalah
puzzle-puzzle yang saling melengkapi dari ujung timur di Skouw, Papua, sampai
ujung barat di Sabang; dan dari ujung utara di Pulau Miangas, Sulawesi Utara,
hingga tepi selatan di Pulau Rote, Nusa Tenggara Timur. Indonesia bukan cuma
milik mereka yang ada di panggung politik nasional. Dan, di seantero negeri
ini begitu banyak mimpi indah tentang Indonesia. ”Hari kemudian dari Tanah
Air kita terletak pada hari sekarang, hari sekarang itu adalah kamu,” tulis
Tjipto Mangoenkoesoema dalam suratnya kepada kaum pergerakan sebelum dibuang
ke Banda, 1927. Kini, kamu itu, ya, kita semua. Kita tolak mimpi yang tak
indah. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar