Indonesia
2045
Salahuddin Wahid ; Pengasuh Pesantren Tebuireng
|
KOMPAS,
07 April
2018
Media sosial menyebarluaskan
potongan pidato Prabowo Subianto yang menyatakan para ahli di luar negeri
memperkira -kan Indonesia mungkin bubar pada 2030. Apa yang dikemukakan
Prabowo itu berdasar novel berjudul Ghost Fleet karya Peter
Warren Singer dan August Cole.
Langsung saja, masyarakat
menanggapi pidato itu, yang umumnya bersifat negatif. Mereka mengatakan
Prabowo adalah pemimpin yang pesimistis, bertolak belakang dengan Joko Widodo
(Jokowi) yang optimistis. Pendukung Prabowo dan sejumlah pihak netral
menyatakan bahwa pidato Prabowo itu adalah peringatan supaya kita waspada
terhadap potensi negatif itu.
Mau tak mau kita teringat pada
situasi 1998 ketika kita dilanda krisis multidimensi. Saat itu warga Aceh dan
Papua amat kuat memperjuangkan supaya dua wilayah itu lepas dari Republik
Indonesia (RI). Warga Riau juga menyuarakan aspirasi sama. Saat itu
banyak orang menduga Indonesia akan terpecah menjadi beberapa negara.
Alhamdulillah kini kita masih tetap bersatu sebagai bangsa, dengan Timor
Timur kembali di luar RI. Masalah Aceh sudah diselesaikan pada 2005
lewat Perjanjian Helsinki. Papua masih penuh masalah, Alhamdulillah diberi
perhatian penuh Presiden Jokowi.
Berkaca pada negara lain
Pada abad XX, disintegrasi terjadi
di sejumlah negara yaitu Swedia-Norwegia (1905), Inggris-Irlandia (1922),
Otoman -Turki (1923), Denmark-Eslandia (1944), Korea Utara-Korea Selatan
(1950), Jerman Barat-Jerman Timur (1945), Mali-Senegal (1960),
Malaysia-Singapura (1965), Pakistan-Bangladesh (1971), Uni Soviet (1990),
Yugoslavia (1991), Ethiopia- Eritrea (1993), dan Cekoslowakia (1993).
Pemisahan Sudan Selatan dari Sudan adalah kasus pertama pada abad XXI.
Ada kasus yang menarik yaitu
penggabungan Mesir dan Suriah dengan nama Republik Persatuan Arab pada 1958,
lalu diikuti Yaman, tetapi tidak berhasil. Yang paling menarik adalah
unifikasi atau penggabungan Jerman Barat dan Jerman Timur menjadi Jerman pada
1989 dan kini menjadi negara terkuat di Eropa. Saat ini di dunia tak banyak
negara yang berusia di atas 100 tahun, sekitar 40-an. Negara yang mencapai
usia 100 tahun dengan tingkat homogenitas etnis tinggi (51-100 persen) dan
tingkat homogenitas agama tinggi (51-100 persen) yaitu Portugal, Jepang,
Haiti, Dominika, Italia, Kolombia, Brasil, Kostarika, Yunani, Hongaria,
Venezuela, Cile, Paraguay, Luksemburg, Honduras, El Salvador, Nikaragua,
Uruguay, Rumania, Perancis, Panama, Meksiko, Argentina, Swedia, Denmark,
Spanyol.
Ada sembilan negara berusia di
atas 100 tahun dengan tingkat homogenitas etnik kurang dari 50 persen tetapi
homogenitas agamanya lebih dari 50 persen, yaitu Belgia, Peru, Guatemala,
Ekuador, Thailand, Bolivia, Nepal, Amerika Serikat (AS), dan Liberia. Kalau
berusia 100 tahun, Indonesia akan berada di dalam kelompok ini, dengan
tingkat homogenitas etnis sekitar 30 persen dan tingkat homogenitas agama 88
persen. Negara berusia lebih dari 100 tahun dengan tingkat homogenitas etnik
lebih dari 50 persen dan tingkat homogenitas agama kurang dari 50 persen
adalah Belanda dan Inggris. Negara berusia di atas 100 tahun dengan tingkat
homogenitas etnik kurang dari 50 persen dan tingkat homogenitas agama kurang
dari 50 persen adalah Swiss.
Mencapai usia 100 tahun bagi suatu
negara bukanlah hal mudah. Banyak yang usianya mencapai 100 tahun tetapi
rakyatnya tak sejahtera dan negaranya tak demokratis. Contohnya Haiti dan
Nepal. Yang betul-betul sejahtera, maju dan menjadi kekuatan terbesar dunia
ialah AS yang selama beberapa belas tahun terakhir mengalami kesulitan dan
kemunduran.
Kekuatan besar ekonomi
PricewaterhouseCoopers (PwC)
membuat proyeksi Produk Domestik Bruto (PDB) sejumlah negara pada 2030.
Urutan 10 besar adalah China (38 triliun dollar AS), AS (23,5 triliun dollar
AS); India (19,5 triliun dollar AS); Jepang (5,6 triliun dollar AS);
Indonesia (5,4 triliun dollar AS); Rusia (4,7 triliun dollar AS); Brasil (4,4
triliun dollar AS); Jerman (4,7 triliun dollar AS); Meksiko (3,7 triliun
dollar AS) dan Inggris (3,6 triliun dollar AS).
Pemerintah Susilo Bambang
Yudhoyono (SBY) pernah menyampaikan pengumuman tentang proyeksi Mc Kinsey
yang mendekati proyeksi PwC. Ada sejumlah lembaga lain yang melakukan
kegiatan serupa. Untuk Indonesia, ada yang hasilnya mendekati hasil PwC di
atas, tetapi ada yang tidak. Proyeksi Dana Moneter Internasional (IMF) di
Wikipedia, mengungkap, pada 2030 PDB Indonesia berada pada posisi kesembilan
dengan angka 2,45 triliun dollar AS, tetapi pada 2050 berada pada posisi
keempat dengan angka 7,3 triliun dollar AS.
Dari besaran ekonomi, jelas
Indonesia mengalami peningkatan berarti, dan itu adalah potensi pasar
yang amat menjanjikan bagi pengusaha dari negara lain. Tetapi yang menjadi
masalah sejak awal adalah bahwa jumlah uang beredar di Indonesia, 70 persen
beredar di Jakarta.
Kesenjangan antara segelintir
orang dengan jumlah terbesar penduduk Indonesia masih jauh. Jumlah uang
beredar di Indonesia tidak banyak berbeda dengan di Malaysia dan Singapura,
padahal jumlah penduduk kita berkali-kali lipat. Jumlah uang beredar per
kapita di Indonesia amat kecil dibanding kedua negara itu.
Adanya sejumlah perusahaan
menguasai jutaan hektar lahan perkebunan, menurut saya bertentangan dengan
sila keadilan sosial. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia meminta Pemerintah
menyelesaikan masalah itu. Pemerintah pernah berjanji mewujudkan gagasan
reforma agraria yang sudah dilontarkan oleh Presiden SBY. Kita berharap
pemerintah segera melakukannya. Penerbitan sertifikat tanah rakyat oleh
pemerintahan Jokowi amat berarti bagi masyarakat.
Generasi emas
Kita mendengar ada tokoh/pemimpin
mengemukakan istilah “generasi emas”. Kalau tujuannya untuk membangkitkan
semangat, tidak jadi masalah tetapi harus berpijak pada kenyataan.
Perlu disadari bahwa banyak tantangan yang harus kita atasi untuk bisa
memanfaatkan bonus demografi untuk bisa mewujudkan “generasi emas”.
Sejumlah tantangan bisa kita sebutkan yaitu gizi buruk, narkoba, rokok,
pendidikan yang buruk akibat mutu guru yang kurang baik, karakter bangsa yang
kurang mendukung, minimnya kejujuran di kalangan pelajar dan mahasiswa,
kekerasan terhadap anak, pernikahan dini.
Menurut Organisasi Kesehatan dunia
(WHO), 7,8 juta dari 23 juta balita di Indonesia adalah penderita stunting
(sekitar 35,6 persen). Sebanyak 18,5 persen termasuk bertubuh sangat pendek
dan 17,1 persen termasuk anak pendek. Batas tolerasi stunting menurut WHO
adalah 20 persen. Anak yang mengalami gizi buruk sampai 1.000 hari pertama
kehidupannya akan menjadi anak yang fisiknya lemah dan otaknya kosong. Tidak
diketahui pasti seberapa banyak jumlah penderita gizi buruk di Indonesia
seperti yang dialami di Asmat beberapa bulan lalu. World Nutrition Report
2014 menyatakan, 5 persen rakyat menderita gizi buruk. Di sekitar Tebuireng
angkanya jauh di bawah itu.
Ancaman narkoba makin hari makin
meningkat. Jumlah korban juga makin banyak. Penyelundupan narkoba dari China
makin menggila dan tampaknya kita kurang siap menghadapinya. Kondisinya
betul-betul sudah darurat. Kita seperti sudah kehilangan akal untuk
menghadapi ancaman narkoba. Jumlah perokok di Indonesia adalah yang ketiga
terbesar setelah China dan India, mencapai 35 persen dari jumlah penduduk.
Perokok muda semakin bertambah, usia mulai merokok makin muda. Masyarakat
ekonomi lemah menyisihkan dana yang cukup besar untuk membeli rokok sehingga
gizi keluarga terabaikan. Legislatif dan eksekutif kita ramah terhadap
industri rokok.
Pendidikan yang menjadi dasar dari
semua kegiatan bangsa di masa depan, ternyata tidak menggembirakan. Mutu
pendidikan kita secara internasional amat rendah, bahkan untuk ASEAN kita ada
di peringkat tengah sudah terbalap oleh Vietnam. Angka rata-rata secara
nasional untuk matematika, di bawah angka 50. Dalam sebuah tes, sekitar
separuh siswa tidak bisa menangkap dengan baik isi naskah bahasa Indonesia.
Guru mata pelajaran tidak menguasai dengan baik materi mata pelajaran itu dan
kurang menguasai cara mengajar yang baik. Sekitar sepertiga guru tidak
memenuhi syarat. Pendidikan agama lebih merupakan transfer ilmu agama dari
pada pembentukan sikap keberagamaan.
Sebuah survei Kompas pada
2017 mengungkap, menurut 42,8 persen responden masalah terbesar bangsa
Indonesia ialah korupsi, 17,7 persen responden penegakan hukum, 12,9% responden
kemiskinan dan 10 persen responden ialah masalah SARA. Survei lain oleh Kompasmengungkap
perilaku bohong seperti plagiat, korupsi, suap dalam masyarakat dianggap
sangat parah oleh 50,7 persen responden dan dianggap parah oleh 43,1 persen.
Dalam survei yang sama, 74,9 persen responden menganggap korupsi dan suap
dipicu oleh kebiasaan berbohong. Survei lain oleh Kompas pada
2017 menyatakan pelajar/mahasiswa yang selalu jujur mencapai 2,3 persen,
sering jujur 7,5 persen, kadang jujur 50,5 persen, sering bohong 30,8 persen,
dan selalu bohong 5,8 persen.
Dengan sekian hambatan di atas,
kita memahami, mewujudkan 100 tahun kemerdekaan yang kita impikan sebagai
seabad keemasan bukanlah hal mudah. Insya Allah kita masih akan tetap menjadi
satu bangsa Indonesia, tetapi masyarakat adil makmur untuk seluruh rakyat
Indonesia belum tentu bisa kita wujudkan. Perlu keberanian dan keteguhan
sikap pemimpin untuk memperbaiki banyak kebijakan yang tak sesuai
dengan Pancasila dan juga mewujudkan keberadaan Indonesia sebagai negara
hukum. Hak-hak dasar rakyat harus dijamin pemerintah. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar