Carpe
diem!
Victor Yasadhana ; Direktur Pendidikan Yayasan Sukma
|
MEDIA
INDONESIA, 16 April 2018
"We
don't read and write poetry because it's cute. We read and write poetry because
we are members of the human race. And the human race is filled with passion.
And medicine, law, business, engineering, these are noble pursuits and
necessary to sustain life. But poetry, beauty, romance, love, these are what
we stay alive for."
(Dead Poets Society, Peter Weir, Touchstones
Pictures-Silver Screen Partners IV, 1989)
JOHN Keating ialah guru bahasa
Inggris di sekolah persiapan elite Welton Academy. Yang membedakan Keating
dengan guru lainnya ialah, sejak hari pertamanya mengajar, ia mengajak
murid-muridnya melihat dunia dengan yang cara berbeda.
Membuat detak hidup muridnya lebih
berdegup--dan karenanya--saat-saat belajar mereka menjadi proses penuh gelora
dan sarat makna. Para muridnya--Neil Perry, Todd Anderson, Knox Overstreet,
Richard Cameron, Steven Meeks, Gerard Pitts, dan Charlie Dalton--menemukan
jati diri mereka dalam kumpulan puisi, sajak, dan syair.
Dengan mantra yang dikutip Keating
dari Odes karya Horace (23 SM), carpe diem--seize the day--jadikan hidupmu
luar biasa dan lebih bermakna, mereka belajar mendobrak batasan-batasan dalam
diri mereka untuk menjadi apa pun yang mereka inginkan.
Dimulai merobek buku berisi rumus
matematika untuk menilai puisi, berdiri di atas meja kelas, menemukan gaya
berjalan mereka sendiri, membentuk kembali kelompok 'rahasia' para pecinta
puisi Dead Poets Society, sampai membangun kesadaran bahwa mereka bisa
menjalani hidup dengan cara yang mereka sendiri inginkan.
Ketakjuban, kecintaan, dan
keberanian yang ditemukan para murid John Keating dalam berbagai karya sastra
membantu mereka menemukan sisi kemanusiaan pada diri mereka sendiri. Mereka
mendapatkan pencerahan yang mengubah hidup, keberanian yang membangkitkan.
Bahwa akhirnya John Keating
dipecat dan dituduh sebagai penyebab bunuh diri salah muridnya, persinggungan
dengan kumpulan puisi, sajak, dan syair menjejak dalam kesadaran para
muridnya. Di akhir film, secara fenomenal, mereka bersaksi atas perlakuan
tidak adil yang diterima Keating dengan berdiri di atas meja seraya
meneriakkan kata-kata Walt Whitman, "O Captain! My Captain!" untuk
menghormati dan menunjukkan rasa cinta mereka pada guru mereka.
Dari film Dead Poets Society ada
pelajaran penting yang bisa diambil; bahwa mengenal, membaca, dan belajar
sastra mampu mendorong seseorang untuk memiliki pemahaman baru atas realitas
kehidupan. Karya sastra tidak saja mengasah rasa akan keindahan, tetapi juga
memberi pengalaman baru dan kesempatan untuk memberi penghargaan atas
nilai-nilai kearifan dan kebaikan. Karena itu, karya sastra penting untuk
dikembangkan dan diajarkan di sekolah.
Dunia
yang berubah cepat
Dunia berubah dengan cepat,
semakin rentan, tak pasti, rumit, dan membingungkan. Fenomena itu dikenal
sebagai dunia VUCA (volatility, uncertainty, complexity, ambiguity). Didorong
berbagai inovasi teknologi informasi, komunikasi dan digital, imbas perubahan
yang cepat terasa sangat dekat dan lekat.
Ia mengubah banyak hal, mulai cara
bepergian atau belanja sampai cara manusia berinteraksi, berpikir, dan
menentukan orientasi hidup. Dalam dunia yang serbacepat seperti ini, mereka
yang lambat akan ditinggalkan, mereka yang tidak mampu berdamai dengan
perubahan akan dilupakan.
Anak-anak ialah salah satu
kelompok yang paling terpengaruh oleh berbagai perubahan itu. Dengan berbagai
kemudahan mengakses informasi yang disediakan perkembangan teknologi,
kegiatan membaca misalnya, tidak lagi selalu berarti membaca tulisan yang
dicetak dan diterbitkan dalam bentuk buku.
Mereka belajar 'lebih banyak dan
lebih cepat' dari melihat, mendengar, dan mencerna apa pun yang mereka bisa
dapatkan dari berbagai media yang ada; internet, media sosial atau televisi.
Di sini, kegembiraan, kesalehan muncul bercampur aduk dengan kekerasan,
ujaran kebencian, dan caci maki, menjadi bacaan yang mudah ditemui anak-anak.
Akibatnya bisa fatal; anak-anak
mengalami kebingungan mengenali identitas diri mereka, sebuah keadaan yang
disebut Zygmunt Bauman sebagai liquid identity--situasi tiadanya bentuk yang
kukuh dari pengalaman seseorang sebagai manusia (Ruxandra Viorela Stan:
2015).
Karena itu, tidak mengherankan
jika dalam kehidupan sehari-hari dengan mudah ditemukan berbagai fenomena
penyimpangan perilaku anak-anak. Penyimpangan dalam bentuk yang paling subtil
seperti aksi vandalisme di sekolah, makian dalam status media sosial, sampai
perundungan dan konflik dengan penggunaan kekerasan seperti tawuran.
Dengan kata lain, karakter baik
yang diharapkan untuk dimiliki anak-anak tergerus oleh ketidakmampuan dalam
merespons dunia yang berubah lebih cepat. Mereka gagal memahami apa yang
mereka inginkan, melakukan apa yang seharusnya dilakukan, dan mampu menjalani
kehidupan sesuai keinginan mereka.
Kegagalan anak-anak menjadi
individu yang benar-benar otonom dan kritis dalam dunia yang berubah cepat
ialah bencana besar bagi pendidikan. Dalam konteks ini, pendidikan bukan
sekedar soal mengembangkan kapasitas intelektual semata, melainkan juga
persoalan bagaimana membangun kapasitas untuk bertahan dalam ketidakpastian
dan perubahan kehidupan.
Pentingnya
(belajar) sastra
Menimbang perubahan yang begitu
cepat terjadi, proses belajar perlu menimbang perhatian lebih pada
aspek-aspek pendidikan yang memungkinkan anak-anak dapat menemukan makna
hidup mereka. Pada titik ini, sastra menjadi penting dan bisa menjadi jalan
bagi penemuan-penemuan baru dalam diri anak-anak.
Itu disebabkan sastra dapat
mengasah cita rasa keindahan dan rohani, mengenyangkan secara moral, memberi
pengalaman yang dapat mengubah diri, dan kekayaan budayanya memperkaya
kemanusiaan. Sastra juga menyimpan kearifan leluhur, yang dapat mendorong
pembaharuan diri yang mendekatkan pada asal usul kesejatian (Riris K Toha
Sarumpaet: 2016).
Mempelajari sastra di sekolah juga
memberikan beberapa keuntungan; seperti dapat membantu anak-anak
mengembangkan keterampilan kritis dan analitis, mendorong empati, toleransi
atas perbedaan, mengembangkan imajinasi dan menguatkan kecerdasan emosi.
Selain itu, mempelajari sastra
dapat membantu anak-anak untuk mengembangkan diri, dengan anak-anak
berkesempatan untuk membangun nilai-nilai dan sikap positif yang berguna bagi
upaya pemecahan masalah mereka. Terakhir, mempelajari sastra dapat memberikan
pengalaman baru sekaligus menyenangkan bagi anak-anak (Ruxandra Viorela Stan:
2015).
Dalam dunia yang berubah cepat,
tantangan belajar dan membaca bukan lagi sekadar untuk mengasah kemampuan
berpikir, melainkan juga memperkaya ruang-ruang spiritual dan menegaskan
kemanusiaan dalam diri seseorang. Mempelajari sastra bisa menjadi jembatan
untuk menjangkau hati dan moral anak-anak. Tujuan proses belajar ialah untuk
menjadikan hari-hari anak-anak kita menjadi luar biasa dan penuh makna. Carpe
diem! ●
|
Apakah kamu sudah tau prediksi togel mbah jambrong yang terbaru? bila belum baca Prediksi Togel Mekong
BalasHapus