Caleg
Mantan Koruptor
Khairul Fahmi ; Dosen Hukum Tata Negara;
Peneliti Pusat Studi Konstitusi
(PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas
|
MEDIA
INDONESIA, 26 April 2018
SEBUAH langkah progresif guna
memastikan setiap bakal calon wakil rakyat bebas dari catatan korupsi tengah
dirancang Komisi Pemilihan Umum (KPU). Institusi penyelenggara pemilu ini
hendak mengadopsi syarat bahwa calon anggota legislatif haruslah orang yang
tidak pernah dijatuhi pidana korupsi. Suatu upaya yang patut diapresiasi guna
menjaga integritas calon yang akan dipilih rakyat. Bagaimanapun, korupsi
merupakan masalah serius yang harus ditangani dari semua lini, termasuk pada
proses rekrutmen calon penyelenggara negara melalui pmilu.
Sebagai proses rekrutmen, pemilu
harus dijadikan sarana memilih orang-orang berkualitas dan berintegritas. Hak
pilih rakyat dalam pemilu mesti dipastikan tersalur pada calon-calon yang
diyakini memiliki catatan baik dan dapat dipercaya untuk memegang amanah.
Agar maksud itu tercapai,
intervensi regulasi pemilu amat dibutuhkan. Aturan pemilu, khususnya terkait
dengan syarat calon idealnya didesain sedemikian rupa agar yang akan terpilih
ialah person-person dengan kualifikasi tinggi dan integritas yang terjaga.
Pada ranah ini, pilihan kebijakan yang akan diambil KPU sesungguhnya sudah di
atas rasionalitas nilai yang dikehendaki Pembukaan UUD 1945.
Perlu
pembatasan
Secara lebih konkret, pilihan
kebijakan membatasi hak pilih mantan terpidana korupsi dapat didasarkan pada
beberapa alasan yang cukup mendasar. Pertama, Pasal 1 ayat (2) UUD 1945
menempatkan rakyat sebagai pemegang kedaulatan dan kedaulatan itu
dimanifestasikan dengan memberikan suara dalam pemilu.
Pelaksanaan pemberian suara
membutuhkan pengawalan hukum. Tanpa intervensi hukum, kontestasi pemilu akan
cenderung bergerak ke arah yang sangat liar. Pemilu akan dikendali
orang-orang yang memiliki uang dan sumber daya. Dalam situasi seperti itu,
praktik korupsi politik dalam wujud patronase akan sangat mudah terjadi.
Dengan patronase atau politik
uang, rasionalitas rakyat sebagai pemegang hak pilih akan dengan mudah diubah
orientasinya. Disorientasi pemilih akan menyebabkan pemberian suara tidak
lagi mempertimbangkan siapa dan bagaimana rekam jejak seorang calon.
Faktanya, wajah ketidakjelasan
orientasi pemilih sudah sangat nyata sehingga mengintervensi mekanisme
pencalonan dengan menetapkan batas-batas tertentu amat diperlukan.
Lebih-lebih untuk syarat yang berhubungan dengan integritas dan kesetiaan
pada amanat penyelenggaraan negara yang bebas korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Kedua, dari aspek regulasi,
rencana kebijakan KPU mendapat alasan pembenar dari semangat yang terkandung
dalam UU No 7/2017. Dalam UU tersebut, khususnya terkait dengan syarat calon
presiden dan wakil presiden diatur bahwa seseorang yang pernah melakukan
tindak pidana korupsi tidak memenuhi syarat sebagai calon presiden. Syarat
dimaksud diatur secara bersamaan dengan syarat tidak pernah mengkhianati
negara.
Dua syarat itu dimuat dalam satu
rumusan norma. Artinya, korupsi diposisikan sebagai salah bentuk kejahatan
yang berhubungan dengan pengkhianatan terhadap negara. Dikatakan demikian
karena kejahatan korupsi merupakan bentuk penyelewengan terhadap amanah
jabatan yang diemban. Ketika terbukti korupsi, si pelaku dianggap telah
mengkhianati negara.
Sekalipun secara normatif syarat
itu baru sebatas ditentukan bagi calon presiden dan wakil presiden, karena
jabatan anggota DPR, DPD, dan DPRD juga merupakan jabatan yang dipilih dalam
pemilu, maka beralasan pula untuk menerapkan batasan tersebut bagi calon
anggota legislatif.
Selain itu, jabatan anggota
legislatif juga membutuhkan kepercayaan tinggi karena peran pentingnya dalam
memutus kebijakan-kebijakan strategis negara. Dengan begitu, yang akan
dipilih pada jabatan itu haruslah orang yang tidak pernah mengkhianati negara
dalam berbagai bentuknya, termasuk korupsi.
Ketiga, dari aspek pengalaman
pemilu dan pilkada, banyak di antara orang-orang yang pernah dinyatakan
bersalah melakukan korupsi mencalonkan diri dan terpilih kembali. Di antara
yang terpilih, ternyata ia mengulangi kembali kejahatan yang pernah
dilakukan.
Dalam konteks itu, penilaian bahwa
orang yang pernah menyalahgunakan jabatan sangat potensial mengulangi kembali
kejahatan yang sama benar adanya. Pengalaman tertangkap tangannya anggota
DPRD Jawa Timur oleh KPK pada 2017 lalu merupakan fakta yang membenarkan hal
itu. Ketua Komisi B DPRD Jawa Timur itu juga mantan terpidana korupsi ketika
menjabat sebagai anggota DPRD tingkat kota sebelumnya.
Kasus ini patut menjadi
pembelajaran untuk mempertimbangkan lebih jauh arti penting pembatasan
terhadap hak untuk menjadi kandidat bagi orang yang pernah melakukan korupsi.
Rasionalitas
nilai
Sekalipun rencana membatasi hak
pilih mantan terpidana korupsi didasarkan pada rasionalitas nilai yang jelas,
rencana itu diperkirakan tidak akan berjalan mulus. Sebab, ketika niat
tersebut diungkap melalui uji publik, nada penolakan dari sejumlah partai politik
sudah muncul.
Alasannya sudah dapat ditebak. UU
Pemilu tidak mempersyaratkan itu bagi caleg, dan MK dalam putusannya juga
membolehkan mantan terpidana yang dihukum atas tuntutan pidana penjara
minimal lima tahun mencalonkan kembali sejak selesai menjalani hukuman.
Tidak sebatas itu, argumen seperti
bahwa mantan terpidana telah menebus kesalahannya dengan menjalani hukum dan
tidak layak lagi untuk ditambah hukumannya dengan pembatasan hak pilih juga
akan digunakan. Bahkan, alasan bahwa pembatasan hak hanya dapat dilakukan
melalui UU sesuai Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 juga akan menyertai perlawanan
terhadap kebijakan hukum yang hendak diintroduksi ke dalam peraturan KPU
tersebut.
Dengan menggunakan alur berpikir
rasionalitas formal, barangkali rencana pemuatan syarat dimaksud oleh KPU
memang mengandung kelemahan. Namun, dari segi bahwa bangsa ini butuh
penyelenggara negara yang bersih dan bebas korupsi, kebijakan itu justru
memiliki pijakan nilai moral yang sangat kuat. Lebih-lebih, saat ini DPR
maupun partai politik memiliki tingkat kepercayaan yang sangat rendah dalam
hal bersih dari praktik korupsi.
Dengan mengadopsi syarat tidak
pernah dihukum karena korupsi atau setidaknya telah selesai menjalani hukum
pidana karena melakukan korupsi sekurang-kurangnya 10 tahun, harapan agar
lembaga perwakilan diisi orang-orang baik, berkualitas, dan berintegritas
dapat dipenuhi.
Oleh karena itu, betapapun
tajamnya perbedaan pendapat ihwal rencana memuat syarat caleg bukan mantan
koruptor, nilai dan harapan agar lembaga negara diisi orang-orang
berintegritas dan bersih dari catatan korupsi tetap harus lebih diutamakan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar