Beras,
Terigu, dan Pangan Lokal
Khudori ; Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik
Indonesia (AEPI);
Anggota Kelompok Kerja Dewan
Ketahanan Pangan (2010–sekarang)
|
KORAN
SINDO, 05 April 2018
Mengartikan pangan
identik dengan beras sesungguhnya hanya akan menipu kita. Sejarah
Indonesia mencatat gaplek (Lampung, Jawa Tengah, Jawa Timur), sagu (Maluku,
Papua), jagung (Jawa Tengah, Jawa Timur, Nusa Tenggara), cantel/sorgum
(Nusa Tenggara), talas, dan ubi jalar (Papua) sebagai pangan baku warga selama
bertahun-tahun.
Kemajuan di bidang ekonomi dan teknologi, terutama telekomunikasi, dibarengi perbaikan kesejahteraan plus kebijakan yang salah membuat pola makan mengkristal pada beras, sedangkan gaplek, jagung, ubi, dan cantel, justru menjadi pakan pokok ternak. Sampai saat ini semua perut warga negeri ini tergantung pada beras dengan tingkat partisipasi rata-rata 100%, kecuali Maluku dan Papua (80%). Konsumsi per kapita mencapai 114 kg/tahun, tertinggi di dunia. Akibatnya, pemerintah dipaksa melakukan segala cara untuk menggenjot produksi beras agar pasokan domestik tercukupi. Padahal sawah letih dan kelelahan, produktivitas melandai, serta luasnya tergerogoti penggunaan lain. Daerah hulu gundul membuat irigasi terbengkalai dan kontinuitas air sulit dipenuhi. Dari sisi teknologi produksi, hasil petani di sawah irigasi saat ini mendekati batas frontier yang bisa dicapai: 6,4 ton/ ha, kedua tertinggi di Asia Timur setelah China (7,6 ton/ha). Potensi peningkatan produktivitas hanya 0,5-1,0 ton/ hektare dengan input yang mahal. Guna mengurangi tekanan dari sisi suplai, Oktober 2010, pemerintahan Presiden SBY menggulirkan kampanye “sehari tanpa nasi” (One Day No Rice). Menurut kalkulasi saat itu, cara ini bisa menghemat 1,1 juta ton beras senilai Rp6 triliun. Jika uang itu dialihkan untuk mengonsumsi pangan lokal, seperti singkong, ubi jalar, ganyong, dan sukun, akan menciptakan dampak berganda luar biasa. Seperti yang diduga, program itu layu sebelum berkembang. Program berhenti di jargon. Baik di ide, memble dieksekusi. Mengalihkan sesuatu yang sudah jadi kebiasaan (habit ) bertahun-tahun, termasuk dalam pangan, bukan hal mudah. Kebiasaan itu tercipta melalui proses adaptasi panjang, melibatkan segenap indera (terutama perasa dan penglihatan), dan pertimbangan ekonomi (akses dan efisiensi), politik (kebijakan), serta kebudayaan (akulturasi dan adaptasi). Dalam hal beras, hasilnya seperti ini: memasak beras itu mudah, harganya murah (karena subsidi), gampang didapat kapan dan di mana saja. Dari sisi gizi dan nutrisi, beras relatif unggul daripada pangan lokal lain. Pelbagai kelebihan beras ini belum tertandingi oleh aneka pangan lokal. Dari sini terlihat betapa absurd nya kampanye “satu hari tanpa nasi”. Sampai saat ini pangan lokal masih sulit didapat, kontinuitas ketersediaannya tak terjaga, harganya fluktuatif, rasanya kurang enak, gizinya lebih rendah, dan memasaknya ribet. Saat pangan lokal dibelit aneka masalah, pangan introduksi berbasis terigu justru semakin perkasa. Dalam sepuluh tahun terakhir, konsumsi bahan pangan dari gandum impor yang diolah jadi tepung terigu itu meningkat pesat. Pada 1987 konsumsi terigu per kapita Indonesia masih 1,05 kg per tahun, naik jadi 2,64 kg per tahun pada 1996 dan meledak menjadi 24 kg per tahun pada 2017. Jadi, hanya dalam 30 tahun konsumsi terigu meledak 23 kali lipat. Di Indonesia, tidak ada jenis pangan lain yang mengalami ledakan sebesar konsumsi terigu. Konsekuensinya, impor gandum juga meledak, menjadi lebih 12 juta ton pada 2017 dengan nilai USD 2,1 miliar. Devisa yang terkuras ini tidak kecil. Dalam struktur diet makanan warga, gandum kini menempati posisi kedua setelah beras yang mencapai 25%, menyalip jagung atau umbi-umbian. Aneka pangan berbasis gandum jauh lebih populer ketimbang pangan lokal, seperti singkong, sagu, sukun, atau ganyong.
Di mata
warga, aneka pangan lokal itu lebih inferior daripada gandum yang lebih
mewakili cita rasa dan selera global. Temuan Fabiosa (2006) dalam
“Westernization of the Asian Diet: The Case of Rising Wheat Consumption in
Indonesia “cukup mengejutkan: setiap peningkatan 1% pendapatan warga
Indonesia, pengeluaran konsumsi pangan yang dibuat dari gandum meningkat di
kisaran 0,44-0,84%. Sebaliknya, konsumsi beras tergerus.
Ini menegaskan dua hal sekaligus. Pertama, substitusi beras oleh gandum demikian cepat. Dari sisi diversifikasi makanan, substitusi itu merupakan hal yang baik. Namun, substitusi beras oleh gandum adalah diversifikasi yang salah kaprah. Sebab ini yang kedua, substitusi itu hanya akan kembali mempertegas fenomena peningkatan ketergantungan kita pada pangan impor. Padahal Indonesia memiliki aneka sumber daya lokal yang bisa menggantikan gandum, seperti singkong, gembili, sukun, sagu, dan ubi jalar. Substitusi gandum dengan pangan lokal tidak hanya menghemat devisa, tapi juga menciptakan dampak berganda (multiplier effect) yang luar biasa di berbagai sektor. Mensubstitusi terigu dengan pangan lokal bukan hal mustahil. Namun, substitusi itu memerlukan kebijakan radikal, konsisten, dan memihak kepentingan domestik. Salah satu kandidat pengganti tepung terigu adalah tepung singkong modifikasi (mocaf). Mocaf sudah diproduksi secara industrial di banyak tempat, melibatkan petani, koperasi, dan pemerintah daerah. Di sinilah negara perlu hadir dengan beleid memihak. Pertama, secara ekonomi, harga mocaf (lebih Rp 6.000/ kg) cukup bersaing. Tapi, harga ini belum menarik bagi industri dibandingkan dengan tepung terigu curah (di bawah Rp6.000/kg). Jika mocaf tidak dikenai PPN 10%, tentu harganya kian menarik. Pemerintah harus membebaskan PPN 10% untuk mocaf. Sebaliknya, bea masuk impor terigu yang 0% harus ditata ulang. Kedua, strategi diversifikasi pangan berbahan lokal akan berhasil bila pemerintah tak memilih kebijakan dan strategi melepas semua ke pasar (hands-off policy). Dukungan kebijakan itu meliputi kebijakan fiskal, seperti alokasi anggaran dalam APBN, tarif bea masuk, pajak, kredit berbunga rendah, serta subsidi pertanian, termasuk riset dan teknologi. Ketiga, strategi ini harus terintegrasi dalam rencana pembangunan jangka menengah sebagai bagian dari penciptaan lapangan kerja dan pengurangan kemiskinan. Sebagai industri yang masih bayi (infant industry), tidak adil membiarkan industri mocaf —yang sepenuhnya berbahan baku lokal, melibatkan ribuan (bahkan jutaan) petani, menciptakan dampak berganda yang maha luas—bersaing dengan industri tepung terigu yang sudah mapan. Tanpa campur tangan pemerintah, mustahil mocaf bersaing dengan 6 korporasi penguasa bisnis tepung terigu (yang salah satunya menguasai pangsa pasar 70%). Berbagai kebijakan itu harus dilakukan konsisten dan berkesinambungan. Saat tepung terigu tersubstitusi mocaf, dengan sendirinya tekanan pada beras akan berkurang. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar