Utang
Luar Negeri dan Kemiskinan
Candra Fajri Ananda ; Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis,
Universitas Brawijaya
|
KORAN
SINDO, 19 Maret 2018
AKIBAT
nilai rupiah yang akhir-akhir sedang melemah, sebagian pihak mulai merasa
khawatir atas dampaknya, termasuk dalam hal utang luar negeri (ULN). Memang
seandainya harga rupiah masih konstan, jumlah utang kita masih saja tetap
besar dan setiap tahunnya terus tumbuh.
Berhubung
ada penurunan nilai tukar rupiah, secara otomatis kurs utang kita juga
ikut-ikut melambung (khususnya ULN). Bisa ditebak hasilnya, berbagai pendapat
terus menggelinding liar.
Lagi-lagi
kita akan dengan mudah bertemu berbagai macam rupa perdebatan karena hingga
saat ini kebijakan utang masih bersifat paradoksal. Lantas bagaimana cara
yang paling arif untuk menanggapi kondisi yang ada?
Latar Belakang Utang
Memang
tidak mudah bagi kita untuk menyimpulkan bagaimana sebaiknya “memperlakukan”
kebijakan utang, khususnya yang berasal dari pemodal luar negeri. Di luar
usaha untuk meningkatkan kemampuan pembiayaan pembangunan, utang juga
memiliki dimensi lain yang pada akhirnya membuat pandangan para ekonom serasa
terbelah. Ada yang sependapat, ada juga yang tidak sependapat.
Sebagaimana
dikutip dari APBN kita yang dirilis Kementerian Keuangan, total utang
pemerintah per akhir Februari 2018 sudah mencapai Rp4.034,8 triliun atau
setara dengan rasio 29,24% terhadap produk domestik bruto (PDB) Indonesia.
Jika dibandingkan dengan besaran di pengujung 2017, tampak adanya kenaikan
sebesar Rp96,4 triliun.
Utang-utang
itu sedianya akan digunakan salah satunya untuk membiayai berbagai program
pemerintah terkait dengan bidang struktural dan sektoral seperti bidang
kesehatan, pendidikan, perlindungan sosial, dan infrastruktur.
Dari
sisi penerimaan APBN, praktis kita memang tidak bisa menghindari jeratan
utang. Setiap tahun kita selalu mengalami defisit, bahkan sejak nota keuangan
APBN diketok beberapa bulan sebelum tahun anggaran berjalan.
Jadi
bisa dibilang utang adalah sebuah keniscayaan. Mengapa demikian? Secara
konseptual, pemerintah senantiasa ingin memberikan pelayanan yang terbaik
untuk rakyatnya. Kebutuhan pembangunan dinilai cukup besar. Akan tetapi
anggaran yang kita miliki dari hasil pajak dan penerimaan nonpajak cenderung
timpang bila dibandingkan dengan alokasi yang semestinya disediakan.
Tax
ratio kita masih tertahan di kisaran 10,8%. Adapun menurut International
Monetary Fund (IMF), tax ratio di suatu negara idealnya minimal 12,5%.
Kita
tidak bisa menyalahkan pemerintah secara sepihak atas rendahnya tax ratio
karena masyarakat sendiri juga bisa ikut “berdosa” jika terlibat dalam
praktik penghindaran pajak (tax avoidance). Seharusnya hasil-hasil program
tax amnesty yang lalu dan berlakunya kebijakan Automatic Exchange of
Information (AEoI) bisa banyak membantu pemerintah untuk meningkatkan
kepatuhan pajak (tax compliance) dan memperbesar tax ratio.
Tahun
ini pemerintah menargetkan adanya defisit fiskal sebesar Rp325,94 triliun
yang kemungkinan akan ditutupi dari hasil utang. Misalnya tidak berutang,
pemerintah mungkin bisa saja memangkas sebagian target belanja publiknya.
Namun risikonya akan banyak target pembangunan yang terbengkalai karena
anggaran yang disediakan tidaklah cukup dengan total pembiayaannya.
Alasan
inilah yang sering kali disampaikan pemerintah untuk mengatasi gejolak
publik. Daya tarik utang lainnya adalah penawaran dari kreditor yang dianggap
memberikan banyak keuntungan seperti adanya alih teknologi serta sharing
knowledge dan expertises.
Selain
menyampaikan soal urgensi dan daya tarik utang, pemerintah juga berusaha
memperkuat alibinya dengan membandingkan rasio utang kita dengan
negara-negara lain. Memang sebagian negara tetangga dan beberapa negara maju
memiliki rasio utang yang lebih besar daripada Indonesia.
Tapi
apa makna sesungguhnya yang hendak disampaikan kepada masyarakat? Apakah
dengan rasio yang lebih rendah membuat pengelolaan keuangan negara kita
seakan-akan menjadi lebih baik daripada negara-negara tersebut? Belum tentu
demikian. Masyarakat mungkin akan lebih tenang jika keuangan yang diterima
dari utang betul-betul memberikan dampak positif terhadap kehidupan
bermasyarakat ketimbang sekadar bermain-main dengan angka rasio utang.
Fokus Kebijakan
Nah,
sekarang apa yang perlu dilakukan pemerintah agar opini publik tidak salah
arah? Pertama, perlu ada pencermatan yang lebih mendalam lagi terkait dengan
program prioritas pemerintah. Khusus program-program yang sudah masuk di
dalam RPJMN 2015–2019 atau yang sering kali disebut sebagai RPJMN Nawacita,
ada baiknya jika pemerintah tetap mempertahankan untuk terus dilaksanakan.
Jika
pemerintah pada akhirnya memilih untuk menurunkan, menggeser, atau bahkan
mencoret program-program yang semestinya sudah menjadi prioritas, dalam
pandangan penulis justru itu yang patut disayangkan. Karena akibatnya akan
mendorong tidak tercapainya target pembangunan yang telah dicanangkan. Maka
untuk alasan pembangunan, kebijakan utang menurut penulis masih bisa ditoleransi
jika pelaksanaannya mempertimbangkan adanya urgensi yang harus segera
dipenuhi.
Kedua,
harapan tersedianya pembiayaan di luar penerimaan pajak/nonpajak dan/atau
utang masih sangat terbuka jika pemerintah bisa lebih fokus pada pengembangan
pembiayaan alternatif seperti program Kemitraan Pemerintah-Swasta (KPS)
dan/atau Kemitraan Pemerintah-Badan Usaha (KPBU). Keuntungan dari pembiayaan
alternatif adalah pemerintah tidak perlu berpikir sendirian untuk menyediakan
dana pembangunan.
Ibaratnya
ada semacam gotong-royong (share risk) antara pemerintah dan pihak
swasta/badan usaha untuk menyelenggarakan pembangunan. Selain itu pemerintah
juga tidak perlu terus-terusan menambal defisit dengan utang. Program-program
tersebut pada umumnya dapat dijalankan pada jenis-jenis pembangunan yang
sifatnya profitable seperti pada pembangunan jalan tol, bandara, pelabuhan,
dan berbagai jenis layanan berbayar lainnya. Namun ada tembok besar yang
harus segera dituntaskan pemerintah di dalamnya.
Biaya
transaksi sebagai biaya tambahan yang harus ditanggung pihak operator di luar
biaya operasional terhitung masih begitu tinggi. Kita lihat saja dari besaran
incremental capital output ratio (ICOR) yang kecenderungannya terus
meningkat.
Hitung-hitungan
penulis berdasarkan data PDB Indonesia 2017, nilai ICOR kita pada tahun 2017
sudah mencapai 6,75% atau meningkat 0,02% bila dibandingkan dengan tahun 2016
yang masih 6,73%. Nilai ICOR menjadi sebuah refleksi tingkat efisiensi
investasi di sebuah wilayah/negara.
Semakin
besar angka ICOR menunjukkan bahwa perangkat investasi di wilayah/negara
tersebut semakin tidak efisien. Penyebabnya bisa karena faktor birokrasi,
regulasi, korupsi, atau iklim investasi dari lingkungan sosial politik yang kurang
mendukung di wilayah tersebut. Sebab pembiayaan alternatif menjadi sebuah
harapan besar.
Ketiga,
segala sumber daya keuangan baik itu dari sisi penerimaan maupun belanja
harus dipastikan dapat dikelola secara prudent, efektif, dan efisien. Prudent
dimaknai sebagai sebuah kehati-hatian agar setiap kebijakan tidak menjadi
sia-sia atau bahkan bencana di masa mendatang.
Efektif
berarti bahwa kebijakan yang dirancang sudah sesuai dengan rencana yang
dicanangkan. Adapun efisien dapat dipahami sebagai pengelolaan yang berbiaya
murah (hemat), tetapi tidak sampai ikut mengurangi realisasi dari sebuah
target.
Yang
perlu pemerintah terus ingat-ingat ialah bahwa hubungan antara penerimaan
negara dan belanja bersifat resiprokal. Target pajak sangat mungkin tercapai
jika belanja pemerintah mampu mengangkat kondisi ekonomi rumah tangga menjadi
lebih baik.
Semakin
banyak orang yang hidupnya makmur dan sejahtera, dengan pendapatan di atas
penghasilan tidak kena pajak (PTKP), target pemerintah untuk bisa hidup mandiri
dengan mengandalkan penerimaan pajak (tanpa terus menambah utang) bisa sangat
mungkin terwujud. Karena itu ada baiknya jika belanja pemerintah bisa terus
terarah pada kebijakan yang mampu menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang
progresif, inflasi yang terkendali, perluasan lapangan pekerjaan, serta
ekspor barang dan jasa yang bernilai ekonomi tinggi.
Persoalan Kemiskinan
Pengelolaan
keuangan negara tidak hanya berhenti pada perspektif bagaimana caranya untuk
sekadar mendapatkan dan/atau menghabiskan anggaran belanja. Persoalan
tersebut lebih tepatnya diposisikan sebagai outcome karena masih ada dimensi
lanjutan sebagai hasil (output) atas kebijakan-kebijakan anggaran yang
dilakukan pemerintah.
Di
Indonesia, target dari APBN biasanya dikaitkan dengan asumsi makroekonomi
yang mengarah pada pertumbuhan ekonomi, pengendalian inflasi, nilai tukar,
suku bunga, harga minyak, serta penanganan ketimpangan dan kemiskinan. Nah,
di antara berbagai asumsi tersebut, persoalan kemiskinan bisa dikatakan
sebagai target yang dapat dianggap sebagai produk betul-betul paling akhir
dari rentetan output. Logika sederhananya bisa dibilang apa pun kebijakan
yang ditempuh pemerintah muaranya adalah mengentaskan jumlah penduduk miskin
di wilayah kekuasaannya.
Kemiskinan
merupakan satu contoh problematika yang harus ditanggung pemerintah. Hal
tersebut disebabkan pasar tidak akan care terhadap kemiskinan.
Pemerintah
bisa dianggap sebagai satu-satunya pihak yang harus bertanggung jawab untuk
segera menyelesaikannya. Hal ini juga bisa dikaitkan dengan kebijakan utang
yang akhir-akhir ini jumlahnya kian menggelembung.
Penulis
lantas membayangkan bahwa jumlah utang yang besar ini seharusnya dapat
menurunkan tingkat kemiskinan. Kebijakan utang (dengan segala risikonya)
memang sebaiknya dikelola untuk mendongkrak produktivitas dalam negeri. Para
penduduk miskin juga akan lebih baik lagi jika ikut menikmati hasil utang
dengan fasilitas program-program pemerintah yang menunjang perbaikan taraf
hidupnya.
Jadi
secara umum utang yang lebih tinggi memang sudah sepantasnya berpengaruh
lebih positif lagi pada program penanganan kemiskinan. Catatannya, dana
pinjaman tersebut harus diarahkan pada sektor-sektor produktif, tidak sekadar
“memanjakan” penduduk miskin sehingga tidak menyelesaikan inti persoalan.
Kunci
utama mengatasi persoalan kemiskinan adalah dengan memfasilitasi mereka untuk
mendapatkan kehidupan yang layak melalui program-program yang mendorong
produktivitas. Misalnya program kredit modal, subsidi energi untuk produksi, pengembangan
keterampilan dan vokasi, serta fasilitas peningkatan daya saing.
Andaikata
penduduk miskin serta masyarakat yang tingkat perekonomiannya sedikit di atas
garis kemiskinan mampu diangkat harkat martabatnya, mungkin gejolak mengenai
utang akan lambat laun mampu segera diredam. Karena publik akan menyaksikan
sendiri bagaimana kredibilitas pemerintah di dalam pengelolaan keuangan
negara.
Selain
itu dengan bertambahnya jumlah penduduk yang sejahtera, pemerintah juga akan
diuntungkan dengan adanya peluang untuk mengekstensifikasi (memperluas) basis
pajak sehingga akan semakin banyak pemasukan bagi negara untuk mengakselerasi
pembangunan. Semoga! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar