Tujuh
Tahun Setelah “Arab Spring” 2011:
Perubahan
Politik dan Implikasi Geopolitik (1)
Trias Kuncahyono ; Wartawan Senior Kompas
|
KOMPAS,
28 Maret
2018
Pergolakan politik di dunia Arab,
yang kemudian disebut Arab Spring, yang bermula pada tanggal 18 Desember 2010
di Tunisia, kemudian meluas ke sejumlah negara Arab dan menghasilkan
perubahan rezim di Tunisia, Mesir, Libya, serta Yaman, represi seperti di Bahrain dan Sudan, bahkan perang
seperti yang terjadi di Suriah, telah mengubah wajah Timur Tengah. Ada yang
membandingkan Arab Spring 2011 (Musim Semi 2011) di Timur Tengah dengan
revolusi di Eropa Timur yang mengakhiri komunisme pada tahun 1989.
Meskipun, hingga kini tetap menjadi
bahan perdebatan, apakah yang terjadi di Timur Tengah adalah tepat disebut
revolusi atau tidak. Adeed Dawisha, profesor politik dari Universitas Miami,
di Ohio lebih memilih menggunakan istilah “Arab Awakening”; Tariq Ramadan
dari Universitas Oxford, juga lebih memilih menggunakan istilah “Arab
Awakening” ketimbang revolusi. Akan tetapi, setahun setelah buku Ramadan,
Islam and the Arab Awakening diterbitkan, tentara Mesir menyingkirkan
Presiden Mohammad Morsi dalam sebuah kudeta berdarah dan tidak demokratik.
Apa pun istilahnya, menurut Dr.
Katz, profesor politik dari
Universitas George Mason di Timur Tengah sudah terjadi tujuh revolusi
nasionalis-Arab dalam kategori berhasil antara tahun 1950-an dan 1960-an: di
Mesir (1952), Suriah dan Irak (1958), Aljazair dan Yaman Utara (1962), dan
Sudan serta Libya (1969). Tetapi, hal yang membedakan dengan apa yang terjadi
pada tahun 2011 adalah revolusi nasionalis-Arab tersebut tidak sepenuhnya
terjadi karena faktor internal melainkan ada faktor eksternal-nya.
Negara-negara yang “disapu”
revolusi pada waktu itu adalah negara-negara yang bersekutu dengan atau
koloni dari Barat. Dan setelah revolusi, rezim baru yang muncul semua (lebih
kurang) dekat dengan Uni Soviet, meskipun Mesir dan Sudan kemudian tidak bersahabat
dengan Uni Soviet (Middle East Policy Council, Volume XXI, Summer, No.2).
Revolusi Iran (1979) menghasilkan
jatuhnya rezim anti-Soviet dan pro-Barat (Shah Reza Pahlevi) serta naiknya
rezim baru anti-Soviet dan anti-Barat di bawah kepemimpinan Ayatollah
Rohullah Khomeini. Seperti Revolusi Perancis dan Rusia, Menurut Stephen M
Walt, Revolusi Iran berdampak buruk terhadap kawasan (paling kurang oleh
negara-negara kawasan dianggap dan dirasakan sebagai mengancam eksistensi
mereka).
Walt meneorikan bahwa revolusi di
sebuah negara tidak hanya mengacaukan hubungan internasional, tetapi dapat
menjadi penyebab pecahnya perang antar-negara. Revolusi Perancis (1789–1799)
segera diikuti perang yang meliputi daratan Eropa. Revolusi Rusia (1917) juga
segera disusul oleh keterlibatan sejumlah negara dalam perang saudara Rusia
juga perang antara Rusia dan Polandia pada tahun 1920. Demikian pula,
Revolusi China (1949) diikuti oleh Perang Korea (1950-1953). Dan, Revolusi
Iran segera pula diikuti oleh Perang Irak-Iran 1980-1988 (Revolution and
War, Cornell University Press, 1996).
Tidak semua revolusi, memang,
menjadi dadakan pecahnya perang. Karena itu, Walt menambahkan, “Revolusi
mengintensifkan kompetisi keamanan dan meningkatkan risiko perang.” Ini yang
terjadi di kawasan Timur Tengah setelah Arab Spring, yakni misalnya,
meningkatnya kompetisi kekuatan, politik, dan pengaruh antara Arab Saudi dan
Iran.
Hal lain yang layak dicatat
adalah apa yang terjadi di Timur
Tengah berbeda dengan yang terjadi di negara-negara Eropa Timur Komunis pada
tahun 1989, yakni tidak ada konsensus mengenai model politik dan ekonomi yang
akan menggantikan sistem politik dan ekonomi yang sudah ada. Para pemrotes
monarki, misalnya, di Yordania serta Maroko ingin mereformasi sistem yang berlaku
saat itu di kedua negara monarki tersebut. Beberapa demonstran menyerukan
segera dilakukan transisi ke monarki konstitusional, yang lain menginginkan
reformasi secara bertahap.
Yang terjadi di Suriah, Libya, dan
Yaman juga tidak seperti yang diharapkan. Bahwa perubahan diharapkan akan
melahirkan negara demokratik dan bebas, yang terjadi tidaklah demikian,
negara-negara tersebut hingga kini justru masih dibelit peperangan serta
menjadi ajang pertarungan negara-negara sekitar dan adikuasa. Negara-negara
yang sudah mencoba melalui jalan demokrasi, terjerumus lagi ke lembah
pemerintahan yang lebih represif, misalnya, di Mesir yang pekan ini
menyelenggarakan pemilihan presiden malahan kembali ke pemerintahan
otoritarian.
Dari Maroko di belahan barat
hingga Yordania, Arab Saudi, dan keemiran Teluk di belahan timur, memberikan
bukti bahwa monarki-monarki ternyata lebih stabil dibandingkan negara-negara
yang mencoba menerapkan pemerintahan rakyat. Negara-negara non-monarki,
misalnya Suriah dan Yaman, yang di masa lalu sebelum Arab Spring memiliki
pemerintahan pusat meski represif, sekarang malah terjerumus dalam perang
sektarian, dan menjadi mendan proxy war.
Sementara, negara-negara yang
mencoba melaksanakan pemilu bebas, seperti Irak dan Libya, juga tidak lantas
bisa merasakan hasil pemilu bebas itu. Mereka justru masih terus kesulitan
keluar dari jeratan pemilu sektarian dan kesukuan (Amy Chua, Political
Tribes, Penguin Press, 2018). Dan, menghasilkan perang saudara berkelanjutan.
Pertanyaanya adalah apakah warisan
(legacy) dari Arab Spring? Yang paling nyata adalah tiga perang saudara
hingga kini—di Suriah, Libya, dan Yaman—yang menelan begitu banyak korban
jiwa, mengakibatkan banjir pengungsi ke banyak negara terutama Eropa, dan
mengacaukan stabilitas kawasan serta menjadi training ground
kelompok-kelompok radikal, berhaluan keras. Konflik tersebut telah pula
menjadi sarana meluasnya perdagangan gelap senjata ke seluruh kawasan dan
meluasnya pula gerakan radikal, ekstremisme yang mendestabilisasi pemerintah-pemerintahan
di kawasan Timur Tengah.
Akibat kedua dari Arab Spring yang
sekarang dirasakan adalah stagnasi ekonomi di negara-negara seluruh Timur
Tengah. Keadaan itu sebagian sebagai akibat dari kerusuhan politik. Meluasnya
kelompok-kelompok radikal berhaluan ekstremisme juga berdampak buruk terhadap
pertumbuhan ekonomi.
Negara-negara yang sebelum Arab
Spring mendapatkan devisa dari industri pariwisata seperti Mesir, Tunisia,
dan Yordania merasakan akibat dari meluasnya radikalisme itu. Instabilitas
politik telah pula memberi ruang lebar bagi kelompok-kelompok radikal untuk
berkembang, dan bertumbuh.
Perubahan
Konfigurasi
Selama beberapa dekade, banyak
yang berpendapat bahwa konfigurasi penting Timur Tengah selalu menyebut
konflik Israel-Palestina. Namun, setelah Arab Spring terjadi berbagai
berbagai perubahan konfigurasi selain kekuatan juga persekutuan dan
permusuhan.
Beberapa musuh Israel selama ini,
sudah bertumbangan, misalnya, Suriah, Irak, dan Libya. Ketiga negara tersebut
masih jauh dari perdamaian dan kedamaian. Hingga kini, meskipun kelompok ISIS
sudah berhasil diatasi, namun Suriah tetap dikuasai perang saudara dan
menjadi mandala pertarungan kekuatan-kekuatan besar dan negara-negara lain
dengan mendukung kelompok-kelompok oposisi dan juga mendukung rezim yang
berkuasa. Sementara itu, Irak masih harus berjuang keras—walaupun juga sudah
berhasil mengatasi ISIS—untuk membangun persatuan nasional; mengakhiri
konflik sektarian yang menjadi persoalan utama negeri itu.
Setelah disapu Arab Spring, Libya
menjadi negara gagal. Pertarungan kelompok milisi yang berebut kekuasaan
menjadi penyebab utama hancurnya negara itu. Ada tiga pemerintah yang berebut
kuasa di Libya: dua pemerintahan di Tripoli; yang salah satunya didukung PBB
yakni Pemerintah Persetujuan Nasional (GNA).
Sebagian besar rezim Sunni (Arab
Saudi, Mesir, dan Yordania) yang selama dari sapuan badai Arab Spring kini
mulai bangkit; yang secara de facto
bersekutu dengan Israel. Meskipun banyak orang Mesir tetap memandang Israel
sebagai ancaman dan simpati pada Palestina, namun di bawah pemerintahan Presiden Abdel Fattah el-Sisi, hubungan
kedua negara membaik lagi.
Pada tahun 2015, Israel membuka
kembali kedutaannya di Kairo, setelah empat tahun ditutup; setahun kemudian
Mesir membuka kembali kedutaannya di Tel Aviv. Mesir juga memberikan suara
dukungan pada Israel untuk menjadi anggota komite PBB (2015). Ini yang
pertama kali Mesir memberikan suara kepada Israel di PBB sejak negara Yahudi
itu berdiri 1948.
Tahun 2017, Sisi bertemu dengan PM
Israel Benjamin Netanyahu, di New York menjelang Sidang Umum PBB ( Zena
Tahhan, Al Jazeera, 20 Sept 2017). Ini
pertemuan pertama pemimpin Israel dan Mesir sejak hampir empat dasa warsa
silam setelah penandatangan Perjanjian Camp David.
Kedua negara juga bekerja sama
dalam memerangi pemberontakan di Sinai, yang dilakukan oleh kelompok
bersenjata yang bersekutu dengan ISIS. Israel mengizinkan Mesir untuk
menempatkan pasukannya lebih banyak dibanding yang disepakati dalam
perjanjian perdamaian kedua negara (A Harel, Haaretz, 12 Juli 2016). Israel
juga mengesampingkan utang Mesir yang jumlahnya hampir satu milliar dollar AS
(D Wainer, Bloomberg, 18 Mei 2016). Secara teori, semakin eratnya hubungan
antara Israel dan Mesir, adalah potensial untuk mendorong proses perdamaian
Israel-Palestina.
Israel memainkan perpecahan
regional di dunia Arab: antara negara-negara Teluk dan Iran. Apa yang secara
tidak resmi disebut “poros moderat” negara-negara Arab—Mesir, Turki, Arab
Saudi, dan beberapa negara Teluk, juga termasuk Yordania dan Maroko—dukungan
Barat, telah menjalin hubungan dengan Israel, meski “di belakang panggung.”
Poros moderat ini “memiliki musuh yang sama” yakni Suriah, Iran, ISIS, Hamas,
dan Persaudaraan Muslim.
Menurut berita yang tersiar, Israel
menyerahkan kepada Yordania satu skuadron helikopter serang (Reuters, 23 Juli
2015), yang bisa digunakan Yordania untuk menghadapi kelompok militan, selain
itu Israel dan Yordania berkolaborasi berkenaan dengan hadirnya Rusia di
Suriah (L Todd Wodd, Washington Times, 26 Maret 2016). Hubungan Arab Saudi
dan Israel juga membaik, ditandai dengan kunjungan delegasi Arab Saudi ke
Israel (Jerusalem Post, 7 Mei 2016).
Hubungan ini didasari oleh aliansi
untuk melawan “ancaman sama” yakni Iran. Ini merupakan bagian dari paradigm
regional baru (Linah Alsaafin, Al Jazeera, 21 Nov 2017).
Kedua negara menyepakati sebuah dokumen yang
menjamin komitmen Arab Saudi yang tidak memiliki kesepakatan formal dengan
Israel, seperti kesepakatan yang dicapai antara Israel dan Mesir pada
perjanjian perdamaian tahun 1979. Menurut dokumen itu, kedua negara menyepakati untuk menjadikan Selat Tiran
dan Teluk Aqaba sebagai perairan internasional yang terbuka dilayari dan
dilewati penerbangan (Gili Cohen, Haaretz, 12 April 2016). ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar