Tema-Tema
Pokok Alquran (I)
Ahmad Syafii Maarif ; Mantan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah
|
REPUBLIKA,
13 Maret
2018
“Resonansi” ini adalah
revisi dan pengayaan dari materi yang saya sampaikan di Forum Kajian
Eksekutif di Jakarta pada 21 Februari 2018, sebuah forum warisan alm Prof Dr
Nurcholish Madjid dan kemudian diikuti diskusi dengan tema serupa oleh
Penerbit Mizan di kampus UIN Sunan Kalijaga pada 28 Februari 2018.
Tema-Tema Pokok al-Qur’an
karya Fazlur Rahman (1919-1988) ini terbit pertama kali tahun 1980 (lih
Fazlur Rahman, Major Themes of the Qur’an. Minneapolis-Chicago: Bibliotheca
Islamica, 1980). Sejauh bacaan saya, pendekatan terhadap Alquran jenis ini
belum pernah ada dalam khazanah literatur Islam di mana pun dan di zaman apa
pun.
Umumnya Alquran
diterjemahkan dan ditafsirkan ayat demi ayat, dan bila perlu diberi ulasan
panjang atau singkat agar pembaca lebih memahami ayat-ayat yang ditafsirkan
itu.
Keunikan karya ini
terletak pada kemampuan penulisnya untuk memetakan pesan-pesan Alquran itu
secara sintetik berdasarkan tema-tema utama tentang: Tuhan, Manusia sebagai
Individu, Manusia dalam Masyarakat, Alam, Kenabian dan Wahyu, Eskatologi,
Setan dan Kejahatan, dan Bangkitnya Komunitas Muslim sebagaimana yang akan
dibicarakan secara singkat berikut ini berdasarkan karya aslinya di atas
dalam bahasa Inggris.
Harapan saya agar para
pembaca punya minat untuk setidak-tidaknya mengikuti terjemahan oleh Ervan
Nurtawab dan Ahmad Baiquni dari Penerbit Mizan tahun 2018 dari edisi terbitan
The University of Chicago Press 2009 dengan judul di atas.
Dijelaskan bahwa karya ini
merupakan jawaban mendesak sebagai sebuah pengantar tentang tema-tema utama
Alquran yang tidak dijumpai dalam karya-karya yang ditulis sekian jauh oleh
para sarjana Muslim dan sarjana non-Muslim. Tujuannya agar orang dapat
mengenal tema-tema di atas dengan membiarkan Kitab Suci berbicara sendiri
tentang dirinya (hlm vi).
Tentu saja pemahaman
penulisnya tentang Alquran tidak lepas dari pengaruh latar belakang
pendidikan dan pengalaman dan pengembaraan spiritual dan intelektualnya yang
panjang, baik di Pakistan, di Universitas Cambridge, Inggris, dan kemudian
melalui interaksinya yang luas dan intens dengan peradaban Barat modern.
Karya yang kita bicarakan
ini ditulis saat F Rahman bertugas sebagai guru besar pada Universitas
Chicago sejak 1969 sampai wafat pada 1988. Di kampus inilah F Rahman berhasil
mengembangkan pemikiran keislamannya secara bebas dan berani, sesuatu yang
tidak didapatinya di Pakistan.
Dikatakan oleh penulisnya
bahwa melalui hanya pemaparan sintetik ini sajalah sebagai satu-satunya cara
yang dapat memberikan kepada pembaca cita-rasa sejati terhadap Alquran
sebagai perintah Tuhan untuk manusia (hlm vii). Karya-karya sarjana Barat,
sekalipun berguna untuk diikuti, pendekatan yang mereka gunakan tidak
memungkinkan pembaca memahami dan menghayati Alquran secara benar, jujur,
dalam, dan komprehensif.
Sama halnya, tafsir-tafsir
Alquran oleh kalangan sarjana Muslim lainnya akan berbeda sama sekali
pendekatannya dibandingkan dengan karya F Rahman ini. Sayang, usia F Rahman
tidak cukup panjang untuk menulis sebuah karya yang lebih luas tentang
pandangan dunia Alquran, sesuatu yang sebenarnya juga mendesak untuk menembus
jalan buntu yang tengah dihadapi peradaban Muslim kontemporer.
Selanjutnya, berikut ini
tema-tema utama Alquran itu kita coba membicarakannya, sekalipun pasti tidak
akan mencakup substansinya secara utuh.
1. Tuhan. Alquran adalah
sebuah dokumen yang benar-benar ditujukan untuk manusia, atau sebagai
“petunjuk bagi manusia” (Q 2: 185). Dengan demikian, petunjuk itu sepenuhnya
bersifat fungsional, punya nilai praktikal, baik untuk kehidupan perorangan
maupun untuk kehidupan kolektif.
Alquran bukanlah sebuah
risalah tentang Tuhan dan sifat-Nya. Dia Pencipta, Pemelihara alam semesta
dan manusia, dan khususnya Pemberi petunjuk kepada manusia dan pada saatnya
mengadilinya, baik perorangan maupun kolektif, dengan keadilan yang penuh
kasih sayang. Dia Tunggal, tidak berbagi dengan yang lain. “Dia adalah
dimensi yang membuat dimensi-dimensi yang lain menjadi mungkin” (hlm 4).
Mengapa harus Tuhan?
Mengapa alam semesta, isi, dan prosesnya tidak berjalan dengan sendirinya
tanpa menyambungkannya dengan wujud yang lebih tinggi-sesuatu yang hanya
memperumit realitas dan meletakkan beban yang tidak perlu atas intelek dan
jiwa manusia?
Alquran menyebut ini
sebagai “keyakinan dan kesadaran tentang yang gaib.” Tetapi, yang gaib ini
sampai kadar tertentu bagi orang-orang khusus seperti nabi menjadi “nyata”
melalui wahyu, sekalipun hakikat wahyu ini tidak bisa diketahui sepenuhnya
oleh siapa pun, kecuali oleh Tuhan.
Kehadiran Tuhan dapat
dirasakan oleh mereka yang melakukan perenungan, yaitu “orang yang takut
kepada Yang Maha Pengasih dalam keadaan gaib dan menghadap dengan hati yang
bertobat.”(QS 50: 33). Kasih sayang Tuhan tidak saja ditunjukkan dalam
pengampunan-Nya terhadap dosa manusia, tetapi juga melalui apa yang
dikurniakan-Nya kepada kita dalam bentuk bumi dan seisinya.
Maka seluruh
rantai—penciptaan—pemeliharaan—petunjuk—pengadilan, yang semuanya sebagai
perwujudan kasih sayang Tuhan—menjadi sangat masuk akal sehingga Alquran
menyatakan keheranannya mengapa masalah ini dipersoalkan. Dua masalah yang
sering dipertanyakan adalah yang awal dan yang akhir: peran Tuhan sebagai
Pencipta dan peran-Nya sebagai Hakim (hlm 9).
Manurut Alquran, hanya
tersedia satu jalan lurus menuju Tuhan, sedangkan yang lain itu bengkok (QS
16:9). Kepada jalan lurus inilah umat manusia diarahkan oleh Alquran. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar