Rabu, 14 Maret 2018

Tahun Keadilan, Kapankah?

Tahun Keadilan, Kapankah?
Sudjito Atmoredjo  ;   Guru Besar Ilmu Hukum UGM
                                                        KOMPAS, 14 Maret 2018



                                                           
Setiap masuk di tahun politik, semua pihak dimintakan perhatian agar mampu berperan secara proporsional dalam aktivitas politik. Politik dipandang sebagai bagian penting dalam proses demokrasi. Rakyat secara normatif diposisikan sebagai subjek politik. Akan tetapi, tak tertutup kemungkinan, rakyat terperosok posisinya sebagai obyek-penderita politik praktis.

Kita prihatin ketika tahun politik terus dipromosikan, tetapi tidak menjadikan politikus semakin dewasa dalam bernegara. Alih-alih dewasa, justru semakin banyak politisi dan kepala daerah tersungkur karena korupsi. Padahal, partai politik merupakan institusi ampuh yang memberikan peluang bagi warga negara untuk ambil bagian dalam proses demokrasi.

Adil dan keadilan

Keadilan bukan sekadar konsep pembagian harta benda dan kekuasaan agar merata, melainkan suatu kondisi dan kebutuhan spiritual setiap manusia yang perlu diberikan tanpa reduksi sekecil apa pun. Kompas, dalam Tajuk Rencana berjudul “Ekonomi Berbagi Bagi Petani” (10 Maret 2018), menyorot perihal tawaran Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin) untuk menyejahterakan petani, peternak, dan nelayan melalui kemitraan. Kemitraan pengembangan perkebunan sawit dikemukakan sebagai contoh yang berhasil. Petani mendapat kepastian pasar karena produknya diserap industri mitra.

Sepintas, dua substansi, yakni: tahun politik dan model kemitraan di bidang ekonomi, tak ada kaitannya. Aktivitas politik dan aktivitas ekonomi masing-masing berjalan pada jalur berbeda. ersepsi demikian perlu diluruskan. Di sini ingin ditunjukkan betapa keduanya berkait erat, berkelindan, dalam kesatuan. Kesatuan dimaksud akan tampak bila “keadilan” digunakan sebagai perspektif.

Keadilan adalah perlakuan terhadap sesuatu hal secara proporsional. Keadilan bukan sekadar konsep pembagian harta benda dan kekuasaan agar merata, melainkan suatu kondisi dan kebutuhan spiritual setiap manusia yang perlu diberikan tanpa reduksi sekecil apa pun. Keadilan, dengan demikian, berada di wilayah moralitas, bukan sekadar logika dan matematika belaka.

Dalam UUD 1945, Indonesia adalah negara hukum. Ketika konstitusi itu disahkan, tanggal 18 Agustus 1945, hukum di negara ini beraneka ragam. Ada hukum agama, hukum adat, hukum kolonial, hukum internasional, dan sebagainya. Setapak demi setapak hukum-hukum yang masih bermasalah itu dibenahi. Hukum Barat (kolonial) dicabut digantikan hukum nasional. Berbagai traktat diratifikasi. Hukum adat yang masih feodalistis dan ekspoitatif, di-saneer. Dipastikan bahwa hukum yang berlaku atas bumi, air, ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, ialah hukum adat, dan bersandar pada unsur-unsur agama. Pembenahan hukum-hukum bermasalah itu didasarkan pada nilai-nilai Pancasila.

Secara eksplisit, perihal adil dan keadilan di dalam Pancasila dijumpai pada sila ke-2 dan ke-5. Menurut filsuf Notonagoro dalam “Pancasila Secara Ilmiah Populer” (1971), dimaksud adil pada sila ke-2 adalah kemanusiaan yang adil terhadap diri sendiri, terhadap sesama manusia, dan terhadap causa prima (Tuhan Yang Maha Esa). Adapun makna keadilan pada sila ke-5 adalah keadilan sosial yang berketuhanan Yang Maha Esa, yang berperikemanusiaan yang adil dan beradab, yang berpersatuan Indonesia, dan yang berkerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia itulah tujuan bangsa, dan itu pula tujuan bernegara.

Berparadigma Pancasila

Dalam bingkai negara hukum Indonesia, dan dasar falsafah negara (Pancasila), maka aktivitas politik dan aktivitas ekonomi, bahkan aktivitas mana pun, perlu dikelola demi terwujudnya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Dengan kata lain, aktivitas politik ekonomi harus berparadigma Pancasila. Bagaimana penjelasannya?

Pertama, ilmu politik dan ilmu ekonomi dipelajari, diajarkan, dan dipraktikan untuk mengatur kekuasaan dan demi kesejahteraan warganya. Komitmen politikus, partai politik, pengusaha, industriawan, dan konglomerat harus untuk bangsa dan negara. Di situ kekuasaan adalah alat (as a tool), sementara kesejahteraan warga (nation) merupakan fokus perhatiannya.

Kedua, kekuasaan—yang menurut Lord Acton cenderung korup—perlu dikendalikan berdasarkan hukum agar digunakan secara proporsional dan berbuah keadilan. Jadi, penggunaan kekuasaan harus atas dasar hukum, dan bukan atas dasar kekuatan. Politik dan ekonomi pada tataran konsep maupun praksis perlu dijauhkan dari penggunaan kekuatan fisik (preman dan oknum aparatur keamanan) maupun kekuatan nonfisik, utamanya ideologi kapitalisme.

Ketiga, semua hukum hanya dikatakan benar bila di dalamnya sarat nilai-nilai moralitas Pancasila. Keadilan merupakan rohnya hukum. Berdasarkan hukum yang berkarakter religius, kemanusiaan, dan kebangsaan, maka aktivitas politik dan aktivitas ekonomi, menjadi proporsional, adil, dan beradab. Praktik politik maupun praktik ekonomi menjadi santun, enak didengar, indah dilihat, dan sejuk di hati, penuh empati, tanpa emosi.

Keempat, pertautan antara hukum, politik, dan ekonomi, telah menjadi keniscayaan. Dinyatakan oleh Boaventura de Sousa Santos (1995), bahwa hukum (regulasi) sebagai representasi modernisme senantiasa digerakkan untuk mewujudkan stabilitas politik, ekonomi, sosial, budaya, keamanan, dan tatanan bernegara lainnya. Aktivitas politik dan aktivitas ekonomi masuk dalam pengaturan regulasi negara. Akan tetapi, di era post-modern (saat ini), regulasi cenderung mereduksi emansipasi, dan keadilan. Mengapa? Karena regulasi merupakan produk politik yang lahir melalui transaksional. Akibatnya, keadilan sosial menjadi sulit terwujud, barang langka, mahal harganya.

Kelima, ketika hukum didominasi oleh politik dan ekonomi, maka aktivitas pemerintahan cenderung bermuatan politis-ekonomis, dan abai terhadap keadilan. Kemitraan antara Kadin dengan petani, peternak, nelayan, diduga sarat muatan politis-ekonomis, dengan target pengendalian hak politik, hak ekonomi, dan kemandirian, sehingga tidak terjadi gejolak.

Kita rindu keadilan. Kita bermimpi menjadi bangsa mandiri. Kemunafikan, dominasi, dan eksploitasi harus dikikis habis. Apalah artinya demokrasi politik dan demokrasi ekonomi bila dalam kenyataannya keadilan jauh dari jangkauan? Maka, perlu dipromosikan tahun keadilan. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar