Suhu
Politik Panas Tinggi:
Antara
Ngigau, Cincai, dan Cincau
M Subhan SD ; Wartawan Senior Kompas
|
KOMPAS,
27 Maret
2018
Panasnya suhu politik
sekarang barang kali melampaui panas bara api. Bara api ada kalanya padam,
tetapi bara politik di negeri ini sepertinya tak pernah padam. Apalagi tahun
2018 sampai 2019 ini disebut tahun politik. Padahal tahun-tahun yang dianggap
bukan tahun politik pun, suhu politik juga bukan main panasnya. Terutama
sejak Pilpres 2014, api politik terus-menerus menyala.
Politik lebih didominasi
aksi dan relasi negatif: kemarahan, rasa dengki, kebencian, berebut panggung,
permusuhan, dan korup. Politik bukan menjadi ruang untuk membangun konsensus
dan kesepakatan demi kebaikan masyarakat. Politik serasa berhenti di tingkat
elite. Rakyat terbengong-bengong karena mendapatkan getah dari perebutan
”buah” kekuasaan.
Senyampang dengan Pilkada
2018 ini, tensi politik langsung dikejutkan dengan sejumlah politikus cum
kepala daerah yang ditangkapi Komisi Pemberantasan Korupsi sejak awal tahun.
Meskipun sudah ditakut-takuti dengan adanya KPK dan hukuman penjara, ternyata
politikus lebih takut tidak punya uang dan tidak punya kuasa.
Maraknya korupsi
disinyalir terkait dengan syahwat kuasa untuk memenangi pilkada. Mereka butuh
modal uang untuk mendapatkan kursi kekuasaan (wali kota, bupati, dan
gubernur). Maka, banyak di antara mereka gelap mata dan kemaruk. Korupsi
membuat suhu politik di negeri ini meninggi.
Suhu politik dipastikan
tidak akan kembali normal. Sebab, tahun 2019 adalah hajatan nasional, yaitu
Pilpres. Sudah terlihat makin keras rebutan panggung, baik di dunia nyata
maupun dunia maya. Nama-nama kandidat presiden semakin santer diungkapkan.
Sang petahana, Presiden
Joko Widodo, masih bertengger di posisi teratas yang secara popularitas dan
elektabilitasnya paling tinggi. Koalisi pendukung Jokowi pun begitu bongsor.
Ada PDI-P, Golkar, Nasdem, PPP, PKB, Hanura, serta dua partai baru, PSI dan
Perindo, juga sudah merapat ke Jokowi.
Bahkan Partai Demokrat
yang kerap mengukuhkan posisi sebagai ”penyeimbang” juga telah memberikan
sinyal bakal merapat ke kubu Jokowi. Dalam Rapimnas Partai Demokrat di
Sentul, Bogor, 10 Maret 2018, yang dihadiri Presiden Joko Widodo, Ketua Umum
Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono berpidato, ”Jika Allah SWT, Tuhan
Yang Maha Kuasa menakdirkan, sangat bisa Partai Demokrat berjuang bersama
Bapak.”
Namun, belakangan hubungan
Demokrat memanas dengan PDI-P, atas pernyataan Sekretaris Jenderal PDI-P
Hasto Kristiyanto tentang proyek pengadaan KTP elektronik di era SBY (Partai
Demokrat). Hal itu buntut pernyataan terdakwa Setya Novanto di sidang korupsi
KTP-el yang menyebut-nyebut nama dua petinggi PDI-P, Puan Maharani dan
Pramono Anung.
Rivalitas
bebuyutan
Melihat peta dan kekuatan
politik ke depan, rival bebuyutan Jokowi, yaitu Prabowo Subianto, Ketua Umum
Partai Gerindra, kembali menjadi penantang utama. Kabar yang tersiar,
pancalonan Prabowo akan diumumkan pada April mendatang. Kalau dua nama ini
kembali bertarung, itu sama saja pertandingan ulang dari laga Pilpres 2014.
Persaingan dua kubu yang
saling berhadapan (head to head)
meninggalkan luka menganga hingga sekarang. Masyarakat pun terbelah:
pendukung dan pembenci. Pendukung di satu kubu berarti pembenci ke kubu lain.
Kohesi masyarakat pun renggang. Ini mengancam ketahanan bangsa.
Ketika Presiden Jokowi
bertemu Ketua Umum PSI Grace Nathalia dan pimpinan PSI di Istana, 1 Maret
lalu, langsung dilaporkan ke Ombudsman RI dengan tudingan penyalahgunaan
Istana untuk politik praktis kelompok tertentu.
Namun, laporan itu tak
menyurutkan Ketua Umum Partai Perindo Hary Tanoesoedibjo untuk bertemu
Presiden Jokowi lima hari kemudian. Sebelumnya juga sudah banyak pimpinan
partai politik menemui Presiden Jokowi di Istana, terutama bagi partai
politik anggota koalisi pendukung pemerintahan Jokowi-JK.
Ketua Umum PDI-P Megawati
Soekarnoputri, Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto (bahkan di masa
Setya Novanto), Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar, Ketua Umum PPP
Romahurmuziy, Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh, Ketua Umum (saat itu)
Partai Hanura Wiranto, Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan, tentu saja bersama-sama
jajaran pimpinan partai masing-masing telah berdiskusi di Istana. Ketua Umum Partai
Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono juga pernah bertemu Presiden Jokowi di
Istana.
Bahkan partai-partai
bersikap oposan pun juga pernah menemui Jokowi di Istana. Misalnya Presiden
PKS Sohibul Iman bersama jajaran pimpinan PKS. Demikian halnya dengan Ketua
Umum Partai Gerindra Prabowo yang menemui Jokowi di Istana pada 16 November
2016.
Prabowo membalas kunjungan
Jokowi ke rumahnya di Hambalang, Bogor, pada 31 Oktober 2016. Kalau melihat
komunikasi dua tokoh ini tampaknya begitu cair, tetapi sayangnya tidak
meleleh sampai ke akar rumput. Persaingan dua kubu ini diprediksi akan tetap
sengit di Pilpres 2019, semirip Pilpres 2014.
Contohnya saja, ketika ada
wacana iseng tentang pasangan Jokowi-Prabowo, langsung disewoti bahwa Prabowo
itu adalah calon presiden bukan calon wakil presiden. Memang ada nama-nama
lain, tetapi prediksi suaranya masih sangat jauh di posisi bawah, seperti
Anies Baswedan (Gubernur DKI Jakarta), Agus Harimurti Yudhoyono (Komandan
Tugas Bersama Pemilu 2019 Partai Demokrat yang juga putra sulung presiden
ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono), Gatot Nurmantyo (mantan Panglima TNI),
Muhaimin Iskandar, dan Zulkifli Hasan. Itu beberapa contoh saja.
Namanya juga
digadang-gadangkan, ya boleh-boleh saja. Namun, menjadi presiden dan wapres
itu juga ada persyaratannya. Banyak kalangan memandang nama-nama tersebut di
atas mungkin lebih pas untuk mengisi kekosongan cawapres.
Perilaku
aneh-aneh
Dengan lanskap politik
demikian, suhu politik terus meninggi. Jangan harap setahun kemudian akan
terjadi hujan yang mendinginkan suasana politik. Kalaupun ada turun hujan,
tampaknya akan tidak mampu memadamkan bara api yang menyala-nyala dalam
kontestasi pilpres.
Kalau suhu tubuh manusia
normal sekitar 36 derajat celsius, barangkali suhu politik sampai tahun depan
rata-rata di sekitaran 40 derajat celsius. Dengan suhu setinggi itu, secara
medis biasanya bisa mengakibatkan sakit kepala, jantung berdetak cepat, kram
otot, atau pingsan. Bahkan jika anak-anak, suhu tubuh yang panas itu sering
membuat mereka mengigau.
Pantas saja banyak
perilaku aneh-aneh saat suhu politik panas tinggi. Mungkin karena suhu
politik panas tinggi jangan-jangan banyak politikus yang sakit kepala, kram,
atau mengigau. Banyak omongan yang ngalor-ngidul dan suka memanas-manasi,
kerap menyalahkan, menebar kebencian, fitnah, tak sedikit perilaku yang
kurang sedap dipandang mata, bahkan membuat sebal.
Tak sedikit perbuatan
tercela menghalalkan segala cara demi merebut kekuasaan. Korupsi bukan
ditolak mentah-mentah, melainkan dicari cara diakali agar tak terendus KPK.
Banyak urusan yang bisa diatur-atur saja. Dalam pergaulan dikenal istilah
”cincai”. Istilah yang bermakna fleksibel dan maklum itu justru makin
berkembang negatif artinya.
Barangkali semacam
”politik cincai”. Banyak politikus dan pejabat yang cincai bagi-bagi
proyek-proyek pembangunan sehingga sama-sama dikorupsi. Bertahun-tahun
korupsi memanaskan suhu politik di negeri ini. Politik cincai itu juga
berarti ”saling kedip mata” antar-politikus demi kekuasaan, bukan demi kemaslahatan
rakyat.
Dalam situasi suhu politik
panas tinggi ini barangkali perlu membangun suasana yang dapat mendinginkan
suhu politik. Jadi, teringat pohon cincau hijau (Cyclea barbata). Daunnya
dapat dibuat gel yang diminum segar dengan es. Kabarnya cincau berkhasiat
banyak, mulai bikin adem suhu tubuh hingga mencegah hipertensi.
Cincau merupakan minuman penyegar, juga memiliki
efek penyejuk dan peluruh. Menjadi penyejuk dalam suhu politik yang panas
tinggi. Juga menjadi peluruh sehingga membuat segala kebusukan yang ada di
dalam pikiran dan hati dimuntahkan agar bersih kembali.
Barangkali karena fungsi
mengademkan itu, sempat-sempatnya calon gubernur Jawa Timur yang juga mantan
Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa membeli es cincau saat blusukan di
Pasar Sumberejo, Kabupaten Bojonegoro, pada 27 Februari lalu. Agus Harimurti
Yudhoyono, ketika menjadi calon gubernur DKI Jakarta, juga pernah berdialog
dengan produsen cincau saat kampanye di Cipinang Besar Selatan, Jakarta
Timur, 18 Januari 2017.
Mungkin itu semacam
metafora saja. Dalam suhu panas tinggi ini, jauhkan cincai, perbanyak
konsumsi cincau. Maksudnya lebih banyak mendinginkan hati dan menjernihkan
pikiran agar suhu politik tidak terus meninggi yang dapat membuat banyak
pihak mengigau terus-menerus. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar