Rabu, 14 Maret 2018

Sensasi Melampaui Ekspektasi

Sensasi Melampaui Ekspektasi
Lasarus Jehamat  ;   Dosen Sosiologi FISIP Undana Kupang
                                              MEDIA INDONESIA, 13 Maret 2018



                                                           
HINGGA Februari 2018, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menangkap 10 kepala daerah karena korupsi. Dari jumlah itu, tujuh orang ialah bupati, sedangkan sisanya masing-masing seorang wali kota dan gubernur dan seorang lagi calon gubernur (Media Indonesia, 12/03).

Belum selesai proses hukum atas ke-10 orang itu, Ketua KPK Agus Rahardjo mengeluarkan pernyataan menarik. Menurut Agus Rahardjo, 34 calon kepala daerah di pilkada serentak 2018 diduga terlibat korupsi dan segera menjadi tersangka.

Pernyataan tersebut sontak memantik reaksi masyarakat. Polemik muncul. KPK didakwa bermain politik. KPK telah keluar dari rel utama pemberantasan korupsi. Kemunculan berbagai tuduhan dengan beragam suara sumbang jelas disebabkan ada fakta lain di KPK. Sampai sejauh ini, KPK belum sampai menuntaskan kasus korupsi mereka yang telah ditangkap.

Bagi saya, pernyataan Ketua KPK menunjukan KPK telah keluar dari kebiasaan selama ini, yakni kebiasaan untuk tidak memberikan pernyataan pers dan pernyataan lain terkait dengan korupsi.

Masih kuat dalam ingatan masyarakat Indonesia, saat baru dilantik, komisioner KPK sepakat untuk tidak tampil ke publik. Mereka hanya mau mengeluarkan pernyatan jika telah mendapat bukti.

Kalau saat ini KPK sering memberikan komentar dan pernyataan, itu harus diperiksa dan laik dikritisi sebab untuk level lembaga seperti KPK, semua kerja progresif mereka jelas didukung penuh masyarakat.

Masyarakat tidak ingin KPK terjebak dalam beragam kepentingan. Dengan kata lain, masyarakat ingin agar KPK bekerja dalam diam. Bekerja dan terus menuntaskan kasus korupsi di Indonesia. Jika KPK sibuk memberi pernyataan, sementara banyak kasus korupsi mandek diproses, kinerja demikian jelas melampaui ekspektasi masyarakat bahwa KPK gagal mengamankan amanah rakyat Indonesia.

Kita semua tentu tidak ingin KPK keluar jalur. Kita semua ingin agar KPK bebas bekerja tanpa ada tekanan dari luar. KPK pasti sadar benar akan hal ini sebab kerja pemberantasan korupsi di Indonesia ialah kerja memerangi mafia.

Tulisan ini merupakan bentuk awasan mewanti bagi KPK. Selain banyak serangan terhadap pimpinan KPK sebelumnya, pernyataan-pernyataan di ruang terbuka cenderung dibaca sebagai proses mengeluarkan KPK dari tugas utamanya. Pimpinan KPK saat ini perlu belajar dari pimpinan KPK sebelumnya.

Hiperrealitas

Setiap perilaku yang keluar dari motif aslinya mudah terjebak dalam hiperrealitas. Hiperrealitas adalah fenomena perilaku yang tidak hanya keluar dari tujuan asli, tetapi bahkan tidak berhubungan lagi dengan tujuan aslinya.

Dalam Simulations, Baudrillard (1983) mengatakan bahwa dunia sosial modern dapat dipahami dengan konsep simulasi. Simulasi adalah gejala yang menjadikan realitas maya-dunia media audiovisual sama seperti realitas sosial.

Alih-alih menjadi sama seperti realitas sosial, realitas yang dikonstruksi media berujung pada melampau realitas sosial itu. Melampau realitas sosial sama dengan tidak ada hubungannya lagi dengan dunia sosial itu sendiri.

Itulah realitas sosial masyarakat modern. Realitas yang baru itu menjadi terlampau aneh dan lain. Dia menjadi sesuatu yang asing dan sungguh eksentrik. Itulah opini panggung. Dia sangat dramaturgis. Setiap yang dramatrugis biasanya bermakna ganda. Ini yang bahaya.

Implikasinya, di level pembuat opini, setiap opininya dianggap isu dan gosip. Kalau itu yang terjadi, masyarakat akan sulit memercayainya. Ruang hukum dan politik sering dihantui realitas hipokrit ini.

Berkaitan dengan realitas aneh seperti ditulis Baudirllard di atas, dalam Political Hypocrisy: the Mask of Power, From Hobbes to Orwell And Beyond, Runciman (2008) mengatakan bahwa salah satu gejala yang tampak jelas di ruang liberalisasi politik sekarang ini ialah politik hipokrit.

Di sana, para politikus akan menggunakan topeng politik untuk menyembunyikan wajah asli. Topeng politik sama dengan panggung depan sebagaimana dijelaskan Goffman. Hipokriditas politik ditunjukkan dalam beberapa bentuk, misalnya kampanye hitam, bualan politik; gap antara kata dan tindak selama ini; antara yang diucapkan sekarang dan yang akan dilakukan nanti, dan topeng dengan manusia asli di belakang topeng. Tujuannya ialah agar politisi mendapatkan popularitas dan elektabilitas politik. Kekuasaan ialah muara akhirnya.

Jika ditarik ke kanal hukum, banyak kasus hukum di Indonesia. Pernyataan Lubet perlu diselami. Dalam The Importance of Being Honest: How Lying, Secrecy, and Hypocrisy Collide with Truth in Law, Lubet (2008) menyebutkan bahwa kejujuran sulit dipahami dan enggan dipraktikkan dalam sistem hukum. Demikian halnya dengan klien, pengacara, hakim, guru karena secara inheren sulit untuk mengenali, berkomunikasi, dan menghargai kebenaran. Padahal, sistem hukum dan politik harus menerapkan nilai-nilai seperti kerahasiaan, otonomi, dan keadilan.

Dalam soal yang lain, rahasia harus dijaga untuk tujuan keadilan. Setelah mendapatkan informasi yang akurat, barulah penegak hukum menyampaikan informasi tersebut ke publik. Lubet mengatakan bahwa di sini kebenaran benar-benar diuji. Kebenaran yang dimaksud ialah kesadaran diri dan kesadaran prosedural.

Ujian kinerja KPK

Pernyataan Ketua KPK harus disebut sebagai janji. Karena janji maka janji itu harus segera dipenuhi. Ketika menyebut kira-kira 34 calon kepala daerah terlibat dalam korupsi, KPK harus segera menindaklanjutinya agar tidak disebut hipokrit dan penipuan.

Kita semua tahu integritas KPK secara kelembagaan dalam pemberantasan korupsi di negara ini. Persoalannya ialah waktu yang tepat bagi KPK dalam penanganan beragam kasus tersebut.

Gugatan ini perlu diangkat dan laik dibicarakan. Selain karena posisi KPK, hemat saya, kasus korupsi yang sedang ditangani KPK selama ini masih terlalu banyak.

Polemik yang muncul karena pernyataan Ketua KPK harus disikapi dengan agak serius agar masyarakat tidak bingung. Menggugat dan terus menagih janji kinerja KPK menjadi hal urgen di sini.

Ketakutan banyak pihak ialah kegaduhan politik menjelang kontestasi politik 2018 dan 2019. Saya tidak sedang meragukan KPK. Tidak pula meragukan kinerja lembaga penegak hukum lainnya. Semua tahu integritas KPK. Persoalan besarnya ialah beranikah KPK keluar dari jebakan janji dan tetap komit di jalur hukum?

Seperti yang telah disampaikan di atas, masyarakat Indonesia senang ketika kasus korupsi dibuka. Meski demikian, menyampaikan bahwa ada yang akan ditangkap karena kasus korupsi, hemat saya, bukan hal bijak. Tidak bijak karena beberapa alasan pokok berikut ini.

Pertama, selama ini KPK bekerja dalam diam sampai seseorang ditangkap dan ditetapkan sebagai tersangka. Kedua, kegaduhan politik jelas muncul karena pernyataan ini. Ketiga, KPK tengah menciptakan musuh. Pernyataan bernada polemik yang disampaikan KPK jelas dibaca sebagai ancaman bagi mereka yang berkontestasi. Ketakutan banyak orang ialah ancaman KPK akan dilawan dengan ancaman dalam bentuknya yang lain.

Rakyat Indonesia tidak ingin KPK lemah. Rakyat Indonesia ingin agar KPK bisa bekerja tenang memerangi korupsi yang terus mewabah di Indonesia. Catatannya, karena posisi demikian, KPK harus cerdas mengelola infomasi. Kecerdasannya ditunjukkan mulai dari sikap, pernyataan, dan praktik pemberantasan korupsi. Ingat, sensasi kadang-kadang bisa melampaui ekspektasi. Ini berbahaya. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar