Seni
dalam Perbincangan Strategi
Seno Gumira Ajidarma ; Rektor Institut Kesenian Jakarta
|
KOMPAS,
24 Maret
2018
Seberapa jauh suatu
strategi pengembangan kesenian telah membuat Indonesia menjadi lebih baik?
Berikut sebuah evaluasi, merujuk kategorisasi seni berdasarkan relevansi
kehadirannya.
Seni
sebagai bahasa
Sebagai bahasa, seni
secara radikal ditempatkan pada ujung pertumbuhan kebudayaan, sebagai proyek
inovasi tanpa akhir untuk mencapai kebaruan dalam penjelajahan, mencari
cara-cara ungkap yang belum pernah dilakukan. Dalam pendekatan ini,
kesempurnaan adalah pencapaian yang segera ditinggalkan karena daya
penciptaan terus-menerus berproses bersama waktu. Bahasa seni ditemukan bukan
untuk digunakan, melainkan untuk selalu diperbarui.
Dalam kategori ini, peran
pemerintah sebagai representasi negara tercatat dengan kuat justru pada masa
Orde Baru ketika Taman Ismail Marzuki menjadi ajang ”eksperimen dengan
kebebasan”, sejak 1968, yang setiap ekspresi barunya mengembangkan kesenian
Indonesia. Kemudian terbukti, perlindungan pemerintah yang membuat TIM
menjadi ”suaka” kebebasan, sebetulnya semu—seperti terbukti dari ditahannya
Rendra.
Menjelang Reformasi 1998,
kedudukan pusat kebudayaan pada TIM sudah tidak berlaku, termasuk sikap
terhadap gagasan ”pusat” itu sendiri, bersama dengan menguatnya
kantong-kantong kebudayaan alternatif, serta tumbuhnya komunitas seni yang
memberikan tempat segala aspirasi, dari segenap kelompok sosial maupun lintas
geografis—seperti dimungkinkan teknologi komunikasi. Sejauh pemerintah tidak
mengganggu pertumbuhannya, itu sudah merupakan kontribusi terbaik. Bukan
berarti perlindungan tidak penting, peran negara untuk menghadapi anarki
radikalisme terhadap seni kadang terabaikan oleh pemerintah sendiri.
Seni
sebagai fungsi
Sebagai fungsi, seni
menjadi bagian kehidupan sehari-hari, sampai titik terlupakan keberadaannya
sebagai seni selain sebagai fungsi. Bahkan, penggubahnya mungkin tidak
menganggap dirinya berkesenian, melainkan membuat barang atau alat dengan
fungsi tertentu. Faktor fungsi membuatnya sebagai ”seni yang berguna”, dan
karena itu menjadi obyek dan proyek utama dari peluang menjadikannya
komoditas. Pada kategori ini dapat dikatakan seni hadir pada semua bentuk.
Dalam kategori kedua ini,
swadaya khalayak tumbuh dalam ”gerakan wiraswasta” semenjak istilah ini
diperkenalkan, bahkan sejak tahun 1970-an. Tanpa pernah menjadi isu besar,
adab menjual seni sebagai benda atau teks yang berfungsi telah dianggap sahih
tanpa dipertanyakan lagi, dan hidup matinya diserahkan kepada ekonomi pasar.
Peran pemerintah dalam konteks ini mengikuti hukum pasar, dengan segenap
peluang yang dimungkinkan dalam hukum itu.
Gerakan pemerintah untuk
mendorong bangkitnya ”industri kreatif” sejauh ini lebih berfungsi sebagai
motivator produksi daripada memecah kebuntuan pasar. Apakah suatu kampanye
ideologis masih diperlukan agar khalayak membeli seni yang berfungsi ini
berdasarkan keputusan politis, seperti demi kepentingan nasional? Selama
regulasi ”wajib beli” tidak dimungkinkan, dan mungkin sekali tidak perlu,
siasat atawa strategi unggul menjadi pekerjaan rumah jawara ekonomi pasar.
Seni
sebagai media
Sebagai media, seni
terandaikan sebagai media komunikasi yang menyampaikan pengertian dengan
gamblang, memengaruhi, dan mewakili berbagai kepentingan dalam distribusi
pesan. Sebagai media, kesenian memiliki peran sosial, komersial, dan politis
bagi pihak mana pun. Peran teknologi komunikasi yang menggandakan keberdayaan
media membuat peran seni pun tergandakan. Pendidikan, promosi, propaganda,
dan kritik sosial menjadi bagian seni dalam kategori ini.
Dalam kategori terakhir
ini, khalayak mendapat bahasa seni yang sudah dikenal, tinggal dinikmati, dan
tidak dipersoalkan sehingga khalayak tidak terjauhkan dari muatan pesan,
tersurat maupun tersirat, dari kesenian yang dihadirkan. Antara seni modern
dan seni tradisi, seni tradisi tampak lebih dianggap penting karena beban
identitas yang dibawanya sebagai warisan budaya masa lampau. Menjaga seni
tradisi bagaikan tugas luhur, terhadap seni modern yang berlaku adalah
sekadar kewajiban.
Keberadaan seni modern di
Indonesia lebih kurang semu, dilahirkan oleh kebutuhan zamannya, dan jauh
dari rekayasa seperti yang berlangsung pada seni tradisi. Demi pariwisata
maupun politik identitas, keberadaan seni tradisi lebih banyak ditentukan
oleh kebijakan pemerintah daripada swadaya karena komunitas yang menjadi
alasan kehadirannya tidak selalu dominan. Artinya pendapat ini tidak berlaku
di tempat komunitas tradisional tetap dominan. Keberadaan seni modern
berbanding terbalik karena dengan atau tanpa pemerintah pun seni modern
sebagai media telah menjadi gejala populer pada masanya.
Skala
prioritas dalam strategi
Kategorisasi ini memilah
dalam rumusan, penerapannya mungkin tumpang tindih, tetapi tidak perlu
dirisaukan dalam evaluasi, yang bertujuan memberi sekadar usulan bagi
pengampu kebijakan.
Seberapa jauh suatu
strategi pengembangan kesenian telah membuat Indonesia menjadi lebih baik?
Jika Indonesia menjadi lebih baik, meskipun kesenian mungkin saja ikut
berperan (Hanya ada satu kata: Lawan yang menggelorakan demo-demo 1998
berasal dari puisi Wiji Thukul), belum tentu berasal dari strategi kesenian
pemerintah. Relevansi kesenian bagi pemerintah lebih kepada kepentingan
rezim: Bagaimana caranya kesenian tidak membangkitkan sikap kritis terhadap
penguasa. Maka kesenian non-kritis itulah yang terandaikan wajib
dikembangkan, misalnya seni demi kepentingan didaktis, yakni membentuk manusia
teladan yang setia dan penurut.
Padahal, manusia
berkarakter sebaliknyalah yang berada di garda depan kesenian. Strategi
kesenian menjadi salah satu saja faktor penentu karena ujung pertumbuhan
kebudayaan yang bergerak bersama waktu sangat mungkin berada di luar
strategi: Suatu swadaya yang mengatasi keterbatasan, meski tidak di luar
konstruksi kebudayaan. Betapa pun, bukan berarti suatu strategi tidak mungkin
memberi peluang melajunya pertumbuhan itu.
Suatu strategi lebih
diperlukan bagi kesenian sebagai fungsi karena penyejahteraan adalah janji
masuk akal dari berfungsinya kesenian dalam kehidupan sehari-hari, tanpa
harus memasuki pasar para ”maestro” yang mengandalkan posisi hierarkis
sebagai promosi terbaik. Apabila pemerintah berkepentingan dengan hajat hidup
orang banyak, pengaturan ekonomi finansial dalam konteks ekonomi budaya
adalah bagian mutlak suatu strategi.
Setara kepentingan
ekonomi, strategi bagi kesenian sebagai media komunikasi juga mendesak, bukan
untuk membatasi, tetapi memberdayakan, karena cara diterimanya adalah
ungkapan khalayak sebagai produsen makna. Antisipasi pembergandaan pesan yang
bertebaran ke segala arah dari segala penjuru sangat perlu, setidaknya dengan
penyebaran literasi seni, dan diperkuatnya lembaga kritik.
Jika sebagai bahasa, seni
berada di pusat lingkaran kebudayaan, dan lingkaran di luarnya adalah seni
sebagai fungsi, lantas yang terluar seni sebagai media, susunan ini bukanlah
suatu urutan, melainkan lapisan-lapisan dimensional.
Dalam pendekatan strategik,
prioritas dimulai dari (1) lingkaran terluar, yang paling fenomenal,
berdampak, dan manipulatif, lantas masuk ke (2) lingkaran tengah, tempat
faktor ekonomi menjadi kepentingan, yang membuat (3) pusat lingkaran sebagai
prioritas terakhir—dari lingkaran terakhir inilah kegiatan seni sebagai
pencapaian cara berbahasa, bersumber pemikiran strategik itu sendiri,
menggenapkan proses sirkulasi kebudayaan, kali ini dalam pengertian luas,
yakni bukan hanya kesenian. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar