Semantik
Mahar Politik
Gufran A Ibrahim ; Bekerja di Badan Bahasa Kemdikbud;
Guru Besar Antropolinguistik
Universitas Khairun, Ternate
|
KOMPAS,
07 Maret
2018
Riuh rendah soal pemaketan
pasangan calon gubernur-wakil gubernur, bupati-wakil bupati, dan wali
kota-wakil wali kota dalam pilkada serentak 2018 telah melahirkan idiom-idiom
penting dalam percakapan politik. Di antara ”ketegangan semantik” praktik
politik penggunaan dua frasa yang sudah begitu dikenal dalam diskursus
politik, yaitu ongkos politik (cost of
politics) dan politik uang (money
politics), dan di tahun politik ini muncul satu idiom baru yang khas
Indonesia: mahar politik!
Siapa sebenarnya yang mula-mula
memperkenalkan idiom mahar politik? Kalau saja benar, idiom ini pertama kali
diperkenalkan media, kita menemukan satu kreasi penting dalam ”permainan”
makna. Pada titik ini media tak sekadar mewartakan segala kesibukan pilkada
serentak, tetapi dengan sengaja telah mendorong apa yang bisa kita sebut
sebagai upaya ”pelembutan semantik” atas frasa ongkos politik dan politik
uang; suatu model eufimisme dengan meminjam vokabuler keagamaan.
Ada beberapa penjelasan penting
berkaitan dengan upaya ”pelembutan semantik” ini. Pertama, dengan meminjam
kosakata Islam, terkait kewajiban syariat mempelai pria memberikan materi
bernilai sakral kepada mempelai wanita dalam ijab kabul, media sesungguhnya
sedang mempromosikan tirakat pemilihan pemimpin yang lebih
transendental-imanen melalui terjemahan pinjam (loan translation) atas
al-mahr. Pada terjemahan pinjam ini, ada dua konsekuensi pemuatan makna
secara bolak-balik, yaitu desakralisasi atas al-mahr dalam fikih pernikahan
(ke) dalam urusan keduniawian dan sakralisasi urusan serah terima uang
”syubhat” dalam politik yang profan-mondial itu menjadi urusan yang ”halal”.
Kedua, media sedang menawarkan
”jalan tengah” untuk mendamaikan ketegangan perdebatan antara apakah uang
(atau fasilitas material lain) yang disepakati calon dan partai pengusung itu
adalah ongkos politik atau politik uang? Dengan menggunakan sebutan mahar
politik sebagai idiom jalan tengah, media sedang mengafirmasi calon kepala
daerah dan partai pengusung agar mempromosikan praktik baik, transparansi,
dan akuntabilitas pengelolaan dana agar tak terjebak praktik kotor politik
uang.
Pada aras ini, jika kita membuat
”garis kontinum” yang merentangkan ekstrem ongkos politik di satu ujung dan
politik uang di ujung lain, tawaran jalan tengah media menggunakan mahar
politik adalah semacam sublimasi atas ongkos politik yang ”syubhat” itu jadi
tindakan pembiayaan politik yang terang benderang dan sekaligus ”perlawanan
kata” atas tabiat politik yang menggunakan uang ”haram” dalam menyukseskan
pemimpin.
Politik uang dan kualitas pemimpin
Ketiga, ini paling menarik,
penggunaan idiom mahar politik untuk menggambarkan segala peristiwa serah
terima uang ”di bawah tangan” yang tampak ke permukaan seperti angin, terasa
tapi tak dilihat, media sesungguhnya sedang menyindir elite politik yang
lihai membungkus kebenaran di balik fitur semantik ongkos politik dan politik
uang.
Keempat, kalau bukan upaya
pelembutan semantik; bukan tawaran jalan tengah atas ketegangan semantik
antara ongkos politik dan politik uang; dan bukan pula sindiran kepada elite
agar mau jujur, penggunaan idiom mahar politik adalah upaya media membuka
”kotak pandora” dan menunjukkannya kepada publik bahwa permainan uang
”syubhat”—bahkan ”haram”—dalam memilih pemimpin itu memang nyata adanya,
senyata al-mahr dalam akad nikah.
Lepas dari empat kemungkinan
penjelasan atas pilihan media dalam mencandra perilaku transaksional dalam
pilkada serentak, tampilan kata dan tindak tutur elite politik ternyata tidak
saja mencerminkan kualitas pemilihan pemimpin. Seperti kata Alessandro
Duranti, profesor antropolinguistik Universitas California, Los Angeles,
language does not simply reflect the world, it also shapes it, fashions it
(bahasa tak hanya memantulkan dunia, tetapi membentuknya, menciptakannya).
Mahar politik yang diperkenalkan media dalam menggambarkan sepak terjang
politik transaksional tidak hanya memantulkan, tetapi juga membentuk dan
menciptakan dunia ke-pilkada-an yang telah terjerembab ke dalam ”industri
memilih pemimpin”. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar