Sang
Penantang Teknologi Kecerdasan Buatan
Indar Sugiarto ; Dosen Teknik Elektro Universitas Kristen Petra; Peneliti
Post-Doctoral di Advanced Processor Technology, The University of Manchester,
Inggris
|
JAWA
POS, 16 Maret 2018
DUNIA berkabung
karena berpulangnya Stephen Hawking. Hal itu tidak hanya dirasakan mayoritas
kalangan di dunia sains fisika, tempat Hawking dikenal kepakarannya, tetapi
juga merambah ke dunia teknologi kecerdasan buatan (artificial
intelligence/AI).
Semua
tak terlepas dari isu kontroversial yang pernah disinggung Hawking bahwa
teknologi AI bisa mengancam eksistensi umat manusia. Menurut dia, kepunahan
manusia bisa jadi bukan disebabkan perang nuklir atau tumbukan meteor/komet,
tetapi oleh teknologi AI yang dikembangkan tanpa kendali.
Hawking
menyebutnya evolusi AI, yaitu ketika AI dikembangkan dengan skala penuh
sehingga menghasilkan kecerdasan yang setingkat atau bahkan melebihi manusia.
Ketika teknologi AI diberi kemampuan untuk mengembangkan dirinya sendiri, akan
terjadi reaksi berantai di mana AI mereproduksi dan memperbaiki dirinya
sendiri dengan tingkat akselerasi tinggi berkat dukungan perangkat komputer
berkecepatan tinggi.
Karena
itu, bersama dengan Elon Musk (pendiri Tesla dan maskapai SpaceX), Hawking
menulis surat terbuka tentang AI. Dalam suratnya, dia menegaskan betapa
pentingnya pengembangan AI yang terkendali. Dia mengutip pendapat dari
direktur riset Microsoft yang menyatakan bahwa teknologi superhuman AI sangat
memungkinkan untuk dikembangkan, tetapi jika tidak dikendalikan akan memicu
terjadinya intelligence explosion.
Kekhawatiran
Hawking, tampaknya, terbukti ketika tahun lalu Facebook mengembangkan robot
chatting pintar dengan kemampuan negosiasi. Dalam percobaannya, awalnya dua
robot saling berkomunikasi dengan bahasa Inggris. Namun, dalam
perkembangannya, proses negosiasi dilakukan dengan menggunakan
kalimat-kalimat yang sulit dipahami manusia. Melihat perilaku itu, yakni
robot menjalin komunikasi di antara mereka sendiri tanpa dimengerti manusia,
Facebook sementara menghentikan riset mereka tentang komunikasi berbasis AI.
Memang,
tidak semua pengembang teknologi AI sepakat dengan Hawking. Apalagi melihat
kondisi nyata teknologi AI saat ini. Tidak bisa dimungkiri, teknologi AI yang
ada sekarang masih terbatas untuk tugas-tugas yang spesifik. Misalnya,
program AI yang mengalahkan pemain catur terbaik di dunia tidak bisa dipakai
untuk navigasi pada mobil otomatis. Namun, pesan Hawking tetap perlu diingat
dan diperhatikan dalam setiap usaha pengembangan teknologi AI.
Karena
itu, salah satu proyek raksasa Uni Eropa yang dikenal dengan nama Human Brain
Project (HBP) juga menjadikan fenomena superioritas AI sebagai salah satu
fokus kajian mereka. Saat ini HBP juga sedang menyiapkan proposal ke komisi
Uni-Eropa tentang aspek-aspek teknis yang harus diperhatikan sebagai dasar
pembuatan hukum/peraturan universal pada masa depan tentang etika robot
ber-AI.
Sebenarnya
ada hal lain yang menarik untuk dicermati, yaitu di sisi Hawking sebagai
individu. Kepakaran Hawking dikenal lewat teorinya tentang radiasi lubang
hitam dan salah satu buku fenomenalnya yang berjudul A Brief History of Time.
Yang menarik, Hawking menghasilkan karya yang luar biasa meski dalam kondisi
menderita amyotrophic lateral sclerosis (ALS) yang mengakibatkan tubuhnya
nyaris lumpuh total.
Dalam
keadaan yang serba terbatas, Hawking berusaha bertahan hidup sambil terus
aktif menghasilkan karya-karya ilmiah. Pada 1963, dia didiagnosis menderita
ALS. Dokter memperkirakan sisa hidupnya tinggal dua tahun. Namun, ternyata
Hawking tetap hidup hingga 55 tahun dan baru meninggal pada usia 79 tahun.
Selain karena penyakitnya, kehidupan pribadi Hawking tidak menyenangkan
karena pernikahannya yang tidak berjalan harmonis.
Secara
manusia biasa, pergumulan hidup yang dialami Hawking sungguh luar biasa.
Namun, semangatnya yang tidak mudah menyerah bisa menjadi teladan yang sangat
baik. Hawking juga aktif menyuarakan perjuangan kepentingan para ilmuwan, terutama
yang berhubungan dengan kebijakan pemerintah Inggris dalam mengatur sistem
pendidikan serta penelitian di Inggris Raya. Karena itu, Hawking menolak
gelar kebangsawanan (knighthood) yang ditawarkan Kerajaan Inggris sebagai
bentuk protes atas kebijakan pemerintah Inggris yang membatasi anggaran
penelitian.
Kehidupan
Hawking sangat menginspirasi. Mungkin kita tidak dihadapkan pada keterbatasan
fisik serta penyakit seperti yang diderita Hawking. Namun, atmosfer dunia
pendidikan dan penelitian di tanah air telah memberikan tantangan yang tidak
mudah bagi para akademisi. Berbagai keruwetan administrasi dalam dunia
penelitian di tanah air merupakan salah satu bentuk tantangan yang akan
berubah menjadi rintangan jika tidak dikelola secara profesional. Dari Hawking,
penulis belajar bahwa kesempatan berkarya yang profesional itu akan tetap ada
di tengah hambatan dan impitan birokrasi.
Akhir
kata, si genius itu telah pergi. Namun, warisan isu kontroversial tentang
human-level AI serta teladan semangat untuk tidak mudah menyerah akan tetap
dikenang. Tidak hanya oleh para ilmuwan, tetapi juga oleh umat awam yang
peduli akan nilai-nilai kemanusiaan universal. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar