Rabu, 14 Maret 2018

Revitalisasi Agama, Pancasila, dan NKRI

Revitalisasi Agama, Pancasila, dan NKRI
Choirul Mahfud  ;   Dosen Studi Islam Institut Teknologi Sepuluh Nopember
(ITS) Surabaya
                                                      JAWA POS, 06 Maret 2018



                                                           
POKOK bahasan negara kesatuan Republik Indonesia (NKRI) kembali menjadi kajian serius di tengah hiruk pikuk masalah intoleransi dan patologi sosial, agama, ekonomi, serta politik lokal dan nasional. Belum lama ini, pemuka agama di seluruh Indonesia berkumpul dalam forum musyawarah besar yang membahas problematika kebangsaan, NKRI, Pancasila, dan kebinekaan.

Inisiasi forum dialog antar pemuka agama semacam itu memang masih relevan dan penting dilakukan. Terutama sebagai ikhtiar pencegahan dini dari masalah konflik dan disintegrasi bangsa. Apalagi, menjelang Pilkada 2018 dan Pilpres 2019, dimungkinkan adanya segregasi, lemahnya kohesi sosial, menguatnya sentimen dan perbedaan ideologi politik, serta kekhawatiran terjadinya ancaman persatuan dan kesatuan di antara seluruh elemen masyarakat dalam NKRI.

Dalam konteks ini, revitalisasi agama dan Pancasila untuk NKRI merupakan momen yang tepat untuk direnungkan semua pihak. Praktisnya, kontribusi dan peran utama pemuka agama dan negara, media massa, serta masyarakat sipil perlu terus dioptimalkan demi keutuhan, kerukunan, keharmonisan, dan kepentingan nasional menuju kemajuan bangsa.

Karena itu, kini disadari pemerintah bahwa bangsa ini mem- butuhkan energi besar dari semua elemen bangsa dan pemangku kepentingan kekuasaan dalam merawat NKRI. Tidak saja dibutuhkan kekompakan dari kaum alit dan elite agama, tetapi juga tokoh politik, budaya, sosial, ekonomibisnis, dan lainnya. Energi besar itu bisa berupa gagasan pikiran, pengalaman, dan berbagai alternatif upaya penanganan masalah berbasis solusi untuk menjaga kerukunan dan merawat keutuhan bangsa dari segala macam tantangan, ancaman, serta problematika kehidupan berbangsa.

Belakangan ini, keresahan dan kegelisahan publik perlu dan penting direspons. Kegelisahan itu terutama disebabkan adanya berbagai peristiwa kekerasan, penganiayaan, penyerangan, persekusi, hingga pembunuhan kepada tokoh serta pemuka agama di berbagai daerah di Indonesia. Korbannya, antara lain, guru, ustad, ulama, pastor, serta tokoh agama Islam, Buddha, Hindu, Kristen, dan lainnya di sejumlah daerah di Bandung, Jawa Barat, dan Jogja. Ditengarai, pelakunya adalah orang gila atau kurang normal yang memiliki niat jahat. Bahkan, ada yang identitas dan motivasi pelakunya belum diketahui secara jelas dan pasti.

Fakta dan berita tersebut tidak hanya meresahkan publik, tetapi juga menjadi pekerjaan rumah bagi seluruh elemen masyarakat, aparat pemerintah, dan tokoh agama untuk selalu waspada. Juga, harus dipikirkan solusi pencegahannya agar tidak menjalar dan berlarut-larut hingga mengancam ketenteraman kehidupan masyarakat di negeri ini.

Gerakan 411, 212, dan 112 yang dikenal dengan aksi bela Islam pada akhir 2017 masih menyisakan tanda tanya sejumlah pihak hingga saat ini. Di sisi lain, muncul gerakan klaim paling Pancasialis yang menimbulkan pro-kontra di sebagian masyarakat lainnya. Dalam konteks ini, sudah seharusnya semua pihak untuk terus saling introspeksi dan evaluasi diri. Lebih baik bila bertemu, duduk bersama, berdialog, dan bermusyawarah secara baik-baik demi persatuan dan kesatuan NKRI.

Disadari bahwa Indonesia bukanlah negara agama. Namun, agama memiliki sumbangan besar dalam menyokong perjalanan kehidupan bangsa berlandasan Pancasila. Karena itu, sila pertama Pancasila meneguhkan kalimat ’’Ketuhanan Yang Maha Esa’’. Demikian pula sila kedua, ketiga, keempat, dan kelima dalam Pancasila yang senapas dengan nilai, eksistensi, serta kontribusi agama dalam bernegara.

Sebagaimana diungkapkan Din Syamsuddin selaku utusan khusus Presiden Jokowi dalam urusan perdamaian, hubungan Pancasila dan agama tidak perlu dipersoalkan, tetapi perlu direaktualisasikan. Pancasila merupakan warisan sejarah bangsa Indonesia untuk kerukunan bangsa dan perdamaian dunia.

Dalam konteks ini, bisa dipahami bahwa Pancasila memiliki dimensi internal dan eksternal. Secara internal, Pancasila menjadi alat pemersatu keragaman suku, bahasa, budaya, dan agama di Indonesia. Dengan Pancasila, ada titik temu sekaligus jalan tengah untuk menjawab masalah perbedaan di tengah masyarakat multikultural.

Secara eksternal, Pancasila sesungguhnya juga memiliki sumbangan bagi peradaban dan perdamaian dunia yang berlandasan ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan berbasis permusyawaratan, dan keadilan bagi seluruh masyarakat dunia. Masalahnya, bagaimana semua pihak bisa terus melakukan revitalisasi Pancasila dalam kehidupan global dan lokal? Tentu diperlukan proses yang berkelanjutan dan berkemajuan yang melibatkan seluruh elemen bangsa.

Rasanya, intensitas dialog berbasis solusi untuk kerukunan antarelemen masyarakat menjadi kata kunci untuk meredam berbagai kemungkinan yang tidak diinginkan. Lebih dari itu, dialog bersama pemuka agama dan pemerintah menjadi media komunikasi, koordinasi, serta update informasi terkini problem internal dan eksternal antarorganisasi komunitas keagamaan dan kebangsaan di negeri ini.

Melalui dialog dan forum musyawarah, diharapkan ada jalan keluar serta solusi jangka pendek, menengah, dan panjang dalam menata kembali kehidupan berbangsa dan bernegara berlandasan pilar kebangsaan Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, UUD 1945, dan NKRI.

Dalam konteks ini, merevitalisasi agama dan ideologi Pancasila sebagai solusi jalan tengah sepanjang masa perlu terus diupayakan. Pasalnya, Pancasila tetap memerlukan upaya sosialisasi dan revitalisasi terus-menerus agar dipahami dan diamalkan seluruh elemen masyarakat sesuai dengan maksud dan tujuan bernegara berdasar amanat konstitusi serta sejarah berdirinya bangsa Indonesia. Semoga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar