Residu
Kemenangan Putin untuk Kita
Yuddy Chrisnandi ; Duta Besar LBBP RI untuk Ukraina, Armenia, dan Georgia
|
KOMPAS,
24 Maret
2018
Hasil pemilu presiden di
Rusia tidak mengejutkan. Jauh-jauh hari, beberapa pengamat politik
internasional mengamini bahwa Vladimir Putin akan memenangi Pilpres Rusia
2018.
Seperti saya kutip dari
tulisan Adam Taylor, bulan lalu, salah satu pengamat politik Eropa Timur yang
juga seorang kontributor Washington Post itu menyampaikan bahwa Putin kembali
akan memenangi pilpres. Menurut Taylor, tingkat popularitas Putin terus naik
sejak 1999 hingga 2017 mencapai 81 persen. Putin sudah dianggap menang bahkan
sebelum pilpres diadakan.
Saya menaruh perhatian
terhadap situasi demokrasi dan bernegara di Rusia. Seperti kita ketahui,
Putin memenangi pilpres dengan perolehan suara 76 persen, sedangkan pesaing
terberatnya, Pavel Grudinin, hanya mengumpulkan 11 persen. Empat penantang
lainnya, masing-masing tak lebih dari 1 persen. Angka yang sangat meyakinkan
untuk menyebut kemenangan yang telak.
Tingkat partisipasi
pemilih rakyat Rusia menunjukkan peningkatan cukup signifikan daripada pemilu
legislatif tahun 2016 sebesar 47,81 persen menjadi 67 persen pada pilpres
kali ini. Saya berpandangan bahwa antusiasme pemilih pada pilpres di Rusia
menunjukkan tingkat kepercayaan rakyat kepada Putin.
Bagaimana ini bisa
terjadi? Sebagaimana kita ketahui, Putin sering menjadi bulan-bulanan
komunitas internasional disebabkan oleh pelbagai kebijakannya.
Harga
diri Rusia
Diskusi kebijakan publik
sering menggunakan frasa ”pemimpin otentik” untuk menyebut pemimpin yang
ideal. Saya sendiri menggunakan term itu untuk menyebut pemimpin yang
memiliki karakter yang kuat. Kuatnya sebuah karakter terbentuk oleh tempaan
pengalaman dan orisinalitas berpikir.
Pemimpin yang
berpengalaman akan mengeluarkan keputusan-keputusan yang bijak. Pemimpin yang
bijak membaca masa lalu untuk mengamankan masa depan. Mereka tak reaktif
terhadap satu peristiwa, tetapi akan memberikan solusi paling tepat dan
efisien. Orisinalitas berpikir akan menciptakan kebijakan yang baru, solutif,
dan mampu mengakomodasi berbagai kepentingan.
Muaranya pada kepuasan
komunal yang dipimpin. Di alam demokrasi, kepuasan itu dapat dibuktikan
dengan dipilihnya kembali seorang pemimpin pada periode berikutnya.
Saya menduga, Putin
memiliki karakter pemimpin yang otentik. Secara kuantitatif dibuktikan dengan
kepercayaan 56 juta rakyat Rusia yang memilih dia kembali sebagai presiden
tahun 2018. Secara pengalaman, Putin bukan seorang migrator politik, ia
konsisten berada di ranah pemerintahan. Ia memiliki pengalaman panjang
sebagai bagian dari Pemerintah Rusia. Sejak 1975, ia sudah jadi anggota elite
intelijen yang dulu disebut KGB. Tahun 1998, ia dipercaya memimpin organisasi
itu. Lalu, pada 1999, ia menjadi perdana menteri (PM), setahun kemudian masuk
Kremlin sebagai presiden terpilih Rusia.
Ia sempat jadi PM kembali
pada 2008 akibat batasan konstitusi untuk masa jabatan presiden. Berkat
kelihaiannya, setelah konstitusi Rusia tentang masa jabatan presiden berubah,
ia kembali lagi jadi Presiden Rusia pada 2012. Berdasarkan catatan saya, pada
era milenial, Putin adalah presiden satu-satunya di dunia yang menjabat paling
lama, empat kali masa jabatan. Uniknya, jabatan itu terus bertahan melalui
jalan demokrasi.
Episode pemerintahan Putin
bukan tanpa plot-plot masalah. Boleh dikatakan rezim Putin sebagai perjalanan
pemerintahan yang penuh risiko. Beberapa kali Rusia menjadi bahan bullying
negara lain, utamanya negara-negara Barat. Sanksi ekonomi, embargo untuk
berbagai sektor, dan komentar pedas pemimpin-pemimpin dunia sepertinya adalah
hidangan sehari-hari di atas meja makan pemerintahan Putin. Bagi saya, yang
mengesankan, setiap tantangan yang dihadapi oleh Pemerintah Rusia justru
semakin menambah kepercayaan diri Putin menghunuskan kebijakannya semakin
dalam. Ia mampu menghimpun simpul-simpul kekuatan internal untuk menunjukkan
kepada dunia bahwa kepentingan Rusia di atas segalanya.
Tak ada pemimpin yang kuat
tanpa dukungan rakyat yang kuat. Seni Putin dalam memimpin menghipnotis
rakyat untuk membangkitkan rasa nasionalismenya.
Putin mengembalikan
kenangan masa lampau rakyat Rusia akan kejayaan kekaisaran Tsar. Rakyat melihat
sosok presiden mereka sebagai gambaran jati diri mereka sendiri. Karena itu,
Putin, dengan segala artikulasi kebijakan yang sering membuat pertarungan
terbuka dengan negara lain, justru mendapat dukungan dari rakyatnya. Putin
bersama rakyatnya ingin menunjukkan kebangkitan Rusia sebagai polar kekuatan
dunia.
Makna
kemenangan Putin
Kemenangan Putin memiliki
makna geopolitik kawasan Eropa Timur. Khususnya di Ukraina, tempat saya
bertugas, hasil Pilpres Rusia tidak akan mengubah banyak keadaan. Seperti
hubungan ekonomi, relasi keduanya saya gambarkan seperti melihat topi sulap
ajaib. Dilihat dari luar sepertinya kosong, tetapi jika tangan kita masukkan
ke dalam, ada seekor kelinci putih di sana.
Ilustrasi itu
menggambarkan hubungan dagang kedua negara yang dulu satu union ini. Ada
relasi perdagangan yang masih terus terjadi, tapi untuk mengetahuinya kita
perlu masuk ke dalam. Contohnya komoditas gas. Rusia sebagai penghasil gas
terbesar di kawasan tidak menjual secara langsung kepada Ukraina. Begitupun dengan
Ukraina yang membutuhkan pasokan gas untuk industri dan rumah tangga, mereka
tidak membeli langsung dari Rusia. Bagaimana caranya? Rusia akan menjual gas
ke Polandia, lalu Polandia akan menjual kembali gas itu ke Ukraina.
Konsekuensinya, harga gas yang harus dibayar Ukraina menjadi lebih mahal.
Ukraina saat ini dipimpin
Presiden Petro Poroshenko yang dikenal pro-Barat. Gestur politik itu bukan
tanpa manfaat. Poroshenko gencar mendekati Barat, dalam hal ini Uni Eropa
(UE), untuk mendapatkan sokongan. Usaha itu ada hasilnya, seperti jaminan UE
yang akan terus memasok kebutuhan gas ke Ukraina. Belum lagi manfaat lain
yang diterima Ukraina dari negara Barat, seperti kucuran utang dari IMF, yang
digunakan untuk pembangunan infrastruktur di seluruh wilayah Ukraina.
Juga dalam urusan politik,
Ukraina mendapatkan dukungan dari Amerika Serikat, Inggris, dan UE,
ketiganya mengecam tindakan Rusia di
Crimea. Kecaman itu bahkan berlanjut menjadi embargo ekonomi dan militer.
Menurut saya, gejolak
wilayah perbatasan di Crimea, Donetsk, ataupun Luhanks masih akan terus
berlangsung. Rezim Poroshenko belum akan melumer untuk mengikhlaskan ketiga
wilayah yang diduga kaya sumber daya itu. Sementara Putin, kaisar Tsar era
milenial ini, masih kencang memegang prinsip untuk kedaulatan wilayah.
Konflik di wilayah yang secara de jure milik Ukraina ini belum akan rampung
dalam satu dekade ke depan.
Sementara untuk kita,
Indonesia, saya melihat demokratisasi Rusia yang semakin progresif adalah
contoh yang baik. Secara empirik data yang saya baca dari beberapa laporan
menyebutkan bahwa saat pilpres berlangsung, Rusia mengundang banyak LSM,
organisasi pengawas pemilu internasional, perwakilan komisi pemilu dari
negara-negara demokrasi, termasuk perwakilan KPU dan Bawaslu RI, untuk
mengawasi pelaksanaan pilpres mereka. Beberapa laporan dari lembaga itu
menyebutkan pelaksanaan demokrasi di Rusia berlangsung aman dan terbuka.
Keberhasilan pilpres kali
ini tentu tak lepas dari campur tangan Putin. Komitmen pemerintahan Putin
untuk melakukan pilpres yang terbuka, jujur, patut diapresiasi. Walau banyak
negara Barat yang menyangsikan kedemokratisan Rusia, saya berpandangan,
secara substansial mereka sudah melakukan pemilu terbuka dan adil. Kemenangan
Putin dapat disiarkan sebagai kemenangan demokrasi ala Rusia.
Berbagai sumber mengatakan
terjadi power shifting di kawasan Eropa, dari yang UE centered jadi Rusia
centered. Sementara itu, kegagahan AS sebagai pemimpin global akan kian
meredup di tengah percepatan munculnya kekuatan baru di Asia dan Eropa Timur.
Rusia adalah negara kunci. Kepemimpinan Putin untuk enam tahun ke depan,
menurut prediksi saya, akan mampu membawa Rusia naik tingkat.
Jika itu benar terjadi,
tak salah jika Indonesia mulai menyiapkan strategi untuk mengadaptasi perubahan
geopolitik global. Kiblat kita tidak harus terus ke Barat. Elite kita
sebaiknya sudah mulai berpikir, atau lebih jauh mengambil aksi, untuk
mengubah kompas keberpihakan relasi internasional. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar