Readvokasi
Pendidikan Karakter
Fuad Fachruddin ; Divisi Penjaminan Mutu Pendidikan Yayasan Sukma
|
MEDIA
INDONESIA, 26 Maret 2018
SETIDAKNYA dalam dua
dekade ini, pendidikan karakter diadvokasi kembali oleh pemangku negara.
Misalnya, pada masa kabinet Presiden SBY jilid II, secara terbuka dinyatakan
bahwa pendidikan karakter ialah salah satu target program kerja mereka. Di
masa Presiden Joko Widodo diluncurkan ide 'revolusi mental' yang juga kental
dengan nuansa pendidikan karakter. Harapannya, pendidikan karakter menjadi
gerakan menumbuhkan kesadaran pada setiap individu, kelompok, pejabat, dan
masyarakat untuk mengoreksi atau memperbaiki perilaku, sikap, dan kepribadian
dalam bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara agar Indonesia menjadi bangsa
yang unggul.
Namun, kasus-kasus yang
menodai karakter bangsa, seperti maraknya kasus korupsi dan segala bentuk
turunannya, perusakan lingkungan dan lainnya, menunjukkan betapa 'kanker sosial'
tengah menyerang masyarakat kita. Kejujuran, tanggung jawab, amanah,
ketulusan, keberanian untuk menegakkan yang haq, semangat berdedikasi, dan
rasa syukur sebagai modal sosial bangsa dalam kehidupan nyaris luluh lantak.
Karena itu, dalam merespons
readvokasi pendidikan karakter, kita perlu merefleksi agar praksis pendidikan
karakter tidak menyimpang dari roh dan tujuan sejatinya. Beberapa pertanyaan
reflektif, misalnya 'mengapa pendidikan karakter diadvokasi kembali',
'bagaimana pendidikan karakter dimanifestasikan di kelas dan sekolah dalam
berbagai jenjang pendidikan', dan 'apa yang harus dilakukan agar pendidikan
karakter tidak dipolitisasi untuk kepentingan status quo'.
Pentingnya
pendidikan karakter
Pertama, tujuan pendidikan
nasional sebagaimana tertuang dalam UU Sisdiknas No 20 Tahun 2003 sarat
dengan hal-hal yang berkaitan dengan pendidikan karakter. Hanya, apakah
rumusan itu telah betul-betul menjadi panduan bagi seluruh pemangku
kepentingan pendidikan dalam melakukan fungsi dan tugas mereka?
Kedua, karakter positif
dapat memberikan pengaruh positif terhadap pencapaian (prestasi) akademik
peserta didik. Kalau setiap murid merasa bahwa belajar merupakan tanggung
jawab, dengan sendirinya mereka akan termotivasi kuat untuk belajar dengan
baik. Pendidikan nilai termasuk karakter bahkan dapat memperbaiki kualitas
pembelajaran karena karakter baik akan mendorong seseorang berbuat yang
berbaik (Loyat, 2009).
Ketiga, kita sering
menemukan kontradiksi apa yang dibicarakan orang tentang nilai, kebaikan,
atau sikap baik (idealita) dengan realitas kehidupan. Orang banyak
membicarakan dan menampilkan atau mencitrakan diri baik (talking about good
and looking good), tapi praktiknya belum tentu sejalan dengan ucapan (doing
good).
Keempat, kita dihadapkan
pada tantangan dan tuntutan kehidupan abad ke-21. Lembaga pendidikan termasuk
guru dihadapkan pada tantangan berupa kemampuan untuk memberikan bekal
pengetahuan, keterampilan, dan nilai atau sikap yang menjadikan peserta didik
kita mampu menghadapi kehidupan dan pergaulan global (Gaudelli, 2003).
Kelima, masyarakat
Indonesia ialah masyarakat agamais yang menyakini nilai-nilai atau ajaran
agama adalah landasan penting bagi kehidupan berbangsa dan negara (sila
pertama Pancasila). Ajaran agama Islam, misalnya, disebutkan dalam sabda
Rasulullah SAW bahwa 'akhlak adalah fondasi suatu bangsa. Apabila akhlak
suatu bangsa baik, bangsa akan tegak. Namun, apabila akhlak suatu bangsa
rusak, kehidupan bangsa akan hancur'.
Menanamkan
karakter
Karakater berasal dari
kata Yunani, kharaseein, yang berarti membuat guratan atau grafir, tanda yang
memberi kesan, stempel atau ciri untuk membedakan sesuatu yang berharga.
Karakter merupakan kualitas mental dan moral, kualitas diri, landasan
berpikir yang membuat seseorang berbeda dengan lainnya (Kupperman, 1991).
Pendidikan karakter ialah upaya mengembangkan sikap ihsan--kebiasaan dan
karakter baik yang membawa murid menjadi dewasa, bertanggung jawab dan matang
secara sistematik. Praktik pendidikan karakater dapat mendorong kreativitas
dalam merancang program atau kegiatan pembelajaran.
Melalui pembelajaran ilmu
sosial, misalnya sosiologi/antropologi, peserta didik mendapatkan kesempatan
mengenal keragaman budaya dan etnik dalam suatu masyarakat. Melalui pelajaran
olahraga, peserta didik diberi kesempatan untuk mempertimbangkan atau
memperhatikan fairness, keadilan, dan tanggung jawab moral dalam situasi
kompetitif.
Beberapa kegiatan lain
yang dapat dimanfaatkan untuk menanamkan karakter, seperti gathering, memberi
kesempatan atau mendorong peserta didik untuk kongsi pengalaman dan pandangan
melalui diskusi. Latihan memecahkan masalah mendorong pengembangan cara
berpikir objektif dan kemampuan berpikir kritis. Service learning, seperti
tinggal di masyarakat (kuliah kerja nyata), memungkinkan peserta didik
melatih empati dengan merasakan kehidupan yang dialami orang. Peserta didik
juga dapat memahami dan mengkaji kebutuhan masyarakat, membuat program aksi,
menelaah dan merefleksikan pengalaman mereka.
Kegiatan drama mengandung
pengertian dilema moral, nilai, dan kepercayaan. Melalui drama, siswa
memperoleh kesempatan untuk mengidentifikasi identitas, kepercayaan, dan
nilai serta memahami perbedaannya, menguji bukti, opini, dan membuat
kesimpulan, mendiskusikan perbedaan dan menyelesaikan konflik, mendiskusikan
dan mempertimbangkan penyelesaian terhadap dilema moral persoalan personal
dan sosial, juga apresiasi perbedaan yang ada dalam kehidupan (Halstead;
Taylor, 2005).
Sayangnya, acap kali para
guru gagal dan terperosok dalam jebakan administratif. Guru hanya meletakan
karakter dalam kolom rencana pembelajaran ketimbang membuat skenario yang pas
dan mengintegrasikan nilai atau karakter dalam pembelajaran. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar