Politik
Benteng
Mutiara Andalas ; Dosen Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta
|
KOMPAS,
20 Maret
2018
Tanah secara tradisional bersifat
formatif terhadap identitas sebuah masyarakat. Ia fondasi untuk membangun
peradaban. Oleh karena itu, pembatasan, apalagi larangan kepemilikan atas
tanah, merumitkan formasi identitasnya.
Beberapa gugatan warga dan
kelompok warga terhadap kebijakan Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta dalam
manajemen pertanahan mendorong diskusi tentang ”politik benteng” sebagai
warisan kolonial yang menstigmakan liyan dari etnis minoritas.
Beberapa waktu terakhir, hakim
Pengadilan Negeri Yogyakarta menolak gugatan terhadap Instruksi Wakil Kepala
Daerah DIY No K.898/I/A/1975 tanggal 5 Maret 1975.
Konten instruksi menyeragamkan
kebijakan tentang pemberian hak atas tanah kepada warga negara Indonesia
nonpribumi. Kebijakan itu telah sesuai dengan asas pemerintahan yang baik,
yaitu melindungi perekonomian warga pribumi dari kekuatan modal besar.
Cukong bermodal besar, bukan per
se warga keturunan Tionghoa, menjadi kelompok sasaran utama kebijakan
pembatasan kepemilikan atas tanah. Menyadari keterbatasan wilayah,
pengendalian atas kepemilikan tanah
perlu untuk menjaga marwah DIY. Persoalannya, stigma terhadap warga keturunan
Tionghoa sebagai cukong melekat sejak era kolonial. Kebijakan rezim-rezim
pascakolonial atas kepemilikan tanah mengidap warisan kolonial ini.
Warisan
kolonial
Rezim kolonial menciptakan stratifikasi
sosial terhadap kelompok Eropa, Timur jauh, dan pribumi secara hierarkis.
Menempatkan eksistensi kelompok- kelompok sosial di bawahnya sebagai ancaman,
ia melemahkan formasi gerakan perlawanan bersama terhadapnya. Ia menyekat
Timur jauh dan pribumi dari potensi menjalin hubungan satu sama lain. Ia
menyulut konflik horizontal antar-mereka.
Rezim kolonial mereduksi etnis
Tionghoa ke dalam identitas yang terstigmakan. Menyamarkan identitas diri
sesungguhnya sebagai rezim penjajah, ia mendiskreditkan etnis Tionghoa dengan
melekatkan libido ekonomis padanya. Identitas rakitan ini merenggangkan,
lebih lanjut menyekat, hubungan terutama dengan warga pribumi. Hubungan
bersekat ini terasa ketika keduanya beraktivitas dalam ruang bersama ekonomi.
Posisi warga Tionghoa terjepit
dalam konstruksi masyarakat yang diskriminatif. Alih-alih mendapatkan
privilese sebagai warga kelas dua, pemosisian itu merentankan kehidupannya.
Rezim kolonial mencitrakan diri
sebagai pelindung warga pribumi dari ancaman warga Tionghoa. Padahal, rezim
kolonial sesungguhnya justru menyeret warga Tionghoa ke dalam konflik
horizontal dengan warga pribumi dengan cara mengambinghitamkannya.
Identitas
terstigmakan
Rezim-rezim poskolonial mewarisi
diskriminasi yang tertanam dalam arsitektur sosial bentukan rezim kolonial.
Politik stratifikasi sosial pada era kolonial berganti rupa menjadi ”politik
benteng” pada era poskolonial. Pemerintah mengekalkan logika kolonial yang
mereduksi konflik sosial sebagai dominasi, kemudian eksploitasi, minoritas
Tionghoa sebagai cukong ekonomi terhadap mayoritas pribumi.
Pada 1950-an, Pemerintah Indonesia
menerapkan ”politik benteng”. Pengusaha pribumi menghendaki pembatasan,
bahkan penghilangan pengaruh Tionghoa dalam ekonomi.
Pemerintah menciptakan kebijakan
ekonomi yang tujuannya melindungi golongan ekonomi lemah dengan memberikan
lisensi perdagangan. Sebaliknya, ia melarang pemberian kredit dan izin
perdagangan dalam bidang-bidang tertentu kepada pengusaha Tionghoa.
Peraturan Pemerintah Nomor 10
Tahun 1959 melarang orang asing untuk bergerak dalam perdagangan eceran di
tingkat kabupaten ke bawah. Mereka
wajib mengalihkan perdagangan kepada warga negara Indonesia.
Larangan ini berdampak hingga 90
persen terhadap pengusaha kecil Tionghoa. Penerapan larangan berdagang dengan
dukungan kekuatan militer ini membawa ekses terusan pengusiran pengusaha
Tionghoa dari lokasi tinggal.
Instruksi Wakil Kepala Daerah DIY
No K.898/I/A/1975 tanggal 5 Maret 1975 mengidap ideologi ”politik benteng.”
Provokator politik menyejajarkan Aseng, sebutan stigmatif terhadap warga
Indonesia etnis Tionghoa, dan asing sebagai pelaku yang bertanggung jawab
terhadap kemiskinan warga pribumi. ”Politik benteng” menstigmakan identitas
sekaligus aktivitas warga Indonesia etnis Tionghoa.
Pemaknaan
tunggal
Pemerintah poskolonial memaksakan
pemaknaan tunggal atas kepemilikan tanah sebagai jalan menguasai ekonomi.
Kebijakan seragam atas kepemilikan tanah bagi warga asing yang ia pandang sebagai afirmatif terhadap wong
pribumi diskriminatif terhadap liyan etnis Tionghoa. Pemerintah perlu
melakukan dekonstruksi atas ideologi ”politik benteng” dengan melucuti stigma
sosial yang dilekatkan pada identitas dan aktivitas warga Tionghoa.
Erving Goffman dalam Stigma: Notes
on the Management of Spoiled Identity (1963)mengkaji cara penstigma merakit
ideologi untuk membenarkan pendiskreditan. Pembeberan kerusakan tubuh, cacat
karakter, dan keanggotaan pada kelompok sosial tertentu termasuk
pendiskreditan kategori berat. Penstigma menguatkan ideologi dengan norma
yang secara efektif membatasi kehidupan penyandang stigma.
Penyandang stigma dapat menguatkan
satu sama lain ketika membentuk lingkaran ratapan antarmereka (circle of
lament). Selain perlawanan mandiri terhadap penstigma, penyandang stigma
terbuka terhadap keterlibatan the sympathetic others yang peduli terhadap
perjuangan mereka. Liyan peduli ini dapat membantu memberdayakan penyandang
stigma dalam siasat berhadapan dengan penstigma.
Kawula
alit
Pembatinan sebagian warga Tionghoa
terhadap ketiadaan hak atas kepemilikan tanah sebagai takdir kehidupan lebih
merupakan ratapan daripada kepasrahan. Ketika mereka belum bersuara, bahkan
sebagian memilih nirkata tentangnya, jauh dari berarti mereka menerima diri
sebagai obyek diskriminasi. Sebagian kawula alit memilih untuk tanpa lelah
menyuarakan perlawanan meskipun aparat hukum kemungkinan menolak gugatan.
Gugatan warga dan kelompok warga
Indonesia etnis Tionghoa di Yogyakarta terhadap Pemda DIY terkait
keterbatasan akses kepemilikan tanah perlu kita letakkan dalam bingkai
membangun Indonesia sebagai rumah bersama. Sultan perlu menjadi the emphatic
other terhadap liyan minoritas etnis yang
menggugat wajah baru ”politik benteng”. Sekarang adalah momentum
mendekonstruksi warisan kolonial yang menyekat hubungan antar-anak bangsa. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar