Piknik
dan Keberagaman
Marthunis ; Direktur Sekolah Sukma Bangsa Pidie, Aceh
|
MEDIA
INDONESIA, 19 Maret 2018
DALAM Kamus Besar Bahasa
Indonesia (KBBI), kata piknik bermakna bepergian ke suatu tempat di luar kota
untuk bersenang-senang dengan membawa bekal makanan dsb. Namun, terminologi
piknik hari ini telah bergeser maknanya menjadi lebih luas. Piknik bukan saja
dimaknai sebagai tamasya mengisi hari libur maupun akhir pekan ke
destinasi-destinasi wisata sebagaimana makna dalam KBBI.
Itu juga dimaknai sebagai
upaya sekaligus kemauan mengenal hal-hal baru. Karena itu, kurang piknik
menjadi frasa sarkastis yang cukup sering kita dengar untuk menengarai
orang-orang dengan gelagat berpikir jumud, ultrakonservatif, dan sulit
menerima sesuatu yang baru. Lantas, mengapa menghindari 'kurang piknik'
menjadi penting?
Makna
piknik
Dewasa ini,
praktik-praktik relasi dalam masyarakat kita yang terlalu mudah menghakimi
tanpa melakukan tabayyun setidaknya mengindikasikan dua faktor. Pertama,
kurangnya piknik intelektualitas yang seiring rendahnya tingkat literasi
masyarakat kita.
Berdasarkan penelitian
yang diadakan Jhon W Miller, Presiden Central Connecticut State University,
New Britain, dalam The World's Most Literate Nations (WMLN) pada 2016
terhadap 61 negara di dunia, disebutkan bahwa tingkat literasi masyarakat
Indonesia berada pada urutan ke-60.
Fakta ini menunjukkan
bahwa fenomena kegemaran melakukan penghakiman tanpa pemahaman jernih atas
masalah di tengah masyarakat kita terkait erat rendahnya tingkat literasi
masyarakat. Keengganan sebagian besar masyarakat kita untuk membaca dan
menelaah dengan saksama informasi yang mereka dapatkan menghasilkan
kekisruhan di banyak tempat dan berpotensi mengancam keutuhan bangsa ini.
Kedua, kurangnya piknik
dalam makna sebenarnya. Hal ini senada dengan ungkapan Ibnu Batuthah
(1304-1369)--salah satu penjelajah terbesar dalam sejarah Islam--yang
menyatakan, "Who lives sees, but who travels sees more." Mereka
yang berani menjelajah akan lebih banyak melihat dan belajar. Tidak hanya
berdiam diri di suatu tempat dan menjelajah ke banyak tempat di belahan dunia
ini harus dipandang sebagai sebuah kebutuhan bagi setiap individu agar dapat
memahami dunia ini dari banyak sudut pandang sehingga seseorang tidak akan
pernah merasa bahwa kebenaran hanyalah berasal dari apa yang ia lihat di
sekitarnya semata.
Dilansir Travel Story,
terdapat 5 negara di dunia yang penduduknya paling sering melancong alias piknik,
AS, Jepang, Austria, Selandia Baru, dan Kanada. Di balik gemarnya piknik para
masyarakat di negara-negara itu, terdapat fakta menarik lainnya bahwa
negara-negara seperti Kanada, AS, Jepang, dan Australia merupakan
negara-negara yang dianggap paling open-minded di dunia (Insidermonkey.com,
22/07/2015).
Jika merujuk pada kedua
fakta di atas, terdapat korelasi yang menarik. Negara dengan warga yang gemar
piknik telah menjadikan komunitas masyarakat di negara-negara itu menjadi
cukup terbuka. Keterbukaan ini ditunjukkan oleh sikap masyarakatnya yang
toleran dan tidak mudah terprovokasi oleh isu-isu perbedaan.
Nah, bagaimana dengan
kuantitas piknik masyarakat Indonesia? Diperkirakan bahwa jumlah penduduk
Indonesia yang melancong ke luar negeri jumlahnya berkisar 10 juta jiwa
setiap tahunnya. Menurut laporan Mastercard bertajuk Future of Outbound
Travel in Asia Pasifik 2016 to 2021, jumlah wisatawan Indonesia yang piknik
ke luar negeri diperkirakan akan mencapai 10,6 juta orang.
Secara kuantitas, jumlah
itu tampak cukup banyak. Namun, jika dibandingkan dengan total populasi
penduduk negeri ini yang ditaksir lebih dari 262 juta jiwa, jumlah itu masih
kurang dari 5% total penduduk Indonesia. Hal ini dapat diartikan bahwa masih
sedikit sekali orang Indonesia yang memiliki kesempatan untuk menjelajah dan
memupuk pengalaman melihat tempat selain lingkungan mereka.
Pengalaman dan
penjelajahan yang minimal ini menghasilkan gambaran yang terlalu kecil
tentang apa yang 'berbeda' dalam benak mereka sehingga kesulitan untuk
memahami berbagai isu perbedaan semakin terasa besar bagi mereka yang tidak
memiliki banyak pengalaman akan 'yang berbeda' dari mereka. Tentu saja masih
banyak faktor yang memengaruhi kemampuan seseorang untuk memahami perbedaan.
Namun, kesempatan menjelajah dan mendapatkan pengalaman baru akan mengundang
lebih banyak informasi yang dapat ditimbang menyikapi isu perbedaan.
Piknik
dalam pendidikan
Dalam ruang pendidikan,
'piknik' dapat diterjemahkan dalam berbagai bentuk kegiatan di sekolah,
seperti pertukaran guru, pertukaran pelajar, study tour atau menjalin kerja
sama antarsekolah atau institusi pendidikan (school to school atau sister
school program). Pengalaman dalam beberapa program itu dapat mendorong mereka
yang terlibat mencapai tingkatan baru dalam silaturahim.
Pengalaman Sekolah Sukma
Bangsa, Aceh, bekerja sama dengan beberapa sekolah di AS dalam bentuk school
to school program yang diprakarsai lembaga nirlaba asal 'Negeri Paman Sam'
itu, America's Unofficial Ambassador (AUA), memberi pengalaman berharga tidak
hanya bagi siswa, tetapi juga bagi relawan yang berkunjung ke sekolah.
Bertemu langsung dengan
guru tamu yang merupakan warga negara asing dengan latar belakang budaya yang
berbeda memberikan pengalaman berharga bagi para siswa dan komunitas sekolah
untuk melihat langsung, terbiasa dan pada akhirnya menghargai perbedaan.
Melalui program semacam
ini, pelajaran mensyukuri keberagaman ciptaan Tuhan, hadir dalam praktik
nyata di sekolah. Di sisi lain, para relawan yang datang pun membawa pulang
pengalaman yang tidak kalah berharga dalam hidupnya. Keramahan, kehangatan,
dan toleransi yang ditunjukkan keluarga komunitas sekolah dan masyarakat
sekitar dalam menyambut kedatangan mereka memberikan cara pandang berbeda
tentang budaya Aceh dan Indonesia--khususnya dunia Islam--yang sering
digambarkan media Barat sebagai dunia penuh kekerasan dan kekejaman.
Fakta ini memberikan pesan
bahwa 'piknik' sejatinya kebutuhan bagi setiap individu di zaman ini. Inovasi
teknologi telah membuat dunia saat ini tidak bersekat sama sekali. Pergumulan
ragam perbedaan mulai ideologi, agama, budaya, ras, hingga warna kulit tidak
dapat dihindari. Menyikapi perbedaan dengan penuh rasa curiga hanya
mempertegas ketidakmampuan kita dalam memahami titah Tuhan tentang
keberagaman.
Karena itu, berpiknik,
menjelajah ke banyak tempat, bertemu banyak orang yang berbeda dan
bersilaturahim dengan mereka, sejatinya akan mengantarkan kita pada cara
pandang yang berbeda pula, yaitu memandang perbedaan dan keberagaman sebagai
kekayaan dan karunia Tuhan yang harus kita jaga bersama. Mari! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar