Senin, 12 Maret 2018

Parlemen dan Perang Melawan Korupsi

Parlemen dan Perang Melawan Korupsi
Poltak Partogi Nainggolan  ;   Doktor Ilmu Politik
dari Albert-Ludwigs-Universitaet Freiburg, Jerman
                                                  KORAN SINDO, 07 Maret 2018



                                                           
SEPERTI di negara demok­ra­si baru lainnya, tidak da­pat dimungkiri DPR meng­hadapi berbagai masalah terkait korupsi. Belum baiknya pelaksanaan good governance di pemerintahan berimplikasi ju­ga pada parlemen dan sistem pen­dukungnya. Tidak heran, ba­nyak anggota parlemen, baik di tingkat daerah maupun na­sio­nal, terjerat kasus-kasus ko­rupsi, secara pribadi maupun ber­kelompok. Itulah sebabnya, di luar tekanan yang datang, DPR harus berbenah mem­per­baiki diri. Walaupun kasus-ka­sus korupsi baru ditemukan di parlemen, bukan berarti pem­be­rantasan korupsi kehilangan semangatnya.

Realitas yang buruk itu se­ha­rusnya dapat menimbulkan kesadaran baru bahwa pem­be­ran­tasan korupsi harus dila­ku­kan lebih tegas lagi. DPR sendiri telah menyusun kembali dan memperbaiki Kode Etik ang­gota parlemen dan bahkan staf pendukungnya. Upaya ini tidak bisa dipisahkan dari perbaikan Tata-Tertib dan aturan pe­nye­dia­an fasilitas dukungan yang seharusnya berdampak pada perilaku para anggota parlemen dan staf. Ia harus ditin­dak­lan­juti dengan pembuatan Tata Ber­acara Badan Kehormatan (BK) sehingga penegakan etika dapat dilakukan.

Etika dan Integritas 
Etika dan integritas terkait erat. Etika yang mengikuti pe­ra­turan akan menghasilkan inte­gritas anggota parlemen. Seba­lik­nya, tanpa etika yang kons­truk­tif, aktivitas anggota par­le­men rawan dari berbagai prak­tik pelanggaran hukum, ter­ma­suk korupsi, sehingga integritas tidak akan muncul dalam akti­vi­tas dan perilaku para politisi di par­lemen. Buruknya etika dan integritas individual anggota parlemen akan menghasilkan legislatif yang buruk, menyum­bang pada terciptanya demo­krasi yang rapuh, sekadar pro­se­dural, dan bermuara pada ne­ga­ra gagal.

Sebagai bagian dari upaya serius ini, perbaikan prosedur persidangan dan pelayanan par­lemen harus dibuat dalam UU MD3. Sedangkan dalam ko­de etiknya, hal-hal tampak se­pe­le pun harus diatur, seperti ke­harusan berpenampilan ber­sa­haja dan memberitahukan kehadiran dengan meng­gu­na­kan alat presensi dan lain-lain. Di sana harus diatur bagaimana tata tertib dalam menyam­pai­kan pendapat, menggunakan fasilitas, dan pegawai yang dise­diakan oleh sistem pendukung.

Dari kasus-kasus yang ter­jadi, pelanggaran dilakukan ang­gota parlemen sering kali tidak berdiri sendiri karena me­libatkan sistem pendukung. De­ngan begitu, untuk pegawai dan staf parlemen dibuat pula kode etik yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari kode etik parlemen. Sebab para staf be­ker­ja secara permanen selama pu­luhan tahun, sementara para ang­gota DPR datang dan pergi setiap lima tahun sekali. Karena itu, para staf bisa menunjukkan praktik yang baik atau buruk di gedung parlemen.

Langkah ini ditujukan bu­kan untuk mengekang dan meng­atur anggota parlemen ber­perilaku seperti anak TK, me­lainkan melindungi inte­gri­tas dan kewibawaan mereka. De­ngan demikian, nanti lem­baga parlemen dan kinerja para anggotanya akan dihargai rak­yat. Termasuk di sini, pe­nyu­sunan ketentuan yang meng­ha­ruskan anggota DPR menan­da­tangani sendiri bukti per­ja­lan­an dan pengeluaran mereka ser­ta bukan oleh para staf dan pe­jabat Sekretariat Jenderal DPR Tu­juannya menghindari pe­nyim­pangan dan menunjukkan akun­tabilitas anggota DPR se­ba­gai politisi serta wakil rakyat.
 
Badan Kehormatan 
Badan Kehormatan (BK) se­laku penjaga dan pengawal inte­gritas anggota DPR telah hadir sebagai kebutuhan baru sejak 2004. Alasan pembentukannya tidak atas desakan memerangi korupsi, sebab ketika itu ko­rup­si belum banyak menjerat ang­go­ta DPR. Baru dalam periode pas­c­a-pemilu 2009, saat kasus-kasus pelanggaran etika dan pidana bermunculan, terutama perilaku yang tidak sopan da­lam bersidang dan terjadinya kasus-kasus korupsi, ke­bu­tuh­an membuat Kode Etik dan mem­perbaiki Tata Tertib DPR yang dibuat dalam UU tidak terhindarkan.

Kemudian muncul inisiatif menyusun ketentuan per­tang­gungjawaban keuangan, lapor­an kekayaan pada awal dan ak­hir masa jabatan, penerimaan hadiah, dan lainnya. Bahkan, pimpinan BK di bawah Siswono Yudohusodo sempat meng­gu­lir­kan gagasan memberikan sanksi lebih berat bagi anggota DPR yang terbukti melakukan pelanggaran etika dan pidana, termasuk yang dianggap sepele, seperti sering mangkir dari per­sidangan.

Peran BK semakin penting, bukan banyaknya temuan ka­sus baru, tetapi karena du­kung­an media massa dan ma­sya­ra­kat sipil untuk mengusut tuntas kasus korupsi yang melibatkan DPR. Masyarakat meng­ingin­kan DPR menyelamatkan tu­ju­an reformasi yang telah me­min­ta banyak pengorbanan. Maka wajar, jika BK harus turun ta­ngan mengusut laporan yang ber­sifat pribadi terkait ada­nya la­poran dari kerabat ang­gota dan masyarakat sipil. Hal ini memperlihatkan kontrol ma­­sya­rakat sipil berjalan efek­tif se­bagai pelaksanaan de­mo­krasi par­tisipatif yang akun­tabel.

Selain itu, juga diungkapkan perlunya ketentuan tentang pem­berian fasilitas negara ke­pa­da anggota DPR yang harus di­perbaiki demi merespons laporan kinerja anggota DPR yang dibuat teratur oleh ma­sya­ra­kat dalam era demokrasi par­ti­sipatif semakin bergairah di Indonesia. Sedangkan para ang­gota DPR harus bisa men­ca­ri jalan keluar agar mereka tidak mudah terjerat dalam kasus-kasus korupsi baru akibat ma­hal­nya biaya pemilu. Anggota BK sempat mengemukakan ga­gasan diberikan dukungan fasi­litasi keuangan, seperti pork barrel system  di AS dan Filipina. Namun, mereka lupa bahwa di AS, pemberian dukungan fasi­li­tasi keuangan semacam ini su­dah kehilangan popularitasnya karena sangat berisiko men­je­ru­muskan anggota DPR dalam praktik korupsi baru.

Tidak Konsisten 
Dalam perjalanan BK ter­da­pat perkembangan kon­tra­pro­duktif akibat terjadinya konflik kepentingan dalam diri ang­gota parlemen. Mereka yang ter­jerat korupsi, baik sengaja ataupun tidak, menjadi risi dengan upaya pemberantasan korupsi serta peran lembaga anti­korupsi (KPK) yang dilihat dari hari ke hari kian meng­ancam dan populer. Sementara anggota DPR merasa semakin dicela dan tersudut posisinya se­hingga dalam amandemen UU MD3 telah dilakukan pula penghapusan terhadap keten­tu­an yang sudah baik.

Padahal ketentuan itu efek­tif mencegah anggota DPR dari jeratan korupsi baru dan telah efektif memberantas korupsi lama. Hal ini merupakan ke­mun­duran besar jika pelaporan atas anggota yang berperilaku buruk diberikan ancaman hu­kum­an! Adanya ketentuan yang meng­ha­ruskan anggota DPR yang dila­porkan terlibat kasus korupsi harus memperoleh per­setujuan BK sebelum diperiksa KPK, logis dinilai sebagai lang­kah menjegal pemberantasan korupsi. Se­men­tara KPK me­la­lui perannya seba­gai lembaga pem­berantasan ko­rupsi alter­natif selama ini telah menjadi model agen pem­be­ran­tasan ko­rupsi di negara de­mo­krasi yang sedang berkembang.

Sikap DPR yang tidak kon­sis­ten dalam mewujudkan good governance, pantas saja digugat kalangan masyarakat sipil. Pan­dangan sinis muncul, seakan-akan parlemen berada satu ba­risan bersama para pelanggar tin­dakan pidana korupsi. Pan­dangan ini harus dikoreksi, se­bab jika tidak, citra parlemen di mata rakyat akan semakin sulit diperbaiki. Anggota DPR seha­rus­nya menyadari bahwa pem­berian hak imunitas dalam UU MD3 tidak boleh dipakai untuk memberikan justifikasi hukum kepada anggota DPR agar boleh terlibat dalam berbagai kegiat­an mengarah pada perbuatan tindak pidana korupsi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar