Paralisis
Politik Lokal
Umbu TW Pariangu ; Dosen FISIP Universitas Nusa Cendana
|
KORAN
SINDO, 13 Maret 2018
KETUA Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
Agus Rahardjo menyebut sejumlah calon kepala daerah yang berlaga di pilkada
serentak 2018 terindikasi korupsi. Hal tersebut dikatakannya dalam acara
Penandatanganan Perjanjian Kerja Sama antara Polri, Kejaksaan Agung, dan KPK
tentang Penanganan Korupsi dalam Pelaksanaan Pilkada Serentak 2018 di Hotel
Mercure, Ancol, Jakarta Utara (6/3). Ditegaskannya, penyelidikan dugaan
korupsi yang dilakukan sejumlah calon kepala daerah baik di Jawa maupun di
luar Jawa telah dilakukan sejak lama dan tinggal menuntaskan proses
administrasi sebelum mengumumkan mereka sebagai tersangka.
Informasi dari KPK tersebut menjadi kabar
buruk bagi rakyat dan demokrasi pilkada setelah sebelumnya sejumlah operasi
tangkap tangan beruntun oleh KPK dilakukan awal 2018 ini. KPK meringkus enam
kepala daerah karena tuduhan korup. Para pemimpin daerah tersebut telah
menyandera kecerdasan dan akal sehat politik publik lewat praktik banalitas
korupsi. Mereka memotong saluran bagi rakyat untuk mendapatkan kesejahteraan.
Alih-alih mengevakuasi rakyat dari keterbelakangan di segala dimensi ke ruang
kesejahteraan, melalui proses pilkada yang penuh dengan fragmentasi, rakyat
justru dievakuasi dalam ruang politik tribalistik yang gelap dan korup.
Situasi tersebut membuat politik lokal
terancam mengidap paralisis. Paralisis adalah bahasa kedokteran yang
mengindikasi hilangnya kemampuan tubuh untuk bergerak karena cedera atau
penyakit pada bagian saraf, biasa juga disebut sebagai kelumpuhan. Kelumpuhan
di sini dapat menyebabkan hilangnya mobilitas di wilayah yang terpengaruh.
Istilah ini cocok dan kompatibel untuk menggambarkan tubuh demokrasi lokal
kita saat ini.
Aforisme
Politik
Henk Schulte Nordholt dan Gerry van Klinken
(2007) menulis bahwa desentralisasi di Indonesia di satu sisi akan
menciptakan pelebaran ruang partisipasi politik dan kristalisasi kedaulatan
politik rakyat. Namun pada sisi lain, desentralisasi justru bisa menciptakan
ruang oligarki baru yang diisi para kompetitor politik futuris-kapitalistis
yang menggunakan kekuatan kontrol dan akses ekonominya untuk merebut dan
mempertahankan kekuasaan, bahkan dengan cara-cara yang manipulatif-koersif.
Karena kita telanjur dibuai bulan madu reformasi yang ditandai kebebasan
dalam bersuara, Henk saat itu dianggap terlalu skeptis.
Namun kini, skeptisisme itu perlahan-lahan
menjadi aforisme politik. Pascabulan madu reformasi yang ditandai pilkada
langsung dan lahirnya Mahkamah Konstitusi (MK), pilkada pun mulai diwarnai
konflik sosial akibat putusan pilkada yang tak diterima, menguatnya politik
dinasti, merebaknya politik uang, hingga korupsi.
Menurut Hollyson & Sundari dalam
bukunya Pilkada Penuh Euforia Miskin Makna
(2015:98-103), pilkada langsung telah melahirkan beberapa implikasi:
1) biaya politik yang sangat besar, 2) rekrutmen kepala daerah tidak berbasis
kompetensi, 3) terjadinya korupsi APBD, 4) pasangan kepala daerah dan wakil
yang tidak sejalan dan 5) munculnya kepala daerah bayangan yang
mengintervensi proses politik dan pembuatan kebijakan.
Implikasi politik pilkada tersebut turut
dilestarikan oleh regulasi politik yang kompromistis terhadap deviasi kerja
politik. Misalnya dalam UU Nomor 10/2016, kepala daerah tersangka korupsi
tetap bisa mengikuti pilkada bahkan bisa dilantik jika menang. Regulasi
tersebut lebih memperlihatkan keberpihakan legitimasi terhadap hak sekaligus
syahwat politik politisi ketimbang nilai-nilai etis, empati, dan propublik.
Akibatnya, kepala daerah korup memiliki ruang eskapisme dan kamuflase moral
yang mendesakralisasi pilkada.
Kemarin muncul pula isi MoU yang
ditandatangani Inspektur Jenderal Kemendagri Sri Wahyuningsih dan Jaksa Agung
Muda Tindak Pidana Khusus Adi Toegarisman bahwa uang korupsi yang
dikembalikan pelaku bisa menghilangkan hukuman. Ironisnya, MoU yang potensial
menimbulkan permisivitas korupsi tersebut berlangsung dalam suasana pilkada,
sehingga muncul dugaan jangan sampai MoU tersebut merupakan produk dari lobi
politik tingkat tinggi dari elite-elite yang kini sedang merebut kekuasaan di
panggung pilkada.
Apalagi menurut Robert Putnam, elite
politik adalah individu yang memiliki banyak kekuasaan politik tidak saja
untuk memengaruhi orang lain, namun juga untuk memengaruhi proses pembuatan
keputusan kolektif termasuk memengaruhi alokasi nilai-nilai secara otoritatif
(Soekanto, 1985). Bagaimanapun, bagi para elite korup, sistem politik
predatorian dan koruptif perlu dirawat bahkan diinstitusionalisasi sehingga
mata rantai kerja korupsi yang melibatkan elite politik, birokrasi, dan
pelaku usaha tidak terganggu. Termasuk pembentukan ruang kekuasaan yang
asimetris dengan kepentingan rakyat, sehingga wajah panggung politik pun
berwajah ganda.
Di panggung depan, politik terbaca sebagai
arena mengabdikan potensi kepemimpinan demi kemaslahatan rakyat melalui obral
janji politik. Namun di panggung belakang, politik terendus sebagai cara
meluapkan keserakahan dan reproduksi nalar ekonomik-tribalistik yang
melanggar prinsip moral dan hukum.
Dalam konteks itulah, resultante kontestasi politik dalam momen pilkada
selalu akan memproduksi watak kekuasaan yang mengeksploitasi sumber daya
(power over ), bukan sebagai instrumen untuk melayani kepentingan rakyat
(power to ). Para kepala daerah berusaha mengapitalisasi perizinan proyek di
pemerintah daerah, tender proyek termasuk pelbagai penyaluran kredit,
sebagaimana disinyalir Wakil Ketua PPTAK Dian Ediana Rae (7/3/2018), yang
digunakan untuk pendanaan politik khususnya oleh kepala daerah untuk dapat
mencalonkan kembali sebagai petahana dalam pilkada.
Dinasti
Dalam modus yang lebih ekspansif, peluang
politik pilkada yang lebih besar dengan mudah disimplifikasi lewat trik
politik dinasti yang melegitimasi para kerabat masuk dalam pusaran perebutan
kursi kepala daerah. Berdasarkan data Indonesia Corruption Watch (ICW) pada
2017, sedikitnya ada 58 daerah (provinsi, kabupaten/kota) yang terindikasi
sebagai dinasti politik. Di Pilkada 2018 ini, menurut Forum Indonesia untuk
Transparansi Anggaran (FITRA), calon dari dinasti politik muncul di pemilihan
gubernur Sumatera Selatan, Sulawesi Tenggara, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi
Selatan, Maluku Utara, dan Kalimantan Barat.
Masalahnya, dinasti politik model kita
lebih berkarakter by accident
ketimbang by design . Artinya politik dinasti ditempuh semata-mata
karena tuntutan merebut kekuasaan menggantikan keluarga yang sudah lebih
dahulu menjabat, tanpa diawali kaderisasi dan persiapan yang bermutu.
Akibatnya politik model ini selalu berujung penyalahgunaan kekuasaan dalam
bentuk korupsi seperti kasus Wali Kota Kendari Adriatma Dwi Putra dan calon
gubernur Sulawesi Tenggara Asrun, yang adalah ayah-anak, yang terjaring OTT
KPK (28/2/2018). Beda halnya jika dinasti politik dijalankan by design yang lebih berbasis kompetensi dan
profesionalisme seperti yang terjadi di Amerika Serikat dan India.
Kita berharap pilkada serentak 2018 menjadi
arena penyucian kehendak politik calon kepala daerah. Langkah KPK yang akan
mengumumkan kepala daerah tersangka sebelum pemungutan suara, sudah tepat.
Pertama, supaya rakyat lebih dini mengetahui calon-calon pemimpinnya yang
korup, untuk tidak dicoblos di bilik suara. Kedua, menjadi aktualisasi
tekanan moral maupun psikis buat partai politik dan para calon kepala daerah
termasuk petahana, bahwa seluruh gerak-gerik politik mereka di pilkada tengah
menjadi episentrum pengawasan pihak berwajib.
Kerja serius dan sinergis KPK, PPTAK,
Bawaslu, KPU dalam mengontrol mobilisasi ekonomi-politik para calon kepala
daerah akan membantu proteksi tahapan sakral pilkada dari bayang hitam
politik koruptif yang menggurita. Integritas pilkada dan kemenangan demokrasi
akan sulit dicapai jika elemen-elemen tersebut justru menggadaikan
otoritasnya hanya demi tawaran kenikmatan sesaat. Ini saatnya parpol dan
penyelenggara pemilu melawan serangan paralisis dalam tubuh demokrasi lokal supaya
rakyat tidak terus dicampakkan nasibnya di altar pilkada. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar