Mewujudkan
Janji Pendidikan
Doni Koesoema A ; Pemerhati Pendidikan;
Pengajar di Universitas Multimedia
Nusantara
|
KOMPAS,
06 Maret
2018
Bank Dunia untuk pertama kali
merilis “World Development Report” (WDR) 2018 tentang pendidikan dengan judul
“Learning to Realize Education’s Promise”. Banyak yang mengapresiasi karena
pendidikan merupakan kunci untuk meretas kemiskinan dan mendorong kesejahte-
raan bersama. Namun, strategi yang ditawarkan perlu dikritisi.
Ada tiga catatan penting
pendidikan global dalam laporan ini. Pertama, fokus dalam laporan ini adalah
pembelajaran (learning). Pembelajaran mengacu pada tindakan individu untuk
belajar. Sedangkan, persekolahan (schooling)
tidak sama dengan pembelajaran. Faktanya, di ruang kelas tidak terjadi
pembelajaran. Bank Dunia lalu menyimpulkan bahwa saat ini terjadi krisis
pembelajaran.
Kedua, guru dianggap sebagai
faktor keberhasilan pembelajaran. Sebagian besar guru tak terampil dan tidak
termotivasi mengajar. Guru perlu dikelola melalui sistem manajemen yang
transparan dan akuntabel. Input tambahan berbasis teknologi perlu diberikan.
Implementasi pedagogi berbasis riset mutakhir direkomendasikan.
Ketiga, setiap negara perlu menyelaraskan keseluruhan sistem
pendidikannya agar proses pembelajaran terjadi, termasuk pemanfaatan
teknologi informasi dan komunikasi sebagai alat efektif untuk mendorong
pembelajaran.
Krisis pembelajaran
Krisis pembelajaran terjadi karena
hasil pembelajaran (learning outcome) belum menjadi fokus dalam kebijakan
pendidikan. Menurut Bank Dunia, krisis bisa diatasi melalui tiga strategi.
Pertama, penilaian (assessment) terhadap hasil belajar harus menjadi sesuatu
yang dianggap serius.
Kedua, guru perlu mempergunakan pedagogi berbasis bukti
untuk memastikan seluruh siswa mengalami pemelajaran di sekolah. Untuk itu,
guru perlu dikelola dan ditata agar makin terampil dan termotivasi. Yang
terakhir, para pelaku pendidikan perlu bersinergi untuk memastikan
keseluruhan sistem bekerja dengan baik mendorong pembelajaran.
Tiga strategi yang ditawarkan Bank
Dunia tidak tanpa masalah. Pertama, bahwa pemelajaran merupakan bagian
penting dalam pendidikan tidak perlu diragukan lagi. Namun mereduksi
pendidikan pada sekadar pembelajaran merupakan simplifikasi konsep
pendidikan.
Kedua, bahwa guru adalah aktor
penting, kita sepakat. Namun, guru merupakan individu bebas yang memiliki
cita-cita, harapan, preferensi dan pilihan sikap dan nilai. Dari sinilah
sumber motivasi dan perkembangan profesionalnya lahir. Konsep tata kelola
guru dengan perspektif manajerial yang menjadikan guru “individu terstandar”
yang bisa diatur dan ditata, kiranya tidak cocok dalam rangka pengembangan
profesi guru.
Ketiga, para pelaku pendidikan
perlu menyelaraskan peranannya masing-masing untuk memastikan pembelajaran
terjadi di dalam sistem. Rekomendasi untuk memanfaatkan teknologi informasi
dan komunikasi untuk mengatasi hambatan teknis perlu kita cermati.
Simplifikasi pendidikan
Laporan Bank Dunia ini menitikberatkan
persoalan pada “pembelajaran” atau lebih tepat “hasil pembelajaran”. “Sekolah
tidak sama dengan pembelajaran. Pendidikan merupakan istilah yang tidak jelas
(imprecise word), dan karena itu harus didefinisikan secara jelas. Sekolah
adalah waktu yang dihabiskan oleh siswa di dalam kelas, sedangkan
pembelajaran adalah hasilnya – apa yang diperoleh siswa dari sekolah “ (WDR,
halaman 45). Menganggap pendidikan sebagai sebuah istilah yang “tidak
jelas” merupakan penyederhanaan persoalan. Sedangkan menganggap pembelajaran
sebagai hasil pendidikan mengerdilkan makna pendidikan.
Mendidik, alih-alih merupakan
terminologi yang tak jelas, merupakan kegiatan yang multidimensi. Menurut
Biesta (2015) pendidikan selalu terkait dengan tiga hal, yaitu kualifikasi, sosialisasi
dan subyektifikasi. Kualifikasi mengacu pada pengetahuan dan keterampilan
yang dibutuhkan dalam masyarakat agar mereka dapat efektif bekerja di dunia.
Sosialisasi merupakan proses internalisasi norma, nilai, kebudayaan dan
sejarah masyarakat di mana individu hidup. Sedangkan, subyektifikasi menukik
pada bagaimana siswa hadir sebagai individu yang bebas, memiliki inisiatif
dan mampu bertanggung jawab.
Mereduksi pendidikan pada
pembelajaran merupakan simplifikasi konsep pendidikan. Sekolah memang tidak
sama dengan belajar. Namun, mereduksi proses pendidikan pada pembelajaran,
apalagi pada hasil belajar terstandarisasi, justru bisa mengaburkan
pentingnya pendidikan itu sendiri bagi formatio utuh seorang individu.
Rekomendasi pada penggunaan teknologi untuk menggali informasi bukan
hanya demi peningkatan kualitas pemelajaran, melainkan juga untuk menyelia
kemajuan siswa dan peningkatan kompetensi guru, melalui Uji Kompetensi Guru
misalnya, juga tidak tanpa masalah. Dengan menelusuri rekam jejaknya, banyak
peneliti mengkritik ideologi pendidikan yang dibawa Bank Dunia ini.
Peneliti seperti Mundy, dan
kawan-kawan menyimpulkan “Bank Dunia memiliki rekam jejak merekomendasikan
kebijakan berbasis rasa tidak percaya (policy of distrust), akuntabilitas
eksternal, privatisasi dan mempromosikan sebuah pandangan yang sempit tentang
pendidikan” (Mundy & Verger 2015; Fontfevila & Verger 2015; Murphy
2007). Dengan kata lain, Bank Dunia mempromosikan sebuah model profesi
pengajaran yang defisit.
Bank Dunia merekomendasikan tiga
hal agar kebijakan pendidikan fokus pada pengajaran dan pemelajaran. Pertama,
memberikan input tambahan, termasuk teknologi baru, sebagai pelengkap, bukan
sebagai pengganti guru. Kedua, memastikan bahwa teknologi informasi dan
komunikasi yang baru sungguh diterapkan di dalam sistem, dan ketiga, fokus
pada manajemen sekolah dan reformasi pemerintahan dalam rangka meningkatkan
interaksi antara guru dan siswa.
Teknologi sering kali digambarkan
sebagai alat efektif dalam pendidikan. Namun kita tahu, pemanfaatan
berlebihan teknologi justru dapat menghambat pemelajaran itu sendiri. Lebih
dari itu, ada fenomena lain, yaitu perusahaan-perusahaan raksasa teknologi
semakin lama semakin melebarkan pengaruhnya untuk mengarahkan dan
mengintervensi kebijakan publik, termasuk dalam pendidikan. “Platform
perusahaan sedang mencoba mengontrol jika tidak memonopoli apa yang harus
dilakukan oleh lembaga-lembaga publik”, kritik Audrey Watters dalam salah
satu telaahnya.
Membahayakan
Dua fokus dalam rekomendasi Bank Dunia
terkait pemanfaatan teknologi. Ada apa di balik kedua rekomendasi ini?
Kepentingan siapa yang sedang disuarakan? Rekomendasi lain, terkait
manajemen sekolah mungkin lebih masuk akal. Namun, pendekatan manajerialisme
pendidikan ini bisa membahayakan. Padahal masih ada alternatif pengembangan
profesi guru, bukan tata kelola, yang lebih humanis, berbasis rasa hormat dan
menaruh kepercayaan terhadap guru.
Sekolah bisa menciptakan sebuah
lingkungan yang ramah secara moral, baik melalui sistem, struktur, peraturan,
budaya, praktik keseharian di sekolah, dan keteladanan di masyarakat.
Penguatan Tripusat pendidikan Ki Hajar Dewantara masih sangat relevan bagi
kebermaknaan pengembangan profesi guru. Dalam lingkungan seperti ini, guru
merasa dihargai, dihormati, dipercaya dan dimanusiakan.
Persoalan guru tak cukup hanya
bila diatasi secara manajerial, seolah guru bukan individu yang punya
harapan, cita-cita, dan nilai. Guru bukanlah seonggok properti yang bisa
diatur dan ditata. Solusi bagi guru yang tak terampil dan tak termotivasi ini
perlu ditata melalui kebijakan penataan guru perlu kita tinjau lagi. Kata
menata berkonotasi benda.
Standarisasi dan teknologisasi
hanyalah proses dan cara. Sedangkan pembelajaran harus berorientasi pada
tujuan. Tanpa mampu mendefinisikan tujuan pendidikan yang ingin diraih,
setiap negara yang memanfaatkan laporan Bank Dunia akan tersesat dalam
jebakan standarisasi, teknologisasi, dan integrasi manajerial tak terarah.
Mewujudkan janji pendidikan perlu dikaitkan dengan tujuan dan otentisitas
pemelajaran itu sendiri.
Otentisitas pemelajaran hanya bisa
ditera dari ideal tujuan pendidikan. Pembelajaran demi pemelajaran itu
sendiri tak akan berarti, sebab ada tujuan lebih tinggi dalam setiap proses
pembelajaran, yaitu pertumbuhan jasmani dan rohani, pengembangan
kompetensi sosial dan akademik, serta penguatan integritas moral. Ini semua
hanya mungkin jika sistem, struktur, kultur, atmosfer sosial sekolah
dan kehidupan di kelas ramah secara moral. Lebih dari itu, paling penting, para
pelakunya memiliki integritas moral. ●
|
Apakah kamu sudah tau prediksi togel mbah jambrong yang jitu? bila belum baca Prediksi jitu mbah jambrong Hk
BalasHapusApakah kamu sudah tau prediksi togel mbah jambrong yang jitu? bila belum baca Prediksi jitu mbah jambrong Hk
BalasHapusMain SBOBET dengan Deposit pulsa tanpa potongan???
BalasHapusHanya di Winning303
mari bergabung segera bersama kami
Informasi Lebih Lanjut, Silakan Hubungi Kami Di :
- WA : +6287785425244