Masa
Depan Perda
Despan Heryansyah ; Peneliti Pusat Studi Hukum Konstitusi (PSHK)
Fakultas Hukum UII Yogyakarta
|
KOMPAS,
21 Maret
2018
Semua rezim UU tentang
Pemerintahan Daerah, selalu memberikan
kewenangan kepada pemerintah pusat untuk menilai dan membatalkan peraturan
daerah. Dalam ilmu hukum, model ini dikenal dengan executive review, yaitu
kewenangan badan eksekutif untuk meninjau kembali. Jika suatu peraturan
daerah dinilai bertentangan dengan kehendak pemerintah pusat atau peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi, perda tersebut dapat dibatalkan
presiden (praktiknya dilakukan oleh Menteri Dalam Negeri).
Jika pemerintah daerah
keberatan dengan Keputusan pembatalan perda dari pemerintah pusat, pemerintah
daerah dapat menggugat Keputusan tersebut ke Mahkamah Agung (MA). Putusan MA nantinya menjadi final dan
mengikat. Sayang, hal ini jarang dilakukan mengingat kendali atas finansial
masih menjadi kewenangan absolut pemerintah pusat.
Tahun 2016 Presiden Jokowi
pernah membatalkan 3.143 Peraturan Daerah yang dianggap bermasalah. Pada
tahun yang sama, ketentuan mengenai kewenangan pemerintah pusat membatalkan
perda ini di-judicial review – kan ke Mahkamah Konstitusi. Mahkamah
Konstitusi melalui Putusan Nomor 56/PUU-XIV/2016 memutus bahwa pembatalan
peraturan daerah tidak lagi menjadi kewenangan pemerintah pusat, melainkan
sepenuhnya kewenangan Mahkamah Agung.
Putusan
bermasalah
Putusan MK tersebut sesungguhnya bukan tanpa masalah.
Setidaknya kita dihadapkan pada tiga persoalan utama.
Pertama, Indonesia
memiliki lebih dari 500 kabupaten/kota ditambah dengan 34 provinsi. Dapat
dibayangkan bagaimana menumpuknya perkara yang akan diajukan ke MA, sementara
di MA sendiri menurut informasi ada lebih dari 2.000 perkara yang sedang
mengantre. MA harus menyiapkan mekanisme tersendiri menghadapi fenomena
pengujian perda ini.
Kedua, pengetahuan dan
kesadaran hukum masyarakat masih sangat rendah, terutama di daerah-daerah
terpencil luar Jawa. Jika pada suatu ketika muncul peraturan daerah yang
“sangat” bermasalah, maka kecil kemungkinan akan ada masyarakat yang berani
dan mau menggugat perda tersebut ke MA. Harapan sebenarnya ada pada
pemerintah pusat untuk bersedia mengajukan permohonan pembatalan ke MA, namun
dengan sekian banyak perda yang ada, apakah pemerintah mau menjalani sidang
berkali-kali di MA?
Ketiga, letak MA di ibu
kota negara Jakarta membutuhkan akses dan pembiayaan yang tidak sedikit bagi
daerah-daerah yang lokasinya jauh dari Jakarta. Ini tentu menjadi
pertimbangan utama masyarakat untuk menjadi pemohon, meskipun setelah berkas
perkara diajukan ke MA, pemohon tidak perlu ke Jakarta untuk menghadiri
sidang.
Namun demikian, ketentuan
ini sesungguhnya dalam konteks negara hukum yang demokratis adalah jauh lebih
fair dan menjamin keadilan substantif. Harus dipahami bersama bahwa perda
juga dibentuk dengan prosedur yang hampir sama dengan pembentukan
undang-undang, bedanya cakupan berlaku yang hanya untuk daerah tertentu saja
sedangkan undang-undang untuk seluruh wilayah Indonesia.
Suatu perda disetujui
bersama oleh Kepala Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Kepala
Daerah dan DPRD memiliki legitimasi serupa dengan Presiden dan DPR, yaitu
dipilih langsung oleh rakyat. Oleh karena itu, tidak bisa jika produk
hukumnya hanya dibatalkan oleh lembaga yang berkedudukan sama sebagai
pemerintah di bidang eksekutif. Sebagaimana halnya suatu produk hukum, hanya
boleh dibatalkan oleh lembaga yudikatif (MA dan MK).
Awal tahun 2018 pemerintah
dan DPR mengesahkan revisi atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang
MPR, DPR, DPD, dan DPRD yang memunculkan banyak kewenangan baru kepada
lembaga-lembaga tersebut. Salah satu kewenangan itu terkait dengan kewenangan
DPD sebagaimana tercantum dalam Pasal 249 ayat (1) huruf J di mana DPD
berwenang memantau dan mengevaluasi peraturan daerah.
Tentu saja ini menjadi
rezim baru bagi keberadaan peraturan daerah,
yang patut disikapi dengan tidak kalah seriusnya. Patut menjadi perhatian
apakah yang dimaksud dalam frasa “memantau dan mengevaluasi”.
Mengikat
atau tidak?
Bagaimana kekuatan dari
hasil evaluasi yang dimaksud, apakah mengikat atau tidak? Jika mengikat tentu
menjadi tidak tepat setidaknya karena dua hal.
Pertama DPD adalah
nomenklatur pemerintah pusat yang mewakili masing-masing daerah untuk
menyuarakan aspirasi daerah, bukan malah mengevaluasi pemerintah daerah.
Kedua, harus diingat bahwa
DPD adalah lembaga legislatif bukan lembaga yudikatif. Jika hasil evaluasinya
mengikat, tentunya kurang tepat. Daerah adalah tiang tegaknya Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI), peraturan daerah (perda) adalah tiang bagi
berlangsungnya pemerintahan daerah. Maka keberadaan perda patut menjadi
perhatian utama karena kesejahteraan tiap daerah adalah keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar