Magnet
Jokowi dan Ujian Elektoral
Adi Prayitno ; Direktur Eksekutif Parameter Politik Indonesia;
Dosen Politik UIN Jakarta
|
KORAN
SINDO, 05 Maret 2018
Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019
masih lama. Namun, sejumlah partai politik (parpol) telah memantapkan hati
mengusung Jokowi kembali maju dalam kontestasi lima tahunan itu.
Deklarasi dukungan PDI Perjuangan
pada Jumat (23/2) di Bali melengkapi dukungan Partai Golkar, NasDem, PPP, dan
Hanura yang jauh hari sudah bulat mengusung Jokowi maju di pilpres. Aliran
deras dukungan sejumlah parpol menegaskan magnet politik Jokowi masih kuat.
Keberlimpahan dukungan memosisikan Jokowi melambung di atas angin. Bukan semata
mengamankan ambang batas presidential threshold 20%, melainkan lebih sebagai
bentuk komitmen politik parpol pengusung untuk merebut kemenangan kembali.
Jokowi memang sudah banyak melakukan perubahan besar.
Pembangunan infrastruktur yang
masif, terutama di luar Pulau Jawa adalah upaya meningkatkan pertumbuhan
ekonomi secara merata yang tak melulu berkutat di Pulau Jawa dan Jakarta.
Langkah positif Jokowi ini layak diapresiasi. Namun, di ujung spektrum lain
target capaian pertumbuhan ekonomi, meningkatkan daya beli, serta akses
terhadap lapangan pekerjaan belum sesuai ekspektasi rakyat yang perlu
dicarikan solusinya. Tentu bukan perkara mudah, mengingat usia kabinet kerja
Jokowi tinggal hitungan bulan. Dalam politik tak ada yang bisa mendahului
kehendak Tuhan. Sekalipun elektabilitas Jokowi menjulang tetap saja ikhtiar
memperbaiki kinerja harus ditingkatkan untuk menambal dukungan rakyat.
Puncak popularitas dan
elektabilitas kerap tak senapas dengan kemenangan. Sebab banyak rakyat yang
menentukan pilihan politik justru sesaat sebelum mencoblos di TPS. Dukungan
terhadap Jokowi tentu tak lahir dalam ruang hampa, melainkan didasarkan pada
kalkulasi politik rasional bahwa dia memiliki magnet elektoral cukup besar.
Kepuasan terhadap kinerja ditengarai menjadi magnet utama yang mampu menyihir
sejumlah parpol sehingga mencalonkan Jokowi kembali. Kecenderungan
elektabilitas Jokowi juga terus naik.
Survei SMRC pada Desember 2017
memotret dukungan kepada Jokowi mencapai 61,4% dari semula yang hanya 51,1%
dan Prabowo 25,7%. Selebihnya suara tersebar di banyak kandidat lain. Secara
kasatmata, kekuatan modal politik Jokowi sejatinya memuluskan langkahnya
menang Pilpres 2019. Apalagi sejauh ini hanya Prabowo yang dianggap layak
sebagai penantang serius.
Poros
Pilpres
Jika tak ada badai, peta Pilpres
2019 sepertinya tak akan banyak berubah. Poros kekuatan politik relatif sama
dan berpotensi mengulang rivalitas 2014 silam. Hanya Jokowi dan Prabowo yang
selalu menempati urutan teratas perolehan survei saling bersaing. Setidaknya
ada tiga skenario poros bisa disodorkan guna membaca peta Pilpres 2019.
Pertama, Prabowo akan menjadi penantang utama Jokowi. Dengan catatan Prabowo
dapat mengantongi dukungan PKS untuk menggenapi syarat 20% presidential
threshold. Sejauh ini pertalian hati kedua parpol masih terus senapas.
Setidaknya bisa dilihat dari
keintiman dalam sejumlah pilkada serentak. Semangat PKS dan Gerindra tetap
sama, yakni mengganti Jokowi dari tampuk kekuasaan politik nasional melalui
proses pemilu. Kesamaan suasana batin ini yang mengentalkan keyakinan akan
terjadi duel ulang antara Jokowi dan Prabowo. Kedua, kemungkinan muncul figur
alternatif yang dinakhodai poros Cikeas dengan catatan Partai Demokrat mampu
merangkul dua parpol lain. Bacaan realistisnya, Demokrat paling mungkin
menggandeng PKB karena ketua umumnya Muhaimin Iskandar (Cak Imin) mengincar
posisi calon wakil presiden (cawapres).
Selain itu, Demokrat juga harus
bersusah payah menggandeng satu parpol lain, misalnya PPP atau PAN demi
menggenapi ambang batas pencapresan 20%. Ketiga , meski peluangnya nyaris
tertutup, tapi prediksi munculnya calon tunggal masih bisa terealisasi karena
ada opini yang mencoba menduetkan Jokowi dengan Prabowo. Kecenderungan
pragmatis parpol membuat skenario ketiga bisa terwujud. Hal terpenting bagi
parpol adalah capres dan cawapresnya sama. Bagi-bagi kekuasaannya pun harus
sama. Pada tahap ini ideologi dan persaingan antarparpol ditiadakan.
Idealnya, Pilpres 2019 diramaikan
oleh tiga kandidat guna mendinamisasikan kematangan politik rakyat. Pada saat
bersamaan munculnya kan-didat alternatif di luar poros Jokowi dan Prabowo
diharapkan mampu menutup celah defisit calon pemimpin masa depan. Tentu
sangat ironis jika pilpres hanya menampilkan wajah-wajah lawas tanpa
peremajaan figur politik baru. Secara umum elektabilitas Jokowi belum aman.
Dalam logika survei, posisi aman elektabilitas petahana di atas 65% dengan
tingkat kepuasan mencapai 70%. Itu artinya, Jokowi harus mencari cawapres
yang bisa menjaga stabilitas elektoral. Model koalisi tradisional kombinasi
antara Jawa dan luar Jawa maupun Nasionalis dan Islamis masih relevan
dipertimbangkan di tengah dinamika politik yang kian tak menentu.
Ujian
Elektoral
Dalam kondisi alamiah, tingkat
kepuasan publik dan kondisi elektabilitas tinggi memudahkan Jokowi menang
pilpres. Secara normatif, dalam potret pemilih rasional yang diintrodusir
Anthony Downs dalam karya klasiknya An Economic Theory of Democracy (1957)
bahwa rakyat cenderung akan memilih kembali petahana yang dianggap sukses
memenuhi harapan hidup mereka. Meski begitu, berbagai peristiwa politik dan
dinamika ekonomi yang terjadi belakangan akan menjadi ujian elektoral Jokowi
sesungguhnya.
Setidaknya ada tiga isu krusial
yang bisa menjadi ujian elektoral mantan Gubernur DKI Jakarta ini. Pertama,
soal kenaikan harga BBM yang dibarengi dengan kenaikan harga-harga kebutuhan
pokok berpotensi menggerus kepercayaan rakyat. Apalagi dalam hitungan bulan
umat Islam akan menghadapi bulan puasa yang bisa memantik fluktuasi harga,
bahkan inflasi. Elektabilitas Jokowi bisa terganggu jika tak mampu mencari
solusi atas problem domestik rakyat ini. Kedua, tentang kebangkitan politik
identitas dan menguatnya populisme Islam. Harus diakui, di era Jokowi
hubungan pemerintah dengan umat Islam selalu dihadaphadapkan.
Sekalipun Jokowi rajin blusukan
mendatangi pesantren, tapi isu tentang kriminalisasi ulama dan fenomena orang
gila menyerang ustaz akan terus dijadikan “kayu bakar” politik guna merusak
elektabiltias Jokowi. Relasi Islam dan pemerintah menjadi isu sensitif yang
mesti disikapi dengan bijak. Ketiga , performa di bidang hukum terutama
terkait dengan upaya “pembonsaian” Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan
penuntasan kasus kriminal Novel Baswedan. KPK babak belur menghadapi gempuran
badai serangan yang datang dari berbagai penjuru arah mata angin.
Sementara pelaku penyerangan Novel
Baswedan belum menemukan titik terang. Padahal banyak kasus besar di republik
ini bisa diungkap cepat, seperti terorisme, narkoba, dan menciduk gerombolan
Cyber Muslim Army (CMA). Berbekal elektabilitas menjulang, Jokowi bisa menang
mudah jika mampu mengelola hambatan elektoral yang setiap saat datang silih
berganti.
Dalam politik merawat kejayaan
bukan perkara mudah. Butuh stamina dan strategi jitu untuk terus
mempertahankan keunggulan. Karena politik tak melulu soal kapasitas dan
elektabilitas namun juga menyangkut daya tahan yang harus kuat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar