Literasi
Digital dan Etika Informasi
Muhbib Abdul Wahab ; Dosen Pascasarjana FITK
UIN Syarif Hidayatullah dan UMJ
|
KORAN
SINDO, 26 Maret 2018
BEREDARNYA informasi telur
palsu di media sosial dan terbongkarnya Muslim Cyber Army (MCA) oleh aparat
penegak hukum menuai kontroversi. Terlepas siapa otak dan aktor intelektual
di balik MCA, dunia maya dan media sosial banyak digelayuti awan kelam
penyebaran informasi hoaks, berita bohong, ujaran kebencian (hate
speech), fitnah, dan sebagainya yang sangat berpotensi memicu
disintegrasi bangsa.
Sebagai warga negara yang baik (good citizen), kita harus bersikap bijak dalam menggunakan media sosial seperti Facebook, Twitter, WhatsApp, Instagram, Telegram, blog, website, dan sebagainya agar sikap harmoni, kedamaian, dan ketenteraman dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara dapat diwujudkan. Jika fenomena penyalahgunaan media sosial tidak dikelola dan tidak diatasi secara sungguh-sungguh, dipastikan dampak negatifnya akan sangat membahayakan masa depan bangsa, karena berpotensi menyulut konflik sosial horizontal, perang saudara, dan disintegrasi bangsa, di samping menguras energi bangsa secara sia-sia. Literasi Digital Setidaknya ada lima faktor maraknya informasi bohong, hoaks, fitnah, adu domba, dan sebagainya. Pertama, rendahnya kesadaran moral dan minimnya literasi digital tentang etika penyebaran informasi dan komunikasi di ruang publik, khususnya dalam bermedia sosial (medsos). Komunikasi simpatik, santun, dan beradab belum sepenuhnya menjadi kesadaran dan komitmen etis dari semua pihak. Masing-masing pihak masih mengedepankan egoisitas dan kepentingan sendiri-sendiri sehingga kepentingan umum dan bangsa tidak diindahkan. Kedua, literasi digital dengan mengedepankan etika dalam memposting, menyiarkan, dan memviralkan berita, opini, video, poster, dan sebagainya belum sepenuhnya dipertimbangkan dampak negatifnya. Padahal, viralitas posting-an dalam medsos sangat cepat tersebar dan berdampak masif. Medsos berubah menjadi “pengadilan sosial” yang dapat membunuh karakter (character assasination) seseorang gegara fitnah viral tanpa bisa dibendung. Bukan hanya menyasar seorang yang dibunuh karakternya, tetapi juga membunuh harga diri dan marwah keluarga, bahkan almamaternya. Sungguh dahsyat fitnah yang diviralkan itu sehingga Alquran menegaskan bahwa fitnah itu jauh lebih kejam dari pembunuhan (QS Albaqarah [2]:191). Ketiga, sering tidak disadari, sentimen psikologis akibat viralitas hoaks dan fitnah menyulut sensitivitas yang dapat menghancurkan masa depan pribadi, keluarga, dan persahabatan. Tidak sedikit perbedaan pilihan dan ideologi politik dalam sebuah keluarga berakibat perseteruan dan konflik lantaran saling sharing informasi hoaks yang sesuai dengan pilihan masing-masing. Keluarga dan kesatuan bangsa ini harus dijaga dengan literasi etika informasi yang mengedukasi semua pihak agar menahan diri untuk tidak menyebarluaskan berita atau opini yang belum diverifikasi dan dipastikan kebenarannya. Keempat, terkuaknya kelompok Saracen membuktikan bahwa produksi hoaks, fitnah, dan sejenisnya kini menjadi “lahan bisnis baru” yang menguntungkan, terutama di musim kampanye, pilkada, atau pilpres. Ternyata, kelompok Saracen itu diduga memproduksi aneka hoaks atas permintaan dan pesanan pihak tertentu. Kelima, sikap permisif dalam bermedsos mungkin disebabkan oleh minimnya kesadaran moral, ketaatan spiritual dalam beragama, dan lesunya “darah” nasionalisme. Karena itu, gerakan literasi digital dengan peneguhan ideologi Pancasila dan wawasan kebangsaan penting disosialisasikan melalui semua jalur pendidikan: formal, informal, dan nonformal. Dengan kata lain, keadaban dan kesantunan berkomunikasi sosial harus menjadi budaya konstruktif dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Kelima faktor tersebut sangat strategis dijadikan sebagai landasan gerakan literasi etika penyebaran informasi secara holistik dan sistematis agar masyarakat dan bangsa tidak mengalami krisis referensi kebenaran dan kesantunan sosial. Jika gerakan literasi digital dan etika penyebaran informasi ini dapat dikembangkan, terutama melalui media sosial dan media massa, niscaya energi masyarakat dan bangsa tidak terkuras habis untuk merespons hal-hal kontraproduktif. Kesadaran Moral Selain penegakan hukum yang tegas dan berkeadilan, ujaran kebencian dan hoaks perlu dihadapi dengan kesadaran moral terhadap fikih informasi yang mencerdaskan. Literasi digital dalam penyebaran informasi idealnya menjadi kesadaran moral kolektif demi terwujudnya interaksi sosial yang sehat, beradab, santun, dan penuh kearifan. Literasi digital berbasis etika informasi dan komunikasi mengharuskan kita belajar hidup bersama (learning to life together) dalam spirit integrasi, budaya toleransi, menghormati perbedaan dan kebhinekaan, kebebasan berekspresi dan berpendapat secara harmoni. Dalam literasi etika penyebaran informasi dan komunikasi, salah satu prinsip yang harus dipertimbangkan adalah “saring sebelum sharing“. Sebab, penyebaran hoaks, ujaran kebencian, dan fitnah dapat menimbulkan efek domino yang viral sehingga daya rusak sosialnya akan sangat cepat dan masif.
Etika penyebaran informasi
dan komunikasi harus berprinsip tabayyun (teliti, check
and recheck, konfirmasi, dan verifikasi) sebelum
sebuah berita atau opini disebarkan kepada pihak lain karena berpotensi
merugikan, mencelakakan, dan menimbulkan penyesalan di kemudian
hari.
Alquran menegaskan: “Wahai orang-orang yang beriman! Jika seseorang yang fasik datang kepadamu membawa suatu berita, maka telitilah kebenarannya, agar kamu tidak mencelakakan suatu kaum karena kebodohan (kecerobohan), yang akhirnya kamu menyesali perbuatanmu itu.” (QS Alhujurat [49]:6). Secara hukum maupun moral, tidak dibenarkan, berita bohong, foto editan, informasi yang dipelintir itu disebarkan tanpa validasi dan verifikasi. Karena itu, “sadar konten dan konteks” itu sangat penting sehingga prinsip moral yang menjadi komitmen bersama adalah “sharing yang penting; bukan yang penting sharing “. “Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kamu kepada Allah dan ucapkanlah perkataan yang benar.” (QS al-Ahzab [33]:70). Di samping berkonten benar dan objektif, kesantunan dan kepatutan dalam perkataan (qaul maíruf ) juga penting sebagai landasan kesadaran moral. Kata “maíruf “ tidak hanya berarti baik dan santun, tetapi juga “patut, layak, tidak menyebabkan kegaduhan dan konflik sosial. “...Dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang baik.” (QS An-Nisa’[4]:8). Bahkan, terhadap rezim diktator dan biadab seperti Firíaun, Allah menyuruh nabi Musa AS dan Harun AS untuk berkomunikasi dengan lemah lembut dan santun (qaulan layyinan). “Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya (Fir’aun) dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan dia sadar atau takut.” (QS Thaha[20]: 44). Literasi digital berbasis etika penyebaran informasi menghendaki sikap hati-hati dan pengendalian diri untuk tidak menyebarkan hoaks, fitnah, provokasi, intimidasi, adu domba, dan kebencian atas nama SARA, ideologi, dan sebagainya. Karena itu, prinsip moral yang harus diliterasi adalah “Jika tidak bisa berkata, berkomunikasi, dan berbagi berita dan informasi yang baik dan benar melalui medsos, lebih baik diam atau menahan diri.” Sudah saatnya institusi pendidikan di Indonesia membudayakan gerakan literasi digital berbasis etika penyebaran informasi yang berkeadaban. Oleh karena itu, pemimpin bangsa, pejabat publik, tokoh masyarakat, dan segenap pengguna medsos harus menjaga harkat, martabat, dan marwah dirinya dengan memberi keteladanan yang baik berbasis etika informasi dan komunikasi yang santun, rendah hati, menahan diri, tidak mengintimidasi dan memprovokasi pihak lain. Spirit hidup harmoni dan penuh kedamaian dalam pangkuan NKRI mengharuskan semua pihak membudayakan literasi digital berbasis etika informasi dan komunikasi yang konstruktif dan produktif. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar