Kontroversi
Jabatan Jusuf Kalla
Gunawan Simangunsong ; Peneliti Pusat Studi Ketatanegaraan (Pusaran) Fakultas
Hukum Universitas Tarumanagara, Jakarta
|
DETIKNEWS,
06 Maret
2018
Hari-hari
ini demokrasi konstitusional kita sedang diuji setidaknya dengan tiga hal.
Pertama, disetujuinya revisi Rancangan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014
tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (RUU MD3) yang banyak diprotes sana-sini.
Kedua, kontroversi pasal-pasal rancangan kitab undang-undang hukum pidana
(RKUHP) yang sedang dibahas di DPR, antara lain terkait dengan kehendak
dihidupkannya kembali pasal-pasal penghinaan terhadap presiden yang sudah
dibatalkan Mahkamah Konstitusi (MK). Ketiga, wacana PDI-P untuk mencalonkan
kembali Jusuf Kalla (JK) sebagai calon wakil presiden mendampingi Joko Widodo
(Jokowi) pada Pemilu 2019, padahal JK sudah dua periode menjadi wakil
presiden.
Tulisan
ini fokus pada soal ketiga, dengan melontarkan sebuah pertanyaan, bolehkah JK
menjabat wakil presiden (wapres) lebih dari dua periode? Apabila kita membaca
UUD 1945, jelas di Pasal 7 diatur mengenai masa (term) jabatan presiden dan
wapres. Adapun bunyi pasalnya, "Presiden dan Wakil Presiden memegang
jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan
yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan." Substansi pasal ini
berbeda dengan Pasal 7 UUD 1945 sebelum amandemen yang berbunyi,
"Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatannya selama masa lima tahun,
dan sesudahnya dapat dipilih kembali."
Perdebatan
di kalangan politisi boleh saja terjadi. Namun, apabila kita menggunakan
penafsiran tekstual terhadap kedua pasal tersebut, jelas sangat berbeda.
Pasal 7 UUD 1945 sebelum amandemen menggunakan frasa "sesudahnya dapat
dipilih kembali". Artinya, tidak ada pembatasan, karena menggunakan kata
'dapat'. Sementara Pasal 7 UUD 1945 setelah amandemen menggunakan frasa
"dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali
masa jabatan". Artinya, ada pembatasan karena walaupun di awal
menggunakan frasa 'dapat dipilih kembali', namun di belakangnya ada
pembatasan, yaitu frasa 'hanya untuk satu kali masa jabatan'.
Apabila
kita menggunakan Pasal 7 UUD 1945 sebelum amandemen, jelas JK masih dapat
menjadi calon wapres, bahkan sampai untuk keempat, kelima, keenam kalinya
tanpa batas. Namun, apabila kita masuk ke Pasal 7 UUD 1945 setelah amandemen,
jelas JK tidak boleh mencalonkan lagi sebagai wapres karena dibatasi dua
periode masa jabatan saja. Apabila dipaksakan maka akan menimbulkan
konsekuensi pengkhianatan terhadap konstitusi dan amanat reformasi yang sudah
diperjuangkan secara berdarah-darah.
Diubahnya
bunyi Pasal 7 karena salah satu dari enam tuntutan Reformasi 1998, yaitu
amandemen konstitusi, yang titik beratnya pada pembatasan kekuasaan
eksekutif. Perubahan tersebut dilakukan dalam Sidang Umum MPR 1999, yang
merupakan Perubahan Pertama UUD 1945. Hal ini semata-mata agar tidak terulang
lagi masa kelam Orde Lama dan Orde Baru, ketika Sukarno ditahbiskan menjadi
presiden seumur hidup, dan Soeharto menjabat selama enam periode
berturut-turut dengan mekanisme calon tunggal. Kedua Bapak Bangsa tersebut,
apa boleh buat, telah memerintah secara otoriter dan memberangus demokrasi,
kendati jasa-jasa mereka tidak boleh dilupakan.
Kepatuhan Hukum
Partai
politik sebagai wadah bagi pencalonan presiden dan wakil presiden sudah
seharusnya memiliki kepekaan terhadap supremasi hukum. Selain melanggar
konstitusi, pencalonan kembali JK juga tidak memenuhi syarat pencalonan
wapres sebagaimana diatur dalam Pasal 169 huruf n Undang-undang Nomor 7 Tahun
2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) yang berbunyi, "Persyaratan
menjadi calon presiden dan calon wakil presiden adalah: belum pernah menjabat
sebagai presiden atau wakil presiden, selama 2 (dua) kali masa jabatan dalam
jabatan yang sama."
Menteri
Dalam Negeri (Mendagri) Tjahjo Kumolo dalam sebuah wawancara di kantornya,
Senin (26/2) menyatakan bahwa pencalonan JK masih dimungkinkan karena dua
hal. Pertama, pasal 7 UUD 1945 masih multitafsir, apakah jabatan tersebut
harus berturut-turut atau tidak. Kedua, karena multitafsir maka akan
dimintakan fatwa ke Mahkamah MK karena menyangkut masalah ketatanegaraan.
Terhadap
pendapat yang demikian, sepertinya Mendagri perlu membaca lagi penjelasan
Pasal 169 huruf n UU Pemilu yang berbunyi, "Yang dimaksud dengan 'belum
pernah menjabat 2 (dua) kali masa jabatan dalam jabatan yang sama' adalah
yang bersangkutan belum pernah menjabat dalam jabatan yang sama selama dua
kali masa jabatan, baik berturut-turut maupun tidak berturut-turut, walaupun
masa jabatan tersebut kurang dari 5 (lima) tahun." Penjelasan pasal ini
jelas, dan tidak multitafsir lagi.
Mendagri
Tjahjo Kumolo, yang adalah kader PDI-P, tidak perlu lagi bingung dengan
meminta pendapat ke sana kemari, apalagi sampai berencana meminta fatwa ke
MK. Terlebih MK tidak memiliki kewenangan dan dasar hukum untuk memberikan
fatwa seperti layaknya Mahkamah Agung (MA). Apalagi, pasal yang mau
dimintakan fatwa juga tidak multitafsir lagi. Seorang Mendagri seharusnya
paham betul UU Pemilu, karena yang membuat UU Pemilu tersebut adalah
pemerintah dan DPR, yang drafnya disiapkan oleh Kemendagri sendiri.
Sebaiknya
PDI-P tidak mewacanakan pencalonan seorang wapres yang tidak memenuhi syarat
lagi. Juga jangan tutup mata dan telinga terhadap berbagai kritik yang telah
dilontarkan oleh berbagai pihak, termasuk dari para pakar hukum tata negara.
Tentu kita tidak ingin masalah kualifikasi pejabat negara bermasalah lagi,
seperti ketika Presiden Jokowi melakukan pengangkatan seorang menteri,
padahal tidak memenuhi syarat karena pernah menerima kewarganegaraan asing.
Supremasi Hukum
Negara
Indonesia adalah negara hukum (rechtstaat). Demikian bunyi Pasal 1 ayat (3)
UUD 1945. Sebagai negara hukum maka segala sesuatu harus tunduk pada hukum
(supremasi hukum). Baik pemerintah sebagai penyelenggara negara maupun warga
negara biasa harus patuh dan menjunjung tinggi hukum.
Menurut
F.J. Stahl, negara hukum memiliki empat unsur utama, yaitu adanya jaminan
terhadap hak asasi manusia, adanya pembagian kekuasaan, pemerintahan harus
berdasarkan pada peraturan-peraturan hukum, dan adanya peradilan
administrasi. Ciri utama negara hukum yang ketiga harus benar-benar dipahami
dan diterapkan apabila kita ingin menegakkan supremasi hukum.
Apabila
ternyata PDI-P tetap bersikukuh mencalonkan JK sebagai wapres mendampingi
Jokowi pada Pemilu 2019 maka pencalonan tersebut cacat hukum dan akan
menimbulkan konsekuensi hukum. Konsekuensi hukum tersebut ada dua, yaitu
Komisi Pemilihan Umum (KPU) tidak menerima pencalonan pasangan Jokowi-JK.
Apabila KPU meloloskan pasangan tersebut maka pasangan lain atau warga negara
dapat menggugat KPU ke Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) terkait dengan
penetapannya.
Proses
pencalonan wapres pada Pemilu 2019 hendaknya dilakukan secara demokratis,
jangan bertumpu pada hak prerogatif ketua umum partai saja. Apalagi wacana JK
sebagai wapres pendamping Jokowi terkesan dipaksakan, kendati dengan alasan
JK memiliki basis massa di luar Jawa. Kita berharap, sebagai corong dan
memiliki peran penting bagi tegak dan berkembangnya demokrasi, parpol bisa
memunculkan calon alternatif lainnya sebagai regenerasi kepemimpinan di
tingkat nasional. Jangan sampai rakyat bertambah malas mengikuti proses
bernama pemilu karena calonnya itu-itu saja. ●
|
hay gayss..
BalasHapusDengan kami lagi hasilbola.vip yang akan memberikan beberapa tips Prediksi Sepakbola Online dengan.
Prediksi Sepakbola Juventus vs AS Roma 23 Januari 2020
Prediksi Sepakbola Reims vs Paris SG 23 Januari 2020
Untuk mengunjugi situs dibawah ini tidak berbayar loh, Gratiss <<<<
Dan jangan takut juga, Jika membuka situs dibawah ini akan aman.
Dikarenakan hanya memberikan tips Prediksi Sepakbola Mixparlay Online
Yuk Kunjungi Situs dibawah ini.
https://hasilbola.vip/prediksi-sepakbola/baca/3386/juventus-vs-as-roma-23-januari-2020
https://hasilbola.vip/prediksi-sepakbola/baca/3387/reims-vs-paris-sg-23-januari-2020
Terima kasih sebelumnya sudah menerima komentar saya disini.