Kontestasi
Pilkada dan Tasawuf Politik
Nizar Kherid ; Pecinta Sufism; Mantan Aktivis HMI;
Alumnus Fakultas Hukum Universitas
Jember
|
DETIKNEWS,
02 Maret
2018
Tahun 2018 adalah tahun
kontestasi pilkada sebagai ajang pemanasan menuju Pemilu 2019. Pengundian
nomor urut pilkada pun sudah dilakukan untuk memulai perjalanan demokrasi
yang (semoga) sehat. Di beberapa kesempatan Presiden Jokowi tak henti
mengingatkan agar wajah politik nasional tidak rakus. Sebuah penekanan bahwa
ada potensi politik SARA di tahun 2018. Peringatan ini wajar ditekankan
berulang kali oleh kepala negara-kepala pemerintahan yang memiliki perangkat
intelijen. Politik SARA dikhawatirkan menjadi siklus setiap pesta demokrasi
setelah tersaji di ibu kota tahun lalu.
Perlu sebuah pendekatan
untuk memutus rantai politik SARA. Tasawuf politik adalah pendekatan yang
terbilang aneh dan terkesan memaksa. Lantas apa hubungannya politik SARA
dengan tasawuf politik? Ada sedikit kesamaan antara politik dan tasawuf
karena keduanya melekat dengan subjeknya. Politik akan melekat dengan
kehidupan politikus ke mana pun dan di mana pun. Begitu juga dengan tasawuf.
Penganut tasawuf atau sufi akan memandang masalah dengan kejernihan ilmunya
di mana pun dan kapan pun.
Dalam tasawuf dikenal
ajaran pemurnian cinta. Cinta menjadi napas seorang sufi sehingga
kehidupannya berorientasi kepada cinta atas sang pencipta. Di dunia politik,
cinta hanya fatamorgana. Politikus akan mendadak cinta menjelang pemilihan
dan akan mengejar cinta jika ada kekuasaan. Cinta dalam politik tidak lagi
bermakna ketulusan, melainkan nafsu yang serakah.
Konsep
Tasawuf Politik
Tasawuf bisa menjinakkan
politik. Tasawuf juga sebagai tarekah atau jalan menuju masyarakat beradab.
Sosok Maulana Rumi (1207-1273 M), sufi kenamaan asal Qonya, Turki melalui
bukunya Fihi ma Fihi (Inilah yang Sebenarnya) mengulas bagaimana ajaran
tasawuf tidak pernah memperalat agama demi kepentingan apapun termasuk
politik. Rumi mengajarkan bahwa kekuasaan ditempatkan menjadi nomor sekian
karena yang utama adalah menunaikan perintah Tuhan dengan cinta.
Baginya, "bersahabat
dengan Tuhan" akan membawa manusia berhati-hati termasuk dalam
berkontestasi. Dengan demikian konsep tasawuf politik akan menyadarkan
politikus agar menggunakan cara terhormat dan saling memuji lawannya karena
keunggulan dan kelebihannya. Konsep ini juga bisa mendewasakan elite politik
karena tidak akan ada rebutan kekuasaan. Penganut konsep tasawuf politik akan
mempersilakan pesaingnya yang lebih kompeten maju menjadi pemimpin demi
kepentingan bersama.
Jauh sebelum era Rumi,
aplikasi tasawuf dalam politik diterapkan oleh Umar Bin Abdul Azis. Khalifah
atau pemimpin terbaik dalam Dinasti Umayah (717-720 M) ini awalnya menolak
ditunjuk sebagai khalifah dalam proses musyawarah. Ia merasa tidak layak
memikul jabatan dengan kekuasaan yang membentang dari Jazirah Arab, Asia
Tengah, Afrika Utara, hingga Eropa Selatan.
Saat dinobatkan sebagai
kepala pemerintahan, ia tak lantas menerima, bahkan merasa keberatan karena
banyak kandidat lain yang lebih unggul. Sebuah perilaku dewasa dan bijak
dalam berkontestasi. Umar akhirnya terpilih sebagai khalifah, dan
satu-satunya khalifah Umayah yang berasal dari luar garis keturunannya.
Di Indonesia, sosok
Pahlawan Nasioan Agus Salim adalah teladan yang mencerminkan nilai tasawuf.
Leiden is lijden, sebuah pepatah Belanda, dikutip Mohammad Roem dalam
tulisannya Haji Agus Salim, Memimpin adalah Menderita pada 1977. Roem
menggambarkan Agus Salim sebagai tokoh yang menolak gurita kekuasaan karena
memimpin berarti menderita (baca: penuh perjuangan).
Menghubungkan tasawuf
dengan politik bisa membantu meluruskan tujuan politik itu sendiri, yakni
mewujudkan kebaikan bersama (teori klasik Aristoteles). Jika politikus
memahami ajaran tasawuf, orientasi mereka akan bermuara kepada cinta melebihi
dari kerakusan dan kefanaan dunia.
Tengok saja rentetan
kegaduhan politik yang kehilangan arah. DPR melalui revisi UU MD3 menjadi
lembaga paling berkuasa, virus politik uang dari sejumlah peserta pilkada,
hingga korupsi pimpinan parpol. Semua rangkaian tersebut memicu saling
curiga. Degradasi moral menunjukkan ketiadaan cinta. Elite politik enggan
naik kelas menjadi negarawan yang sarat dengan cinta nasionalisme.
Agama
Mengalahkan Tuhan
Berkaca pada Pilkada DKI
tahun lalu, efek dari politik SARA sangat menyakitkan. Politik SARAmemang
efektif menggerakkan massa dan efektif sebagai barang komoditas. Bagaimana
seorang warga muslim yang meninggal dunia tak boleh disalatkan, atau harus
disalatkan di tempat yang jauh dari permukimannya. Kasus ini adalah contoh
nyata dampak jangka panjang dari politik SARA. Kontestasinya memang selesai,
namun efek trauma masih terasa bagi keluarga almarhum. Politik SARA juga merusak
logika beragama. Ajaran Tuhan tentang kasih sayang akhirnya kalah dengan
fanatisme sempit terhadap agama itu sendiri.
"Saat agama
mengalahkan Tuhan" adalah gambaran betapa hebatnya provokasi dari
politik SARA. Logika manusia sebagai hamba tidak lagi berjalan. Mereka
termakan politik yang mengagungkan agama/kesukuan dibanding Tuhannya. Ada
yang menghakimi keyakinan sesama pemeluk agama, ada juga yang menjatuhkan
lawan dengan keyakinannya. Potret semacam ini bukan ajaran Tuhan, dan bukan
pula ajaran agama apapun. Hanya saja kerakusan elite politik yang
membenturkan agama dengan Tuhan demi kepentingan sesaat.
Tasawuf mengajarkan bahwa
cinta kepada Tuhan adalah universal (bermanfaat bagi semua), dan bukan
sekadar menjalin hubungan vertikal dengan Tuhannya. Kekuasaan ditempatkan
sebagai gagasan tertinggi jika tujuannya untuk kebaikan dan memberi manfaat.
Jika politikus sadar dan menempatkan politik sebagai jalan menuju cinta
kepada Tuhannya, alangkah indahnya demokrasi di Indonesia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar