Senin, 19 Maret 2018

Kita Butuh Nyepi

Kita Butuh Nyepi
I Wayan Westa  ;   Pekerja Kebudayaan;  Tinggal di Denpasar
                                                        KOMPAS, 16 Maret 2018



                                                           
Nyepi menjenguk kita kembali, satu perayaan tahun baru Saka yang tak dirayakan dengan ingar-bingar.  Tak ada kembang api dan suara terompet, tak ada tepuk tangan, tak ada pesta jalanan  dengan suara gemuruh. Sungguh antiklimaks dari riuh keseharian  sepanjang tahun.

Dan Nyepi menjadi semacam drama kesunyian di mana kegaduhan dipulangkan ke dalam hening. Dan kita  kemudian menyepakati; Nyepi adalah cara ampuh menge-nol-kan diri. Ke titik inilah  semua drama hidup dikembalikan: dari nol menuju nol, dari sunyi menuju sunyi.
Semua atribut badani diistirahatkan, indria-indria dikendalikan. Ini ritual agung ke dalam diri paling dramatik— poya-poya, nafsu rendah, kerakusan akan materi ditekuk ke titik nadir, bahwa  jalan materi bukanlah tempat bersandar  abadi.

Musuh terbesar

Nun dalam perjuangan paling dramatik itu, lawan paling tangguh  manusia adalah dirinya sendiri. Bukankah globalisasi, kapitalisme, dan konsumerisme telah menyentuh sisi-sisi paling dasariah manusia? Betapa mahalnya hening hari ini di tengah-tengah  revolusi informasi yang telah mengubah penduduk bumi  menjadi homo digital, hal mana dunia bisa direngkuh dalam satu lentikan ujung jari di layar ponsel cerdas. Ini adalah dunia  senyap sekaligus dunia yang gaduh.

Satu misteri bumi  disulap menjadi kian datar. Lewat kebudayaan nirkabel, manusia berhadapan dengan sejumlah kemungkinan dan pilihan. Inilah “durga maya”, sesuatau yang dianggap misteri sekaligus menjadi realitas.  Eric Schmidt bersama Jared Cohen, lewat buku bertajuk The New Digital Age,   diterbitkan KPG (Kepustakaan Populer Gramedia) dengan judul Era Baru Digital (2014), mengingatkan kita tentang lompatan besar itu.

Dalam kata pengantar cukup menegangkan, penulis The New Digital Age itu mencatat, dalam sejarah planet ini, internet-lah eksperimen terbesar yang melibatkan anarki. Setiap menit, ratusan juta orang membuat dan menyerap konten digital yang tak terhitung banyaknya, dalam dunia online yang tak terikat pada hukum bumi. Kemampuan baru berekspresi dan menggerakkan informasi dengan leluasa pun melahirkan lanskap virtual mahakaya yang kita kenal hari ini.

Bayangkan setiap hubungan yang ditempa, setiap perjalanan yang direncanakan, setiap pekerjaan yang ditemukan, juga setiap mimpi yang terlahir, mendewasa, dan mewujud lewat platform ini. Sampai di sini, Jared Cohen bersama Eric Schmidt pun mewanti, “Renungkan juga semua fenomena yang dimungkinkan ketiadaan kendali atas-ke-bawah: penipuan online, kampanye hitam, situs kelompok pembenci, dan ruang-ruang obrolan teroris. Inilah internet, ruang nirpenguasa terbesar dunia”.

Krisis kejiwaan dan moral

Dan dalam dunia  yang riuh sekaligus senyap itu Nyepi kita butuhkan untuk mengontrol insting-insting primata kita yang liar, menemukan kemanusiaan kita, menyadari hening  itu menjadi kebutuhan menghaluskan jiwa dari kekasaran-kekasaran libido primata. Lawan ketamakan sesungguhnya adalah kesederhanaan. Satu aras hidup dikendalikan dengan satu kata; cukup.

Itulah Nyepi, upaya terus-menerus merawat jiwa. Hidup bukan melulu menyangkut  soal bagaimana  rasa lapar dan  haus dipuaskan, nafsu-nafsu dikobarkan, semua dikuasai. Dalam semesta hidup ada jiwa yang perlu dirawat,  karenanya ia  perlu nutrisi jiwa (amreta jiwa). Setelah menyadari bekapan tubuh yang rapuh,   jiwa pun sadar, bahwa  sejatinya ia adalah hening, melampaui  kehadiran dan ketidakhadiran. Melampaui masa kini, masa lalu, dan masa depan. Itulah parama artha sunya, jiwa yang mengatasi hidup.

Nyepi adalah persoalan merawat jiwa, persoalan merawat batin di dalam. Dalam kehidupan berbangsa misalnya, kita perlu memeriksa ulang pendekatan-pendekatan pembangunan kita, yang selama ini melulu mengejar pertumbuhan ekonomi.  Willy Brandt, dari TheIndependent Comission on International Development Issues, Leppenas, 1980, jauh-jauh hari telah mengingatkan, mengajukan diadakannya penilaian kembali atas prioritas-prioritas, pertimbangan-pertimbangan non-ekonomi diperhitungkan secara bersungguh-sungguh.

Pertimbangan-pertimbangan non-ekonomi ini penting disadari dalam rangka pembangunan jiwa. Proyek-proyek fisik mesti diimbangi dengan proyek-proyek meta-fisik. Pemberdayaan sedalam-dalamnya peran kebudayaan dan  peran seni dalam pengertian lebih luas akan menyalakan  gen peradaban batin  bangsa ini. Betapa di situ, seluruh dimensi pembangunan tak cuma menyentuh pembangunan fisik, tapi turut serta merawat jiwa anak-anak bangsa.

Krisis semesta hidup yang kita alami hari ini boleh jadi berhulu sumber pada krisis kejiwaan– krisis moral. Karena yang sesungguhnya terjadi jiwa-lah yang lupa kita rawat. Praktik pendidikan  jauh dari spirit pemuliaan hidup. Seperti mencetak robot-robot tak berjiwa. Otak mereka cerdas, tapi jiwa-jiwa mereka lemah, moral mereka tak menyala. Kita lupa mengajarkan kesederhanaan, kita lupa mendidik mereka memaknai hidup, saling menghormati dan bertanggung jawab.  Kita tahu, kemulian itu sejatinya adalah kebaikan-kebaikan kecil yang menyala di setiap sanubari anak bangsa.

Melawan ketamakan diri

Dan kita semua sesungguhnya butuh Nyepi. Kita butuh energi untuk melawan ketamakan diri sendiri. Bila sehari sebelum Nyepi orang Bali menggelar ritual Tawur, makna simboliknya tak semata menggembalikan unsur pembangun semesta hidup untuk menjadi segar kembali, akan tetapi  ini sekaligus menjadi ajang “pertempuran” tak pernah  henti. Pertempuran melawan musuh-musuh di dalam diri,  melawan; ketamakan, kemalasan, kedengkian, kemarahan, kebodohan, dan karakter-karakter rendah lainnya.

Nyepi bukanlah pertunjukan kolosal yang riuh, bukan perjalanan keluar dengan pesta melimpah, penuh sorak gempita. Nyepi menjanjikan bahwa keheningan itu adalah juga nutrisi jiwa, yang terlalu lama kita lupakan. Keheningan yang kelak membuat jiwa-jiwa tersenyum, seperti senyum matahari saat fajar menjenguk. Kita memang telah lama membiarkan jiwa ini tak  menyala, tertekan sejumlah problem tubuh dan mental. Karenanya para tetua  Nusantara-Bali memberi jalan, temukan hening di dalam, saat mana, niat rendah, indria-indria liar bertemu jiwa hening di dalam — di situ semua yang kasar, kembali pada  ke maha-heningan. Itulah sunyi yang membebaskan.

Bila esok hari  Nyepi jatuh bertepatan dengan hari suci Saraswati, hari pemuliaan Tuhan karena telah menurunkan ilmu pengetahuan untuk membebaskan derita hidup manusia, segera kita sadar, tugas penting ilmu pengetahuan itu untuk memuliakan hidup dan mengharmonikan dunia. Tentu hanya mereka yang telah menemukan hening dalam diri bisa melakukan itu– karena ia bebas dari dialektika,  ia telah melampaui tubuh dan pikiran. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar