Kaus
Kaki Bolong
Komaruddin Hidayat ; Guru Besar Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
|
KORAN
SINDO, 02 Maret 2018
Ada kisah
inspiratif yang akan saya kemukakan kembali dirubrik ini yang berjudul: Kaus
Kaki Bolong.
Hiduplah
sebuah keluarga kaya dan bahagia di sebuah kota kecil. Sang ayah yang telah
sukses membangun ekonomi keluarga, kesehatannya mulai menurun diusianya
berjalan mendekati senja.
Di samping
bangga melihat keturunannya berhasil membangun ekonomi mengikuti jejaknya, di
benak sang ayah muncul ke khawatiran kala memperhatikan anak-anaknya justru menunjukkan
tanda-tanda persaingan antar mereka dalam memupuk kekayaan.
Sang ayah
juga melihat anak-anaknya kurang sekali memperhatikan nasib tetangga yang kurang
beruntung. Mengingat ajal bisa datang sewaktu-waktu agar tidak menyesal di
hadapan pengadilan Tuhan dalam melaksanakan tanggung jawab sebagai seorang pemimpin
keluarga, maka sejak itu sang ayah selalu memanfaatkan forum keluarga untuk
berbagi pengalaman hidup dan tausiyah.
Misalnya, ketika
acara makan bersama, sang ayah mengingatkan, semua makanan yang terhidang ini
bukanlah hasil tanaman kita. Bukan hasil jerih payah keringat kita. Jangan
merasa punya uang, lalu kita bisa makan seenaknya, sombong dengan kekayaan
yang dimiliki, karena yang kita makan bukanlah uang.
Makanan bisa
tersaji lantaran berkat sentuhan dan kerja keras petani yang mungkin mereka
itu tetangga kita. Tanpa tangan mereka, kita akan kelaparan. Bahkan, tanpa
bantuan pekerja dapur, makanan ini tak akan terhidang di atas meja ini.
Karena itu, kata ayah, jangan sekali-sekali meremehkan para petani yang
hidupnya tidak sekaya keluarga kita.
Mereka telah
menyubsidi kita, bukan sebaliknya. Kita selalu berteriak protes setiap harga
panen naik tidak seberapa sehingga nasib petani semakin merasa tercekik dan
miskin hidupnya. Selanjutnya sang ayah juga meminta anak-anaknya jangan suka
mencemooh makanan yang sudah terhidang. Apa pun makanan yang terhidang, itulah
jatah rezeki kita ha ri itu.
Syukuri apa
pun yang ada, sekali-sekali jangan kita cela dan cemooh. Banyak pihak tersinggung
jika kita mencela rezeki yang sudah terhidang. Mungkin sekali pembantu juru
masak di dapur akan sedih ketika mendengar hasil masakannya dicela. Bahkan, juga
makanan itu akan menangis, tetapi kita tidak paham bahasanya.
Selain itu,
juga orang tuamu yang telah berusaha mencari rezeki dan ingin memberikan yang
terbaik akan sedih hatinya melihat anak-anaknya tidak bisa mensyukuri rezeki
yang datang menemuimu hari itu. Jika tidak senang, kata ayah tadi, cukup di
hati dan lain kali pilih menu yang disukai.
Saya sendiri
merasa kisah itu terasa ringan dan mudah diceritakan kembali, tapi mengandung
pesan mendalam dan bisa jadi banyak di antara kita yang jarang
mengamalkannya. Pesan sang ayah yang membuat anak-anaknya sulit memahami adalah
ketika dia berpesan, ”Nanti kalau saya mati, harap dikubur dengan mengenakan
kaus kaki usang dan bolong yang sudah dia siapkan.”
Dia tekankan,
jangan sampai lupa tentang kaus kaki bolong itu. Ternyata firasat kematian
tersebut jadi kenyataan, tak lama setelah itu ajal menjemputnya. Dalam
suasana duka, anak-anaknya mengurus jenazah sampai dengan memandikan dan
mengafani.
Ketika tiba
saat jenazah hendak dibawa kekuburan, salah satu anaknya memberitahu pada
ustaz yang memimpin upacara pelepasan tentang pesan kaus kaki bolong yang
dikenakan almarhum, maka terjadi diskusi antara ustaz dan anak-anaknya. Kata
ustaz, tak boleh mengenakan pakaian apa pun pada jenazah kecuali sehelai kain
kafan. Terlebih lagi perhiasan.
Silang
pendapat antara ustaz dan anak-anaknya sulit dipertemukan. Anak merasa terikat
dengan pesan almarhum, ustaz berpegang pada pemahaman agamanya. Tiba-tiba
ibunya ingat sebuah surat wasiat almarhum yang disertai pesan agar dibuka ketika
ajalnya tiba. Lalu, dia mengambil dan membacanya di depan anak-anak dan
ustaz.
Bunyinya,
Anak-anakku, mungkin sekali kamu heran mengapa saya berpesan agar kamu
mengenakan kaus kaki bolong yang sudah usang itu pada kakiku yang membujur
kaku. Menurut ajaran agama tentu saja tidak diperbolehkan. Tetapi
sesungguhnya saya akan meninggalkan nasihat dan pesan pada kalian semua.
Bahwa ketika
ajal tiba, seseorang tak akan memeluk dan membawa harta kekayaan yang
dikejar-kejarnya seumur hidup. Sekadar mengenakan kaus kaki usang dan bolong saja
tidak diperbolehkan. Begitu ajal tiba, seseorang langsung di sebut jenazah
dan mesti buru-buru dikubur ke dalam tanah karena bangkai tubuh itu cepat membusuk.
Ketika itu
harta yang kamu kejar-kejar tetap saja tak bergerak menunjukkan kesedihan di
hari perpisahan itu, karena harta memang tidak punya hati. Lalu keluarga,
tetangga, dan teman terdekat juga hanya mengantar dan menyaksikanmu ditelan
bumi. Ingat, tak ada yang menemani dalam perjalanan panjang setelah
kematianmu kecuali iman dan rekaman amal saleh. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar