Ironi
Profesor Hoaks
Ali Usman ; Pemerhati pendidikan
|
MEDIA
INDONESIA, 05 Maret 2018
DAMPAK negatif dari perkembangan arus
informasi berita online yang berjejaring dengan media sosial adalah
merebaknya kabar palsu alias hoaks dengan beragam tema, yang ironisnya juga
mudah sekali masuk ke lembaga pendidikan dan dipercaya oleh sivitas
akademika, dari tingkat murid/mahasiswa hingga guru/dosen, dan bahkan
bergelar profesor.
Misalnya, agitasi isu kebangkitan PKI, yang
pada akhirnya mengarah pada sikap skeptis dan menebar aura benci kepada
pemerintah. Aparat kepolisian baru-baru ini mengungkap sindikat MCA, penyebar
hoaks, yang di antara pelakunya ada nama Tara Arsih (perempuan, 40), seorang
dosen universitas ternama di Yogyakarta, ditangkap Polres Majalengka karena
menyebar berita hoaks di laman Facebook-nya.
Fakta itu membuat banyak kalangan
bertanya-tanya, mengapa seorang cerdik pintar seperti mahasiswa, guru, atau
dosen tidak bisa memfilter dan dapat dengan mudah memercayai kabar yang belum
tentu benar, bahkan ikut memproduksi sekaligus menyebarkan hoaks itu?
Setidaknya ada dua kemungkinan. Pertama,
terdapat kaum cendekia yang tidak punya kesadaran dan kemampuan membaca peta
politik, rendah wawasan kebangsaan, tidak paham dunia jurnalistik sehingga
dengan sangat cepat menelan mentah-mentah berita yang didengar atau
dibacanya.
Kedua, sejumlah data penelitian menyebutkan
bahwa banyak kalangan penyebar ujaran kebencian yang di dalamnya mengandung
hoaks merupakan simpatisan partai politik dan bahkan pendukung fanatik tokoh
tertentu untuk calon pemimpin level daerah maupun nasional (presiden dan
wakil presiden).
Lalu, apa yang bisa dipetik dari fakta di
atas? Inilah sisi lain dari perkembangan teknologi, terutama media online.
Bahwa di satu sisi, memberikan kemudahan dan kebanggaan terhadap capaian
peradaban ilmu, tetapi di sisi lain, dapat pula digunakan secara negatif.
Betapa mudah orang saat ini menyampaikan aspirasinya, beropini memojokkan
individu dan atau kelompok lain, yang kadang dibungkus 'seolah-olah'
menyerupai liputan berita hasil reportase wartawan profesional.
Apakah penggunaan internet dan media online
buruk? Tidak. Namun, ada baiknya mempertimbangkan apa yang diulas oleh Nicholas
Carr dalam The Shallows: What the Internet is Doing to Our Brains (2010).
Nicholas Carr melansir puluhan penelitian yang
dilakukan oleh para psikolog, pakar neurobiologi, pendidik, dan desainer web
mengarah kepada kesimpulan yang sama, ketika kita online, kita memasuki
sebuah lingkungan yang mendorong pembacaan sepintas, pemikiran terburu-buru
dan terganggu, dan pembelajaran yang superfisial. Akibatnya, otak kita tidak
lagi difungsikan secara maksimal dalam kegigihan membaca media cetak, tapi beralih
ke media online, yang dampaknya disadari atau tidak, telah 'mengerdilkan'
fungsi pikiran.
Efek internet dan
profesor hoaks
Itulah sebabnya, jika seorang akademisi,
berpendidikan tinggi sekelas dosen apalagi bergelar profesor disibukkan oleh
aktivitas internet. Asyik copy-paste berita-berita hoaks dan
menyebarluaskannya berarti, jika merujuk pada temuan Nicholas Carr, telah
menurunkan kadar inteligensianya.
Seorang akademisi mestinya disibukkan oleh
aktivitas ilmiah dalam program riset dan penelitian, bukan menjadi
katalisator atau penyambung lidah ujaran kebencian. Inilah yang maksud dalam
tulisan ini sebagai ironi seorang 'profesor hoaks', dalam arti sarkastis.
Efek negatif yang ditimbulkan penggunaan
internet secara berlebihan, terlebih untuk kepentingan akademik seperti
penulisan makalah, akan mendangkalkan kemampuan kognisi. Kalangan ini
dicirikan, menurut Ninok Leksono (2011), sebagai orang yang tak sabaran, yang
tak tahan berlama-lama membaca buku tebal atau artikel panjang. Yang lama dan
yang bertele-tele sudah tak mendapat tempat lagi.
Fenomena yang demikian pernah dikhawatirkan
oleh Marshall McLuhan pada 1960-an dalam bukunya yang terkenal, Understanding
Media: The Extensions of Man. Inti Understanding Media adalah ramalan, dan
yang diramalkannya adalah hilangnya pikiran linear.
McLuhan menyatakan bahwa 'media listrik' abad
20--telepon, radio, film, televisi--akan mengakhiri tirani teks terhadap
pikiran dan indra kita. Halaman teks online yang dilihat melalui layar
mungkin serupa dengan halaman teks tercetak, tetapi sebenarnya menggulung
atau mengeklik dokumen web melibatkan tindakan fisik dan rangsangan saraf
yang sangat berbeda dengan memegang dan membalik halaman buku atau majalah.
Begitu pula jika ditinjau dari kacamata
psikologi-klinis, bahwa tindakan kognitif membaca tidak hanya berpengaruh
pada indra penglihatan, tapi juga indra sentuhan. Ini bersifat rabaan dan
visual. Semua kegiatan membaca, tulis Anne Mangen, seorang profesor pelatihan
sastra Norwegia, merupakan kegiatan multiindra. Terdapat hubungan krusial
antara pengalaman indra motorik terhadap wujud fisik hasil karya tertulis dan
pemrosesan kognitif terhadap isi teks (Carr, 2010).
Dari argumen di atas, jelas menjadi
keprihatinan bersama, jika dalam dunia pendidikan, seorang pendidik justru
sibuk memproduksi dan menyebarkan berita-berita hoaks, sementara kewajiban
akademiknya diabaikan.
Halaman Editorial Media Indonesia (26/2/2018)
mengungkap ulasan data keprihatinan ini, bahwa sebanyak 3.800 dari 5.366
profesor di Indonesia belum memenuhi kewajiban publikasi menulis di jurnal
internasional. Jadi, bisa dibilang, hanya 1 dari 3 profesor yang menunaikan
kewajiban akademiknya.
Wahai kaum terdidik, merdekakan pikiran kita
dari noda hoaks--meminjam ungkapan jargon era pencerahan via Immanuel Kant,
sapere aude, merdekakan akalmu! ●
|
Apakah kamu sudah tau prediksi togel mbah jambrong yang jitu? bila belum baca Prediksi jitu mbah jambrong Hk
BalasHapusApakah kamu sudah tau prediksi togel mbah jambrong yang jitu? bila belum baca Prediksi jitu mbah jambrong Sgp
BalasHapus