Implikasi Kegagalan Bangunan
Suhartono ; Mahasiswa S3 Fakultas Ilmu Administrasi UI; Peneliti Madya di Badan Keahlian DPR;
Mantan Anggota Tim Ahli DPR dalam Perancangan UU 2/2017
|
DETIKNEWS,
01 Maret
2018
Di saat pemerintah sedang
berusaha membangun daya saing nasional melalui pembangunan infrastruktur dari
Sabang sampai Marauke; di saat kita sedang mempersiapkan perhelatan olahraga
Asian Games yang sarat dengan pembangunan infrastruktur, kita dikejutkan dengan
serangkaian liputan pemberitaan media massa tentang runtuhnya peralatan
pekerjaan konstruksi, runtuhnya konstruksi trek kereta ringan, dan runtuhnya
konstruksi double double track.
Terakhir, runtuhnya dinding penahan tanah di sekitar jalur kereta bandara di
kompleks Bandara Soekarno-Hatta, dan runtuhnya konstruksi Tol Becakayu, serta
sejumlah peristiwa lain di pelosok Tanah Air.
Tentunya, kita semua
prihatin karena semua peristiwa tersebut telah menyebabkan jatuhnya korban
jiwa, luka, dan kerugian material lainnya. Dan, yang menjadi perhatian
nasional peristiwa-peristiwa tersebut terjadi di dekat episentrum
pemerintahan, dan beberapa infrastruktur baru saja diresmikan penggunaannya
oleh Presiden. Sehingga pasar mulai merespons melalui turunnya harga saham
sejumlah BUMN konstruksi.
Kondisi tersebut
menimbulkan tanda tanya besar, siapa pihak yang bertanggung jawab, seberapa
besar tanggung jawab tersebut, dan bagaimana mekanisme pengawasan, penegakan
hukum, serta pencegahannya. Semua pertanyaan tersebut sudah diantisipasi oleh
Undang-undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi. Undang-undang
tersebut dirumuskan untuk mengatasi adanya kelemahan tata kelola dan
pengawasan terhadap perkembangan konstruksi nasional yang tidak bisa
diantisipasi oleh UU Nomor 18 Tahun 1999.
Lantas, bagaimana
seharusnya pemerintah merespons peristiwa tersebut menurut UU No.2/2017, dan
apakah rangkaian peristiwa yang baru saja terjadi bisa dicegah dengan
kewenangan, prosedur dan mekanisme yang sudah diatur dalam peraturan
perundang-undangan yang ada?
Tanggung
Jawab Siapa
Baik UU No.18/1999 maupun
UU No.2/2017 keduanya mengatur apa yang menjadi definisi kegagalan bangunan.
Mengapa peristiwa kegagalan bangunan itu penting? Karena kegagalan bangunan
merupakan peristiwa hukum yang memiliki implikasi yang luas, seperti korban
jiwa atau kerugian materiil. Bahkan lebih luas lagi dapat berpengaruh pada
kepercayaan publik terhadap nilai dan kualitas produk jasa konstruksi itu
sendiri baik berupa bangunan gedung seperti rumah dan perkantoran atau
bangunan sipil seperti jalan dan jembatan.
Oleh karenanya, sejak
penyelenggaraan konstruksi diatur pertama kali dalam UU No.18/1999, peristiwa
tentang kegagalan bangunan menjadi peristiwa hukum yang selalu diatur dan
didefinisikan kembali mengikuti perkembangan. Dalam hal ini, UU No.2/2017
hanya melakukan penyempurnaan agar lebih operasional dengan mendefinisikan
kembali kegagalan bangunan sebagai suatu keadaan keruntuhan dan/atau tidak
berfungsinya bangunan setelah penyerahan akhir hasil jasa konstruksi.
Ada dua subjek hukum yang
bisa menjadi pihak yang bertanggung jawab dalam peristiwa kegagalan bangunan.
Pertama, penyedia jasa yaitu pemberi layanan jasa konstruksi. Pelakunya bisa
berbentuk badan maupun perorangan. Mereka yang selama ini memberikan layanan
konsultasi, melakukan pekerjaan konstruksi atau kedua layanan sekaligus.
Gambaran umumnya mereka yang sering disebut sebagai kontraktor pekerjaan
konstruksi. Pihak kedua adalah pengguna jasa, yaitu mereka yang menjadi
pemilik atau pemberi pekerjaan atau yang menawarkan pekerjaan kepada
kontraktor tersebut.
Peristiwa hukum berupa
kegagalan bangunan bisa disebabkan oleh kedua subjek yang mengikatkan diri
satu sama lain sehingga menghasilkan pekerjaan konstruksi dan bangunan.
Kenapa keduanya atau salah satu di antaranya bisa menjadi pihak yang
bertanggung jawab? Pertama, UU No.2/2017 menggunakan frasa dan/atau ketika
menyebut keduanya terkait kegagalan bangunan. Kedua, sering secara awam kita
akan menunjuk penyedia yang harus bertanggung jawab, namun secara filosofis
proses penyelenggaraan dan kenyataannya, pengguna bisa juga menjadi penyebab
atau bertanggung jawab.
Hal ini bisa terjadi
karena pengguna sudah terlibat atau berperan sejak menentukan spesifikasi
bahan bangunan, kualitas bangunan maupun cara mengerjakan dan menggunakan
bangunannya. Sedangkan penyedia jelas merupakan subjek yang melakukan seluruh
proses pekerjaan yang diminta oleh pengguna sehingga dimungkinkan hasil
pekerjaannya setelah diserahterimakan ke pengguna jasa mengalami kegagalan
bangunan.
Kedua pihak pengguna dan
penyedia dalam mengikatkan kontrak pekerjaan konstruksi harus memenuhi
standar keamanan, keselamatan, kesehatan, dan keberlanjutan. Untuk mencegah
terjadinya kegagalan bangunan keduanya dipersyaratkan harus memenuhi standar
bahan, mutu peralatan, keselamatan dan kesehatan kerja, prosedur pelaksanaan
pekerjaan, standar operasi dan pemeliharaan, pengelolaan lingkungan sosial
dan hidup.
Dalam setiap tahapan
proses pekerjaan pengguna dan/atau penyedia wajib memberikan pengesahan atau
persetujuan terkait hasil kajian, perencanaan, perancangan, rencana teknis
proses, pelaksanaan, penggunaan material dan hasil layanan. Sehingga jelas
apabila terjadi peristiwa hukum kegagalan bangunan dapat dipastikan
melibatkan kedua pihak. Azas kesetaraan yang dijadikan landasan pembentukan
UU No.2/2017 memungkinkan pihak yang bertanggung jawab adalah salah satu atau
kedua-duanya.
Kedua pihak menurut Pasal
96 UU No.2/2017 dapat dijatuhi sanksi tertulis, denda, penghentian kegiatan
layanan, dimasukkan ke daftar hitam, pembekuan izin dan/atau pencabutan.
Persoalannya, peristiwa runtuhnya penahan tanah di lingkungan Bandara
Soekarno-Hatta melibatkan pengguna dan penyedia jasa dari lingkungan Badan
Usaha Milik Negara dalam hal ini Angkasa Pura 2 dan PT KAI sebagai pengguna,
dan Waskita Karya sebagai penyedia jasa. Hal yang sama juga terjadi dalam
proses penyelenggaraan konstruksi LRT Rawamangun dan double double track
Jatinegara, atau Tol Becak Kayu yang melibatkan Waskita Karya.
Artinya, di tengah agenda
percepatan pembangunan infrastruktur baik dalam kerangka meningkatkan daya
saing nasional atau dalam menghadapi peristiwa olahraga internasional,
persoalan kegagalan bangunan harus dituntaskan terkait siapa yang bertanggung
jawab. Walaupun dari mulai penyedia dan pengguna merupakan badan hukum milik
pemerintah, penegakan hukum sesuai dengan aturan dalam UU harus ditegakkan.
Hal ini menyangkut kepercayaan publik terkait dengan keselamatan, keamanan
dan kehandalan dari infrastruktur yang sedang dibangun.
Belum lagi, pelaku jasa
konstruksi kecil dan menengah yang cemburu atau diperlakukan tidak adil
karena tidak dapat dapat berpartisipasi dalam pembangunan karena karena kalah
dalam proses seleksi dengan BUMN. Penegakan yang adil dan transparan juga
untuk menunjukkan bahwa tidak ada toleransi atas kegagalan atau kecelakaan
sekecil apapun terhadap pihak-pihak yang bertanggung jawab walaupun dekat
berada dalam lingkungan pemerintahan. Sekaligus sebagai evaluasi terhadap
kualitas proses kerja maupun hasil konstruksi yang terbangun.
Bagaimanapun proses
pengikatan kontrak atau pemilihan penyedia jasa yang menggunakan APBN menurut
Pasal 41 UU No.2/2017 harus dengan tender, pengadaan secara elektronik,
penunjukan langsung dan pengadaan langsung sesuai kebutuhan. Semua mekanisme
telah diatur dalam peraturan perundangan, sehingga setiap detail bahan dan
pekerjaan dapat ditelusuri secara administratif untuk membuktikan siapa yang
bertanggung jawab. Hal ini memudahkan untuk mengevaluasi peristiwa kegagalan
bangunan.
Mekanisme
Penegakan
Walaupun UU No.2/2017
hanya mengatur sanksi non pidana namun, penentuan siapa yang bertanggung
jawab bisa berlanjut pada pengenaan pasal pidana ketika menyebabkan korban
jiwa atau perdata ketiga menimbulkan kerugian material. Penegakan hukum
pidana dan perdata melibatkan unsur kepolisian dan kejaksaan. Namun, menurut
Pasal 60 UU No.2/2017 secara bersamaan atau sebelum unsur kepolisian masuk
mengusut peristiwa ini, penting dan perlu dilakukan terlebih dahulu penetapan
penilai ahli oleh Menteri.
Penilai ahli bertugas
mengusut peristiwa yang terjadi, untuk menetapkan apakah masuk kategori
kegagalan bangunan atau tidak, dan menetapkan siapa yang bertanggung jawab.
Penilai ahli yang terlibat harus memiliki sertifikat kompetensi dan keahlian,
berpengalaman, serta terdaftar sebagai penilai ahli di pemerintah.
Paling lama dalam 30 hari,
Menteri sudah menetapkan penilai ahli sejak menerima laporan peristiwa
kegagalan bangunan. Penilai ahli paling lama dalam 90 hari sudah harus
melakukan dan melaporkan pekerjaannya. Dalam proses penilaian, penilai ahli
harus bersikap independen dan objektif dalam menetapkan pihak yang
bertanggung jawab. Hasil penetapan oleh penilai ahli akan menjadi salah satu
petunjuk atau barang bukti ketika peristiwa tersebut masuk ke ranah pidana
atau perdata.
Rangkaian peristiwa
kecelakaan kerja dalam penyelenggaraan konstruksi dan kegagalan bangunan
akhir-akhir ini sudah selayaknya diselidiki tuntas dengan mekanisme hukum
yang sudah diatur. Hal tersebut untuk membangun kepercayaan publik bahwa
proses pembangunan infrastruktur yang saat ini berjalan bukan hanya memenuhi
aspek kecepatan dan ketepatan waktu, namun juga memenuhi aspek keselamatan
dan keberlanjutan bangunan.
Kita tidak ingin, sudah
ratusan triliun anggaran negara dibelanjakan untuk kegiatan pembangunan
sektor konstruksi, namun nilai manfaat dan keberlanjutannya tidak sebanding
ketika prosesnya sering terjadi kecelakaan atau kegagalan bangunan. Artinya
jangan sampai rangkaian peristiwa akhir-akhir ini memberikan kesimpulan atau
persepsi bahwa pembangunan dilakukan tidak sesuai dengan standar atau
prosedur yang sudah diatur.
Pemberitaan media bisa
dijadikan dasar pemerintah untuk segera menetapkan penilai ahli tanpa
menunggu laporan, agar bisa segera memberikan kepastian siapa yang
bertanggung jawab dan yang harus menanggung akibat sanksi dari tindakannya.
Jangan sampai publik menarik kesimpulan, spekulasi, atau semakin khawatir
karena lambat dan lamanya informasi atau keterangan resmi yang sudah
didahului dengan proses hasil penyelidikan segera disampaikan oleh pejabat
yang berwenang. Atau, publik mulai menyangsikan keamanan dan keselamatan dari
sejumlah pekerjaan konstruksi infrastruktur yang saat ini sedang berjalan.
Penegakan hukum atas
peristiwa kegagalan bangunan akhir-akhir ini dapat menjadi pintu masuk
mewujudkan tujuan UU No.2/2017 untuk memperbaiki tata kelola penyelenggaraan
konstruksi infrastruktur yang aman, berkualitas, dan akuntabel. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar