Hawking,
Alam, dan Tuhan
Agus Purwanto ; Dosen Fisika Teori FMIPA ITS Surabaya;
Penggagas-pengasuh Pesantren Sains
Trensains Sragen-Jombang
|
JAWA
POS, 19 Maret 2018
STEPHEN Hawking adalah ilmuwan,
tepatnya fisikawan teoretis. Sebagai ilmuwan, Hawking itu unik dan fenomenal.
Unik karena prestasinya yang luar biasa dan telah dianugerahi 19 penghargaan
bergengsi sejak yang pertama Adams Award 1966 sampai yang terbaru BBVA Foundation
Frontier of Knowledge Awards 2015. Sayang, sampai wafatnya, Hawking tidak
mendapat Nobel.
Bandingkan dengan fisikawan Jepang
Toshihide Maskawa yang karyanya tidak sebanyak dan sedahsyat karya-karya
Hawking. Bahkan, Maskawa hanya punya satu artikel tentang simpangan CP
(sekawan muatan dan paritas, charge conjugation-parity) yang terbit di jurnal
Jepang pada 1973.
Tetapi, teori simpangan CP Maskawa bersama Makoto Kobayashi
telah menghidupkan kembali model standar yang telah mati. Model standar
adalah model dan kerangka utama dalam menjelaskan berbagai fenomena fisika
partikel saat ini. Maskawa, bersama sejawatnya, Kobayashi dan Yoichiro Nambu,
mendapat hadiah Nobel Fisika 2008. Nobel diberikan kepada ilmuwan yang
teorinya punya implikasi luas. Sementara itu, teori Hawking bersifat
spekulatif dan belum terkonfirmasi.
Fenomenal karena Hawking sakit
yang membuatnya lumpuh, bekerja di wilayah yang keras perbatasan, dan sering
membuat pernyataan keras serta menulis buku populer. Di usia 21 tahun,
Hawking diidentifikasi terserang penyakit sklerosis lateral amiotrofik
(amyotrophic lateral sclerosis/ALS alias sang pemburu saraf otak) dan
diprediksi hanya bisa bertahan hidup dua tahun. Nyatanya, meski lumpuh,
Hawking dapat bertahan hidup puluhan tahun, bahkan dengan karya-karya
fenomenal.
Hawking juga mau menulis
gagasan-gagasannya dalam bahasa populer. Dua buku populernya yang terkenal
dan sempat membuat heboh adalah The Brief History of Time 1998 dan Grand
Design 2010. Heboh karena di dalam dua buku tersebut Hawking menyinggung
kejadian alam tanpa peran Tuhan.
Relativitas umum dengan
kosmologinya masuk dalam kategori hard science, sains keras, sulit, dan
berat. Sains modern yang berkembang sejak awal abad ke-20 terdiri atas dua
teori utama, yaitu kuantum dan relativitas. Teori kuantum dibangun oleh
banyak fisikawan seperti Max Planck, Albert Einstein, Arthur Compton, Louis
de Broglie, Niles Bohr, dan Werner Heisenberg. Teori kuantum menjadi kerangka
kerja dunia mikroskopik dan fondasi industri modern. Sebaliknya, teori
relativitas umum (TRU) yang merupakan teori geometri dan kerangka teori untuk
makrokosmos dibangun oleh Albert Einstein. Dari tingginya tingkat kesulitan
teori ini, ilmuwan menyebutkan bahwa Einstein tidak merumuskan TRU dan kita
tidak tahu kapan teori ini akan lahir.
Hawking termasuk sedikit orang
yang bekerja di ranah makrokosmos. Kosmologi yang sangat rumit tersebut
bahkan mungkin menjadi satu-satunya ketika kemudian kosmologi digabung dengan
teori kuantum, gravitasi kuantum. Maka, secara formal, Hawking merupakan
orang yang paling paham tentang perilaku alam semesta, sejak jagat renik
sampai jagat raya.
Hawking pun menjelajah ke ruang
angkasa luas dan dia dapatkan lubang hitam (black hole) di sana. Lubang hitam
disebut karena setiap objek, termasuk cahaya yang jatuh padanya, tidak
mungkin dapat keluar atau dipancarkan kembali sehingga yang ada hanya
kegelapan.
Hawking merambah wilayah
perbatasan, baik perbatasan alam semesta itu sendiri maupun perbatasan antara
wilayah sains, filsafat, dan agama. Di sini Hawking membuat banyak
pernyataan. Pada 2011, dalam Google’s Zeitgeist Conference, Hawking
menyatakan bahwa filsafat sudah mati. Bagi dia, masalah filsafat dapat
dijawab oleh sains, terutama teori-teori ilmiah baru. Sebenarnya pernyataan
serupa dalam redaksi yang lebih halus telah dibuat filsuf eksistensialis Karl
Jasper, sesuatu yang dapat dijelaskan oleh sains tidak relevan dibahas oleh
filsafat. Hawking menegaskan bahwa filsafat bukan tidak relevan, tetapi telah
mati.
Hawking juga membuat banyak pernyataan
tentang relasi agama dan Tuhan. Bagi dia, surga dan neraka hanya mitos. Dia
meyakini bahwa surga atau akhirat itu tidak ada.
Pada 1991, Hawking memberi kuliah
di Universitas Kyoto. Saat itu Hawking menyatakan bahwa alam dapat terjadi
tanpa peran Tuhan. Semua karena hukum-hukum fisika. Guru besar fisika teori
ITB Prof Freddy Permana Zen yang saat itu masih mahasiswa doktoral
bertanya,”Hukum-hukum fisika itu berasal dari mana?” Hawking terdiam tidak
menjawab.
Pada 1998, Newsweek menampilkan
judul sampul Science Finds God. Tampilan ini menandai era baru, yaitu banyak
ilmuwan yang berpikir tentang agama dengan serius dan tak menganggap
aktivitas ilmiah mereka bertentangan dengan keberagamaan mereka. Isu tentang
sains dan agama pun sudah masuk ke ruang-ruang akademik. Patut dicatat juga
di sini: para aktor ”gerakan” baru ini bukanlah kaum agamawan per se,
melainkan terutama adalah para ilmuwan sendiri -sebagian kecilnya dengan
tambahan pendidikan formal dalam teologi. Inilah wilayah perbatasan
sains-agama itu.
Fisikawan teolog Ian G. Barbour
dalam When Science Meets Religion membagi empat hubungan antara sains dan
agama. Yakni, konflik, dialog, independen, dan integrasi.
Pernyataan-pernyataan Hawking dapat dimasukkan sebagai relasi konflik, yang
belakangan kurang mendapat simpati dan orang menoleh pada dialog dan
integrasi.
Rabu (14/3) Hawking pergi untuk
selamanya. Ungkapan-ungkapan yang terkesan ateistik dalam tasawuf dapat
dipandang sebagai fase syathahat
sebelum seorang hamba bersatu dengan Sang Pencipta, wihdatul wujud atau manunggaling kawula Gusti. Kepergiannya
kemungkinan besar bukan memasuki tahapan manunggaling kawula Gusti, karena
Hawking tidak percaya Sang Pencipta. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar